18 tahun kemudian.
Wajah tua itu meradang. Sekalipun tubuhnya tidak sekuat dulu. Saat lelaki yang berada di hadapannya mengatakan sesuatu hal yang memancing amarahnya.
"Baiklah, kamu boleh pergi!" ucap Tuan Angga kepada lelaki berseragam hitam yang beberapa saat lalu memberikannya kabar tidak menyenangkan itu.
Tuan Angga kembali membuang tatapannya pada pemandangan perkebunan teh yang tengah menyemaikan dedaunan segar. Entah ini sudah pucuk teh yang ke berapa yang telah ditanam oleh para petani miliknya. Waktu berjalan seperti sangat cepat sekali. Tanpa ia sadari, jika dirinya telah kehilangan putri semata wayangnya karena keegoisannya sendiri.
Usia yang tidak lagi muda, perlahan membuat lelaki itu tersadar, bahwa ia tidak akan pernah mampu hidup dalam kesendirian. Ada kalanya Ia membutuhkan seseorang sebagai pengganti penopang raganya. Meskipun tetap saja keangkuhan itu sama sekali tidak bisa ia hilangkan dari dalam dirinya.
Dukung penulis dan penerjemah favorit Anda di webnovel.com