"Bila saya diperbolehkan bertanya, apa Fire Glove yang anda pakai dapat kami beli juga?"
Selesai melakukan transaksi dan mengambil kembali putrinya, Veronica, Nicolas seraya bertanya hal yang terbersit di pikirannya. Melihat adanya satu benda magis lain, siapa pula yang tidak mau memilikinya?
Namun sayang, Cien langsung menyanggah, menyatakan kalau Fire Glove yang dipakainya adalah miliknya pribadi. Bukan untuk dijual.
Nicolas tidak kesal, dia sebenarnya sudah meyakini hal yang sama. Hanya saja mencoba suatu peruntungan tidak ada salahnya. Walaupun dia menawarkan harga yang cukup fantastis pun, Cien tetap menolak penawaran tersebut.
"Bila sewaktu-waktu saya kembali kemari, mungkin akan ada benda magis lain yang saya buat. Aku akan datang kepada keluarga Amary untuk menawarkannya, kuharap anda tidak menolak kehadiran saya nanti," ujar Cien dengan senyum ramah.
"Tentu saja. Walaupun saya kurang menyukai tata kramamu, tapi kreasimu lebih dari cukup untuk menemui saya," balas Nicolas dengan sikap angkuh. Veronica yang berada di samping sang ayah, memegangi jidatnya, merasa malu dengan kelakuan ayahnya saat ini.
Bagi Veronica, sikap Cien memang kurang pantas bila menganggap kasta yang dimilkinya. Tapi, Cien untuk Veronica bukanlah sosok orang biasa. Ada hal spesial yang membuat gadis kecil itu memilih sikap waspada terhadap sang pedagang misterius.
Nicolas melirik ke barang-barang lain yang ada di meja dagang Cien, namun tidak ada yang bernilai di matanya. Dia lalu mengucap pamit dan berbalik untuk segera pergi. Tapi, ketika dia berbalik, dia melihat mata istrinya yang fokus melihati barang-barang yang dia anggap tidak bernilai tersebut.
"Ada apa, sayang? Apa ada sesuatu yang kamu inginkan?"
Shiwa tersadar dalam dunia kecilnya yang terus memikirkan keanehan akan senjata di meja. Dia sekejap melihat ke Nicolas dengan tatapan heran, sebelum akhirnya berpaling ke Cien.
"Pedagang yang terhormat, boleh saya tahu siapa nama anda?" Tanya Shiwa dengan sopan.
Cien dan Nicolas tertegun, tidak menyangka seorang istri Viscount akan bersikap sopan terhadap seorang pedagang kecil.
Cien lalu mengumbar senyum, membungkuk menyalami sembari mengenalkan diri.
"Nama saya Cien Millard, Nyonya Amary."
Shiwa tersenyum lalu melihat Cien dengan serius.
"Tuan Cien, bolehkah saya memegang tombak-tombak itu?"
Cien memiringkan kepalanya semakin bingung. Kalau ingin memegang, langsung saja pegang. Shiwa tidak perlu meminta izin kepadanya. Cien mulai berpikir kalau orang-orang Huntara sepertinya sangat taat sekali terhadap tata krama.
Sayangnya, asumsi Cien salah. Shiwa hanya bersikap sopan dan hormat pada orang yang dianggapnya bernilai. Cien bagi Shiwa adalah pengrajin yang luar biasa. Shiwa hanya ingin menjalin hubungan baik dengan sang penjual tersebut.
Cien memberikan tombak Hellteak ke tangan Shiwa.
Perempuan paruh baya tersebut memainkan tombak tersebut dengan lihat. Dia terkesan dengan keseimbangan dan beratnya yang termasuk ringan. Walaupun kekuatan tombak agak berkurang karena beratnya, namun kecepatannya bisa bertambah pesat.
Namun hal yang terpenting bagi Shiwa tetap hanya satu.
'Material kayu apa yang dipakainya ini?'
Shiwa memutar dan mengayunkan tombak bak seorang master sambil berpikir tentang kualitas senjata yang ada di tangannya tersebut.
Setelah puas, dia menoleh ke Cien, "Berapa harga tombak ini?"
"Tiga ratus Tia." Jawab Cien singkat.
Shiwa berpikir sejenak, sedangkan orang-orang di sekitar yang mendengar perkataan Cien seraya terkejut.
"Tiga ratus untuk sebuah tombak kayu?! Apa kau serius? Siapa yang mau beli baran-"
"Gary, berikan uangnya pada Cien," Shiwa memotong omongan Gary, menyuruhnya membayar.
Sang asisten tidak tahu harus berkata apa, dia melihat ke arah Nicolas mencari persetujuan tuannya, yang dibalas anggukan oleh sang Viscount. Gary mengambil uang sebanyak tiga ratus Tia, dan menyerahkannya kepada Cien dengan wajah geram.
Setelah dibayar, Shiwa kini menoleh ke penjaga kerajaan yang ada di sekitar. Dia aliran mana ke tombak yang baru dibelinya.
"Angkat perisaimu!"
"Huh?!"
Swoosh!
Tidak menunggu lama, Shiwa langsung menusukkan tombak itu ke arah sang penjaga, yang secara reflex langsung mengangkat perisainya.
"!!!"
Semua orang kaget melihat aksi dari Shiwa, namun mereka lebih terkejut lagi ketika tombak yang terlihat dari kayu biasa itu, berhasil menembus perisai besi si penjaga. Ujung tombak menembus dan berhenti tepat di depan mata si penjaga, yang mematung dengan keringat dingin mengucur di sekujur tubuh.
Shiwa mencabut kembali tombak dari perisai, memutarnya lalu mengangguk puas. Dia tersenyum mekar lalu berpaling ke Cien dengan rasa penasaran yang tak terbendung.
"Cien Millard! Bolehkah saya tahu kayu apa yang anda pakai untuk membuat tombak ini? Ah, dan apa tombak ini mempunyai nama?"
Cien kali ini terkesan oleh sang istri Viscount. Bukan saja wanita itu memiliki teknik tombak yang sangat tinggi, namun sepertinya wanita itu menyadari akan material tidak biasa yang dipakainya.
"Namanya Hellteak Spear, sebagaimana namanya, tombak tersebut dibuat dari kayu Hellteak."
"Hellteak?"
Bukan saja Shiwa, bahkan Signa dan orang-orang di sekitar sana tidak tahu menahu akan kayu yang disebutkan oleh Cien.
"Saya tidak pernah mendengar jenis kayu tersebut? Apa kayu itu nyata atau sekadar bualanmu saja?" Kali ini Signa yang sedari diam turut berbicara.
"Kayu ini memang jarang terdengar, atau mungkin tidak akan ada orang yang belum menemukannya. Karena Hellteak adalah kayu yang hanya ada di Death Valley."
"..." Shiwa diam termenung.
"Apa kau sedang bergurau?" Gary kembali merasa kalau Cien sedang merendahkan tuannya.
"Tidak."
"Siapa orang gila yang mau mengambil kayu dari tempat terkutuk itu?!"
"Aku," Cien lalu berpaling ke Shiwa dan Nicolas, "Sudah kukatakan sebelumnya bukan? Aku bukan pedagang seperti mereka yang anda kenal. Kalian berkata kalau aku tidak bisa keluar dari kota ini. Aku akan katakan sekarang juga, kalian tidak akan bisa menangkapku. Ketika aku sudah pergi dan kalian membutuhkan jasaku, kalian bisa mampir ke tokoku. Di Death Valley."
"..."
Tidak ada yang bisa berkata, suasana seketika hening. Tidak ada yang percaya akan orang yang membual seperti Cien. Menyatakan diri kalau dia tinggal di tempat paling berbahaya di Kastia. Tapi, keseriusan raut lelaki tersebut, membuat mereka tidak dapat menyanggahnya.
"Kenapa anda membuka toko di Death Valley? Apakah ada pengunjung yang datang ke sana?" Tanya Shiwa berusaha tenang dan logis.
"Aku mempunya situasi spesial tersendiri, tapi kalau harus logis. Aku bisa mengatakan kalau Death Valley adalah surga bagi pengrajin. Banyak material tidak biasa dan spesial di sana. Salah satunya, kayu Hellteak yang menjadi dasar tombak itu."
Mereka yang mendengarnya masih merasa skeptis akan yang dikatakan Cien. Hanya Shiwa dan Veronica yang tahu kalau lelaki penjual itu berkata jujur.
Shiwa lalu melirik ke bebera barang lain di tempat Cien.
"Bisa anda beri tahu saya, apa semua barang ini dibuat dengan material di Death Valley? Kalau benar, bisa tolong jelaskan? Saya mungkin tertarik untuk membelinya."
'Ooo!'
Cien mencium bau bisnis dari Shiwa. Tanpa perlu pikir panjang dia segera menjelaskan semua Senjata dan barang yang dibawanya.