webnovel

Bab. 28. Keributan.

Mentari menampakan sinarnya. Burung berkicau menyambut pagi. Aku bersiap kerja. Memakai seragam perbankan. Rok panjang juga blazer melengkapi penampilanku.

Hari ini entah mengapa, aku ingin memakai hijab. Apa karena masalah Rumah tangga ku, atau entahlah. Semalam bermimpi di datangi seseorang yang sangat tampan menyuruhku menutup Aurat.

Setelah bersiap, berkaca sebentar. Sejenak tidak pede menyelinap dadaku. Tapi segera kutepiskan. niatkan memakai hijab hari ini. Aku menuruni tangga. Mbok Yem sedang menyiapkan sarapan untukku. Roti sandwich isi daging juga segelas susu coklat hangat. Ia terpana melihatku.

"Mbak Rania, cantik banget pake hijab! seru mbok Yem itu. Wanita berumur empat puluh lima tahun itu memandangku takjub. Aku tersipu mendengar pujiannya.

"Masa sih mbok, nggak tau nih aku mimpi di datangi seorang yang tampan. Menyuruhku memakai hijab, mungkin seterusnya aku bakalan pakai hijab terus," ucapku semangat.

"Berarti mbak Rania dapat hidayah, yang istiqomah ya mbak. Semoga Mas Ridho melihat kecantikan Mbak Rania."

"Udah mbok, kita sarapan aja yuuk. Di puji terus puserku bisa pindah ke punggung nih!

"Hahaha... " tawa mbok Yem mengisi ruangan ini. Aku terkesima dengan suara tawa mbok Yem. Begitu ringan dan lepas.

"Mbok, ketawanya lepas banget." Mbok Yem lalu menutup mulutnya sendiri. Takut tak sopan padaku. Tapi tenang saja. Aku nggak apa- apa, malah senang melihat mbok Yem tertawa lepas.

"Maaf mbak, aku seneng. Nggak ada mak Lampir di sini!"

"Haah! Siapa Mak Lampir? tanyaku penasaran.

" Itu si mbak Arini. Diakan mak Lampir, hehehe... "

"Dah mbok, jangan gibah terus. Sarapan aja yuk temeni aku,"

Mbok Yem bengong dengan ucapanku. Tak biasanya aku menyuruh Mbok Yem untuk sarapan bersamaku. Aku memang jarang sarapan dengan mbok Yem. Saat ada Ridho dan Arini di rumah ini aku lebih sering membawa bekal, dan sarapan di kantor . Males melihat wajah jutek Arini.

Mbok Yem dengan ragu- ragu menarik kursi. Duduk di sampingku. Ia terlihat kikuk. Lucu sekali.

"Ayo mbok makan sandwich nya ko cuma di liatin aja,"

"Aku nggak biasa sarapan roti mbak," ucap Mbok Yem.

"Terus mbok Yem, sarapan apa dong?"

"Aku udah masak nasi goreng mbak," ucapnya di selingi senyuman.

"Ya udah, ambil terus makan di sini. Temani aku,"

"Siap mbak." Mbok Yem berlari ke dapur mengambil nasi goreng buatan sendiri. Kami berdua sarapan bersama di selingi ngobrol. Tiba-tiba Ridho datang. Langsung duduk di depanku.

"Mana sarapan ku Rania?" tanya Ridho. Aku bingung dia baru datang langsung tanya sarapan.

"Arini tak nyiapkan sarapan?" tanyaku menatap suamiku lurus. Wajah dan bajunya kusut. Sepertinya dari Rumah Sakit semalaman begadang. Matanya merah, rambutnya sedikit acak- acakan.

"Aku belum pulang, dari RS langsung ke sini,"

"Ooh... " Mbok Yem kemudian beranjak melihat majikannya datang. Ia membuat sarapan untuk Ridho juga segelas susu putih hangat.

"Ini sarapanya Mas Ridho."

Mbok Yem menghidangkan sandwich di depan Ridho.

"Makasih mbok." Mbok Yem kemudian berbalik dan meneruskan sarapannya di dapur. Ridho sarapan dengan lahap. Sepertinya ia sangat lapar. Tak ada kata di antara kami. Aku menikmati sandwich buatan mbok Yem dengan nikmat. Kulirik Ridho juga selesai menyantap sandwich itu. Tumben Cepet sekali dia makannya, dia laper apa doyan?

"Rania, kamu mau berangkat kerja?" tanya Ridho.

"Iya mas," jawabku singkat.

"Aku anter ya." Ridho menawarkan diri.

"Nggak usah Mas, aku mau mampir ke rumah Kinanti. Dia minta jemput tadi," ucapku beralasan. Padahal aku males berdekatan dengannya. Lebih baik sendiri- sendiri biar tak ada hati yang terluka.

"Nggak boleh menolak Rania. Aku suami kamu. Setidaknya kamu hargai aku sedikit!" ucap Ridho ketus.

'Ooh ya lupa, aku ternyata punya suami. Yaah walaupun cuma suami di atas buku nikah.

Aku diam, menurut saja, berjalan di belakang Ridho. Ia membukakan pintu untukku. Lalu Ridho masuk, mobil melaju ke rumah Kinanti. Terpaksa aku chat dia untuk menunggu. Kami menjemputnya, Padahal tadi aku hanya berbohong saja.

Saat sampai di rumah Kinanti. Ia sudah menunggu di depan teras sambil senyum- senyum padaku. Seakan ingin meledeknya nanti.

"Selamat pagi Kinanti," sapa Ridho ramah.

"Pagi Ridho," balas Kinanti ramah.

Kinanti langsung masuk dan duduk di jok tengah. Mobil kembali melaju ke kantor bank tempat aku bekerja.

Tiga puluh menit kemudian kami sampai di Bank. Wanita yang sangat aku kenali berdiri di depan kantorku. Perutnya terlihat membuncit. Kira- kira usia kandungannya enam bulan. Aku menelan ludah melihat Arini. Melirik Ridho tampak pucat dan pias. Aku menghela napas, berharap tak ada keributan di tempat kerjaku ini.

Aku sangat malu, kalau hal itu sampai terjadi. Ku tekadkan hati melangkah turun dari mobil.

Baru beberapa langkah, Arini menghampiri. Lalu menamparku.

Plak!

Seketika pipiku memanas. malu. beberapa orang yang langsung melihat ke arah kami.

"Dasar wanita kurang ajar! teriak Arini. Aku melotot dia tajam, tak ingin jadi pusat perhatian. Langsung ku langkahkan kaki menuju kantor. Arini tak puas, ia mencekal tanganku.

"Berhenti! Aku belum selesai bicara!" ucap Arini ketus.

"Buang- buang waktu ladeni wanita bar- bar kayak kamu!" ucapku menatap tajam Arini. Kinanti datang membantuku. Melerai sikap Arini bak singa lapar memangsa korbannya. Melihat keributan ini, Ridho turun dari mobil menyeret lengan Arini.

"Ayoo... Pulang jangan bikin malu di sini!

"Nggak mau mas, aku ingin menghajar wanita tak tau malu ini"

"Arini pulang!" bentak Ridho keras, aku sampai berjingkat mendengar suara kerasnya.

Aku dan Kinanti masuk ke dalam, otomatis kerumunan membubarkan diri. Aku sangat malu menjadi tontonan orang pagi ini.

Arini terdiam, hanya mengikuti Ridho menggandeng tangannya kasar menuju mobil. Ia terduduk diam tak ada kata yang terucap. Shock atas bentakan Ridho tadi. Tak percaya apa yang di dengar tadi.

'Mas Ridho membentak ku?' batin Arini perih. Matanya berkaca- kaca. Hatinya tak karuan. Ingin rasanya menonjok laki- laki yang berada di sampingnya ini.

****

Aku duduk di ruang sholat menetralkan perasaanku. Masih shock kejadian barusan. Kinanti menenangkan ku.

Ia tak percaya melihat ada wanita lain dalam pernikahan kami.

Ia mengusap lenganku. Tapi aku tau di wajahnya penasaran mengelitik hatinya. Karena selama ini aku menutupi masalah rumah tanggaku dari Kinanti.

"Maaf Rania, aku ingin bertanya boleh?" Aku mengangguk. Kini tak ada lagi yang harus aku sembunyikan.

"Siapa wanita yang menamparmu tadi?" tanya Kinanti penasaran. Aku menatap lurus sahabatku ini. Terlihat jelas kalau Kinanti khawatir. Sebelumnya tadi ia ngoceh nggak jelas. Ia tak Terima aku di tampar orang tak di kenal. Bahkan ia berencana melaporkan Arini ke Polisi. Ini tindakan kekerasan menurutnya.

"Dia istri muda Mas Ridho."

Bersambung.

Bab berikutnya