webnovel

Ternyata Benar.

"Baik Bu. Saya akan segera sampai lima belas menit lagi," ucapku mengakhiri panggilan dari Bu Bos.

Aku menghela napas kasar. Kejadian kemarin benar-benar membuatku pusing. Entahlah kenapa harus bertemu lagi dengannya.

"Aaaaa...." Aku berteriak kesal sambil mengacak rambutku. Dan setelahnya berlari kekamar mandi untuk bersiap bekerja.

Saat mandi pun pikiranku masih bergelayut tentang Ardhan. Kecelakaan? Hilang ingatan? Benarkah hal semacam itu terjadi di dunia nyata? Aku pikir Amnesia hanya ada di cerita sinetron, novel dan film-film saja.

Kalaupun itu benar, kasihan sekali Ardhan. Dan tega sekali aku marah-marah pada orang yang hilang ingatan. Kalaupun bohong, apa gunanya Ardhan membohongiku? Pikirku dalam hati.

Aku segera bersiap dan berangkat bekerja. Hari ini aku memutuskan untuk membawa sepeda motor saja. Karena untuk naik bis butuh waktu lama saat menunggu nya.

Ketika hendak menyalakan roda duaku, aku dikejutkan oleh suara yang membuatku pusing kemarin.

"Naya? Kamu mau berangkat kerja?" tanyanya tiba-tiba di dekatku.

"Kamu??" tanya ku masih terkejut oleh kedatangannya.

"Kamu ngapain kesini? Kamu ngikutin aku yah?" tanya ku lagi dengan nada tak suka.

"Ah, Aku kebetulan lewat jalan ini lagi. Terus iseng liat kamu masuk gang didepan situ kemarin. Eh pas banget kamu lagi di depan sini mau berangkat," jawabnya membuat ku memicingkan mata tak percaya.

"Ya sudah minggir! Saya mau berangkat!" ucapku hendak menstarter motor.

"Eh. Tunggu! Berangkat bareng aku aja ya? Itung-itung sebagai tanda maaf ku atas kejadian kemarin," katanya lagi setelah menahan tanganku untuk menstarter motor.

"Udah ya? Saya buru-buru. Saya bisa telat kerja kalau meladeni anda terus. Anggap saja kemarin tidak ada apa-apa. Permisi," tolak ku dan hendak menyalakan mesin. Karena hari sudah siang. Aku tidak mau Bu Bos kecewa padaku.

Tapi aku bingung saat roda duaku tidak mau menyala. Aku salah tingkah di depan Ardhan karena segala upaya aku lakukan agar motorku menyala hasilnya nihil. Motorku mogok yang entah karena apa, aku juga tidak tahu. Aku melirik kearah Ardhan yang masih memperhatikan ku.

"Apa anda bisa membetulkan motor saya?" pintaku halus dan agak tidak enak dengannya.

"Bisa sih. Kalau saja saya tahu tentang mesin," jawabnya membuat ku kesal. Aku menghembuskan nafas kasar. Dan bergegas meninggalkannya tapi urung karena Ardhan lagi-lagi mencekal tanganku.

"Ayo naik," katanya.

"Hufttt!! Baiklah," jawabku lelah karena tak ada cara lain lagi selain ikut dengannya atau aku akan terlambat dan Bu Bos tidak akan membutuhkan aku lagi.

Seperti kemarin, tak ada yang memulai pembicaraan diantara kami. Hanya dingin AC menyelimuti kami berdua. Aku sedikit melirik kepadanya dan mengalihkan pandanganku ke jendela mobil.

Aku akui sekarang Ardhan lebih terlihat dewasa. Dia banyak berubah. Apalagi penampilannya sekarang berbeda. Bukan Ardhan yang dulu terlihat biasa saja. Sekarang dia lebih modis. Sangat stylish. Dan wangi tubuhnya menguar sangat kuat saat aku berada didekatnya. Aku jadi insecure sendiri.

"Terima kasih!"

"Aku,"

Tiba-tiba kami mengeluarkan suara bersamaan. Aku memejamkan mata menahan malu. Tapi tentu saja Ardhan tak bisa melihatnya. Kudengar Ardhan tertawa. Segera aku menolehnya.

"Hahaha.. lucu ya kita. Seperti kekasih yang sedang marahan. Saling diam. Haha," tawa nya lagi membuat ku tak suka.

'Sebenarnya mungkin kita masih kekasih Dhan' kataku dalam hati.

"Terima kasih sudah antar saya," cicitku menahan malu.

"Emm. Tidak usah terlalu formal gitu. Panggil saja Ardhan. Bukankah kamu belum tahu namaku?" tanyanya.

"Tidak usah bilang juga aku sudah tahu," jawabku keceplosan. Membuatku memejamkan mata lagi karena bisa-bisanya mulutku tak bisa diajak kompromi.

"Ahh.. iya benar. Kamu mungkin sudah mengenalku. Boleh aku tahu seperti apa hubungan kita dulu?" tanyanya membuatku memandang kearahnya. Lama.

'Hubungan kita lebih dari sekedar teman Dhan. Kita dulu pacaran memadu kasih, membuat kisah cinta yang indah. Tidakkah kau ingat itu? Semudah itukah kau lupakan ku?' Batinku dalam hati.

"Hallo?? Aku tanya sama kamu Nay," ucapnya mengibaskan tangan didepan wajahku yang masih melamun.

"Ah, Aku...a...kita hanya berteman. Ya... itu saja. Kita hanya satu sekolah. Aku tak begitu kenal denganmu," jawabku sedikit terbata sambil mengalihkan pandangan. Ingin sekali rasanya aku menangis sekarang.

"Ah, Begitu. Maaf Aku tidak ingat. Bolehkah sekarang kita jadi teman?" katanya lagi. Membuatku menoleh ke arahnya. Aku hanya mengangguk lemah.

Tak bisa lagi kuelakkan bahwa kehadiran Ardhan sangat membuat hatiku senang. Meski bersanding dengan sakit hati yang dulu pernah aku rasakan. Biarlah. Setidaknya Ardhan belum mengingat apapun tentangku.

Nanti saat dia ingat. Aku akan pergi lagi darinya. Mungkin ke kota lain lagi. Atau entah dimana sehingga tak lagi bertemu Ardhan.

Dan untung saja dia tidak membahas kenapa aku marah-marah padanya kemarin hingga menjadikan aku pingsan.

Kami sudah sampai di Toko Kue yang baru. Aku turun dan hendak meninggalkannya setelah mengucapkan terima kasih lagi padanya. Tapi aku merasa Ardhan masih mengikuti hingga ke dalam Toko.

"Maaf, sepertinya aku udah ucapin terima

kasih, kenapa masih mengikutiku?" tanyaku curiga.

"Oh, itu aku..." Ardhan hendak menjawabku tapi kudengar Bu Bos menghampiri aku dengan Ardhan.

"Oohh.. Jadi anak nakal ini yang buat Anaya terlambat iya?" kata Bu Bos disampingku sambil menjewer Ardhan didepanku. Yang jelas membuatku melongo melihatnya.

Jadi...

"Aduuh. Ibu.. Sakit, Bu. Ardhan udah gede, Bu. Masa dijewer kayak anak kecil," rengek Ardhan yang membuatku melongo tak percaya. Jadi benar Ardhan itu Anak Bu Bos? Takdir macam apa lagi ini?

"Anaya... Apa Ardhan macam-macam sama kamu? Kenapa bisa telat?" tanya Bu Bos. Aku tersenyum dan menggeleng cepat.

"Eh.. tidak Bu. Mas Ardhan yang bantuin saya antar kesini kok, Bu. Soalnya motor saya tadi mogok," jawabku reflek menyebut nama Ardhan dengan panggilan Mas.

" Hmm begitu rupanya. Jadi, tadi itu sebenarnya Ardhan yang harusnya bantuin Ibu, Nay. Tapi anak ini gak dateng-dateng. Makanya Ibu telpon kamu supaya kesini. Maaf ya, mengganggu istirahat kamu," ucap Bu Bos padaku yang membuatku tak enak sendiri.

"Oh. Gak papa kok, Bu. Saya sudah baik-baik saja. Saya senang bisa membantu Ibu," jawabku dan berpamitan kedalam lalu menganggukkan kepala pada Ardhan. Bagaimanapun juga, Ardhan ternyata anak pemilik Toko ini. Lain kali aku harus jaga jarak dengannya.

Entah apa yang akan terjadi dalam hidupku untuk kedepannya. Semoga aku mampu mengendalikan hati dan perasaanku saat di dekat Ardhan.

*******

Hari ini Toko sibuk sekali. Berhubung Toko ini adalah cabang baru, jadi semua persiapan harus selesai hari ini. Karena besok Toko resmi dibuka dan diadakan grand opening Toko dari pagi sampai malam.

Acara di pagi hari adalah mengundang calon customer dengan pemberian kue gratis untuk dicicipi. Tamu utama adalah pelanggan tetap dari Toko Bos di seluruh cabang, mungkin hanya sebagian saja diundang. Dan untuk customer baru kami sudah menyebar brosur di berbagai tempat dekat Toko. Lalu selebihnya kami akan memberikan kue gratis untuk orang yang sekedar melewati Toko kami dan berharap nantinya akan mampir ke Toko di lain hari.

Untuk malam hari adalah waktunya para karyawan menikmati hiburan. Seperti karaoke atau mungkin permainan kecil-kecilan guna mempererat hubungan antar karyawan, kepala Toko dan pemilik Toko.

Besok pasti akan sangat sibuk dan pasti sangat melelahkan. Untungnya persiapan hari ini tidak sampai sore karena banyak bantuan karyawan dari Toko cabang lain. Sehingga semua karyawan bisa pulang lebih cepat untuk mempersiapkan hari esok.

"Anaya!!!" Kudengar Bu Bos berteriak memanggilku dari dalam mobil yang berhenti tak jauh dari tempatku berdiri. Aku membungkuk dan tersenyum menyapanya.

"Ayo bareng Ibu. Tadi kan kamu bareng Ardhan. Sekarang biar Ardhan yang antar kamu pulang juga," ucap Bu Bos sambil melirik Ardhan. Aku tersenyum canggung karenanya.

"Oh tidak usah, Bu. Gak papa. Saya masih ingin jalan-jalan dulu. Nanti saya pulang naik Ojol saja," tolakku halus. Karena aku tak mau berada dalam situasi sulit di dalam mobil Ardhan.

"Memangnya mau kemana? Ayo Ibu temenin, gak papa kok," bujuk Bu Bos lagi.

Aku merasa tak enak jika terus menolaknya. Dan mau tidak mau aku menerima tumpangannya. Kulihat Ardhan tersenyum dari balik spion. Aku hanya mendengus.

Mobil kembali melaju dan aku berkata pada Bu Inah bahwa aku akan langsung pulang saja. Aku tak mau merasa tak enak dalam satu mobil bersama Ardhan. Apalagi ada Bu Inah yang tak lain adalah Ibunya.

"Nay, inget gak waktu itu Ibu pernah bilang mau kenalin kamu sama anak Ibu?" ucap Bu Bos tiba-tiba memecah keheningan dalam mobil.

'Aduh, Bu Bos kenapa bahas itu sekarang si? Itu kan ada Ardhan. Aduh bikin malu saja. Berasa jadi cewek gak laku-laku deh rasanya hiks.' batinku dalam hati.

"Benarkah?? Wah saya lupa, Bu," ucapku berbohong.

"Ituloh kemarin hari pertama Ibu ajak kamu ke Toko Baru. Ibu bilang mau kenalin kamu sama anak Ibu. Ya ini anaknya. Namanya Ardhan. Sudah kenal kan?" ucap Bu Bos lagi membuatku ingin keluar saja dari mobil ini.

Kulihat Ardhan hanya diam saja sambil fokus mengemudi dan sesekali menoleh kearahku dan ke arah Ibunya.

"Beneran Bu? Wah mungkin jodoh kali yaa?" jawab Ardhan sambil tersenyum.

Aduuh kenapa tersenyum dalam situasi begini Ardhan. Membuat jantungku tak karuan jadinya.

"Sebenarnya kami sudah kenal Bu. Tapi... "

"Oh iya Bu.. Gimana kalau kita makan dulu?" Tiba- tiba Ardhan memotong pembicaraan ku membuatku heran jadinya.

TBC

Bab berikutnya