"Dalam permainan, semua bisa terjadi. Keberuntungan, ketakutan, dan kesenangan adalah hal terbaik menjadi lakon permainan."
***
Bulan purnama malam ini menyala terang. Tampak menawan dari bawah sini. Yah meskipun kami ketakutan malam ini. Berharap Joe tidak menemukan kita adalah satu-satunya hal yang membuat terpaan bulan begitu berberda, seperti mengawasi dari atas sana.
Semoga saja tidak.
Rayyan mengecek pintu keluar. Ia bersembunyi di balik dinding, aku berada di belakangnya. Masih mengekor. Tidak masalah. Satu dua lorong aman. Sesekali aku menengok kanan kiri mencoba memastikan.
"Tanahnya becek." Kataku pada Rayyan.
"Waktunya nggak banyak. Lo kalau mau ngeluh nanti." Kata Rayyan sesekali menarik napas panjang. Ia gugup. Karena terpaan cahaya bulan membuat salah satu sisi dinding gedung dua gelap gulita. Kami akan memanfaatkan hal itu untuk menerobos masuk.
Tentu saja tidak mudah karena saat ini aku membawa lilin. Ini tentu memancing perhatian jika berada di tempat gelap. Aku mengusulkan untuk mematikan lilin dan berlari menuju gedung dua, saat sampai baru menyalakannya kembali. Rayyan tidak keberatan.
Ia mengendap-endap secara perlahan. Dari balik rerumputan hingga pepohonan dimanfaatkan sebaik mungkin. Rayyan berhasil lolos dan menungguku di ujung sana. Kami memilih jalan kanan karena jika kami milih jalan kiri adalah tempat tubuh Haniyah jatuh. Kami nggak kuat melihatnya. Bagaimanapun juga itu sebuah kecelakaan.
Giliranku.
"Astaga ngapain gugup juga kampret." Aku meyakinkan diriku sendiri.
Hap!
Lilin kumatikan. Aku nekat menerobos secepat mungkin dengan langkah tenang. Suara tapakan kaki yang becek mungkin akan berbahaya, jadi kuputuskan untuk menginjak rerumputan saja.
Aman.
Aku langsung menyalakan lilin. Rayyan melihatku.
"Ready?" tanya Rayyan.
"Bentar, kasih napas." Aku ngosngosan.
"Yok, capcus." Tambahku.
Rayyan membuka pintu perlahan. Aku berjongkok, Rayyan udah siap dengan balok kayunya. Melangkah ke depan. Berantakan sekali di sini. Bangku kursi yang berserakan sana sini, patung-patung di pojok kanan hancur berserakan seperti habis dihantam sesuatu. Mengerikan.
Ada bercak darah di langit-langit. Aku menoleh sebentar dan-
"Astajim!" kagetku.
" Apa?" tanya Rayyan spontan.
"Nggak, itu ada tengkorak kepala." Kataku singkat. Rayyan langsung mode siaga. Balok kayunya terangkat ke atas.
"Maksudku patung ini." Aku menunjuk pecahan batu kepala manusia.
"Asu."
Kami menelusuri lantai pertama. Memeriksa setiap ruangan dengan hati-hati. Rayyan memberitahuku jika ada penjaga (sebutan buat orang kerasukan joe) nggak perlu lari. Sesuai pengalaman di gedung 1, yang perlu diwaspadai adalah jika lilinnya mati. Mereka akan menyerang dengan membabi buta.
Tetap jaga lilin menyala dan segera pergi dari tempat itu.
Rayyan menghentikan langkahku. Dari sorot matanya mengatakan ada yang datang. Aku segera memahaminya dengan bersembunyi di bawah tangga. Sebisa mungkin langkahku tidak bersuara.
Rayyan berada di sampingku.
Drap! Drap!
Suaranya dari atas kami. Semakin banyak dan riuh. Aku yakin kalau penjaga lebih dari satu. Aku begidik ngeri. Apa jadinya jika mereka menemukan kita. Satu penjaga saja sudah sulit apalagi banyak.
Keringatku mulai mengalir. Bahkan tanganku sudah basah sebelumnya.
Detak jantungku juga demikian. Aku yakin Rayyan merasakan hal yang sama. Kutahan napasku. Hanya ini satu-satunya cara aman untuk bersembunyi.
"Duh Gusti. (Ya tuhan)" batinku.
Genggamanku semakin erat memegang lilin. Hampir saja kuremuk lilin ini.
Sosok mengerikan menurunkan tangga. Aku tidak tahu persis bagaimana wujudnya, tapi satu hal yang kudengar ada suara besi yang diseret. Membentur anak tangga hingga berbunyi Ting! Ting!
Ia menjerit.
Bulu kudukku semakin meninggi. Rasanya tubuhku mati rasa mendengar jeritan sosok itu. Kami tidak bergerak sama sekali. Hampir saja keringatku berhasil menetes dengan sigap ku usap berkali-kali. Suasana mencekam. Tekanan udara kali ini terasa berat.
Rayyan menoleh ke arahku terbata-bata.
Matanya tertuju pada lilin.
Aku tahu maksudnya. Sembunyikan lilin itu, usahakan cahaya tidak mengundangnya. Atau kita akan mati.
Aku menyembunyikan lilin di belakang punggung.
Krek!!
Aku menginjak daun kering. Ekspresiku langsung kusut terlipat. "Ya tuhan." Batinku.
Sosok itu menyadari dan suara derapan kakinya bertambah. Itu artinya ia bergerak ke sumber suara. Suara detingan besi yang ia bawa juga membentur anak tangga sana sini. Sudah tidak bisa. Kali ini kami harus membunuhnya.
Tanganku sudah terkepal. Siap menghajar.
Rayyan semakin meremas genggaman balok kayunya.
Suara itu semakin dekat. Ia mendesis kencang. Langkahnya mulai mendekat.
Jantungku berdetak cepat. Seakan-akan ingin copot.
Brak! Brak!!
Suara barang jatuh.
Itu tidak berasal dari kami. Melainkan lantai atas. Yang berarti masih ada orang di gedung ini.
Jantungku nyaris berhenti melihat bahwa sosok itu sudah berdiri tepat di samping kami. Sosok tersebut berhasil membuat kami seketika mematung. Jika saja sosok itu menoleh sedikit merunduk pasti ia akan mendapati kalau ada mangsa di dekatnya. Sangat dekat.
ternyata cuma satu ekor.
Sekarang kami bisa melihat tubuh bagian bawah sosok tersebut. Tangan dan kakinya berdarah-darah. Terdapat luka lebam dan borok. Saat melihat ke atas, perasaanku mulai aneh takkala melihat pakaian yang dikenakan sosok tersebut. Ia mengenakan pakaian sama persis dengan Haniyah. Pakaian itu kotor penuh lumpur basah. Seperti diguyut hujan.
Atau jangan-jangan?
Mustahil. Sangat mustahil.
Ia membawa sebilah golok di tangan kirinya. Senjata tersebut dihiasi darah kental hingga ujung. Hanya jeda berberapa detik, sosok itu berbalik dan pergi meninggalkan kami. Menuju lantai atas.
Suara derapan kakinya masih terdengar. Khas dengan bunyi golok membentur sisi tembok, suara itu mulai menjauh.
Kami akhirnya bisa bernapas lega. Maut hampir saja menghampiri. Tapi dewi fortuna masih menyayangi kami.
"Kita harus ke atas." Bisik Rayyan. Ia sudah berancang-ancang keluar tapi aku menahan pergelangan tangannya.
"Lo gila?" bantahku tidak setuju. Jelas jelas penjaga menuju lantai dua.
"Kenapa lo tiba-tiba jadi pengecut gini sih?! Di atas ada Rachel." Rayyan mulai meninggikan suaranya.
"Maksud lo kita akan ke sana tanpa rencana, gitu? Itu bunuh diri. Nggak ada jalan buat melawan, selain menangin permainan ini." Tambahku.
"Tapi elu nggak bisa menangin permainan ini sendirian. Kita harus ke atas atau makhluk itu bakal bunuh satu persatu tanpa ampun." Tatapan Rayyan serius. Dia memutuskan untuk tidak mendengarkanku.
"Terserah kalau lo nggak keluar. Gue nggak minta."
Ia keluar. Aku menepuk dahi.
Aku jengkel kenapa tiba-tiba jadi pemarah gini sih, sialan. Tidak ada pilihan lain. Aku pun memutuskan keluar mengikuti Rayyan dari belakang.
Menaiki tangga dengan cepat. Mencari sumber suara.
Berhenti sebentar dan mulai mengawasi sekitar. Aman, kami pun bergerak lagi.
Aneh. Suara ribut tadi mendadak hilang begitu saja ketika kami baru saja tiba di lantai dua.
Tolong!!
Teriakan suara wanita. "Itu Rachel!!" kataku berseru. Arahnya dari lantai tiga.
"Matiin lilinnya! Nanti gunain saat di atas!!" kata Rayyan spontan. Tanpa pikir panjang Rayyan langsung lari secepat mungkin meninggalkanku.
Astaga. Aku tertinggal.
Aku berlari menyusul Rayyan. Menaiki tangga gelap sambil membawa lilin yang padam. Sekarang kami seratus persen bergerak di dalam kegelapan. Dibilang menguntungkan karena kami bisa bergerak leluasa tanpa memikirkan masalah lilin ini. Sialnya, berberapa kali kami menabrak tembok.
Kami berada di lantai tiga.
"Chel!!" teriakku.
"Chel!! Lo di mana!!" sekali lagi.
"Tolong!!!" jerit Rachel sekali lagi. Kami kembali berlari, tanpa memperdulikan sesuatu yang tertinggal. Rayyan mengeluarkan senternya. Tunggu dulu, itu senter milikku. Kurang ajar nggak dikembaliin.
Cahaya senter menerpa segala penjuru lorong. Tergesa-gesa akhirnya sampai di balkon selatan.
Ketemu.
Rachel ambruk dengan darah berceceran di lantai. Tangannya menunjuk sesuatu. Aku melihatnya, tapi tidak tahu maksudnya. Rayyan dengan gegabah menghampiri Rachel yang terkapar.
Jika ada Rachel.
Maka penjaga itu. Pikirku.
Aku tahu maksudnya. "Bahaya!!" teriakku pada Rayyan. Penjaga berdiri persis membelakangi dinding. Ia sengaja menunggu kami lewat dan akan mengayunkan senjatanya kepada kami.
Aku berlari mendorong Rayyan dengan keras. Mencoba menghindari serangan. Alhasil kakiku tersayat golok tersebut. Rayyan membentur dinding begitu juga denganku. Darah dari kakiku mengalir segar. Aku menggeram kesakitan. Senter terjatuh tak jauh dariku. Cahaya senter tersebut menerpa sosok penjaga. Aku melihatnya dan menatap ngeri.
Sialan.
Sosok itu datang menerjang. Rayyan bangkit dan langsung menyerangnya. Ia hendak memukul kepala makhluk itu, tapi dengan cepat tangannya dipegang dan dibanting keras sekali. Balok kayu terlempar jauh.
Rayyan terbatuk.
Makhluk itu hendak menusuk Rayyan dari atas. Rayyan sadar dan langsung berguling ke kanan. Mencoba mengambil kembali balok kayu dan melemparkannya tepat mengenai kepala penjaga itu. Sedikit terdengar suara remuk tapi sayang tidak membuatnya linglung. Disaat bersamaan penjaga itu melempar goloknya dan Clarsshh!!
Menancap tapat di bahu Rayyan.
Rayyan tidak bisa bergerak. Makhluk itu menarik goloknya dengan paksa hingga Rayyan jatuh tersungkur. Tangannya terangkat. Sepertinya ia hendak memenggal kepala Rayyan.
Hanya butuh berberapa detik hingga akhirnya Rayyan tidak bisa berbuat apa-apa lagi.
Ini gawat. Suasana mulai parah. Aku harus menyalakan lilin.
Aku mengambil korek api dari tanganku dan secepat mungkin aku menyalakan lilinnya.
Area balkon remang-remang karena lilin. Gerakan makhluk itu terhenti total. Dari yang awalnya sudah siap menebas leher Rayyan tapi sekarang ia menurunkan goloknya dan tidak melakukan apapun. Termenung melihat kami.
Aku berdiri. "Lo bisa jalan?" tanyaku pada Rachel. "Tinggalin Gue. Lari selagi sempat Bal." Kata Rachel. Aku tidak setuju dengan perkataannya. Kutatih tubuhnya sebisa mungkin.
Di antara kami bertiga hanya akulah yang mengalami luka ringan. Aku harus membawa mereka selamat.
Bagus! Rachel masih bisa berjalan. Rayyan mencoba berdiri. Sedikit susah tapi kubantu hingga akhirnya ia bisa bangkit.
Makhluk itu masih berdiri dalam diam. Tatapannya kosong tapi seakan-akan mengawasi kami. Aku tidak berani melihatnya karena wajahnya yang hancur berantakan. Itu Haniyah. Ia masih hidup walau dengan kondisi tubuh mengerikan. Ini gila. Sangat gila. Aku tidak kuat lama-lama di sini.
Cahaya lilin masih menyala. Kumohon, jika lilin ini mati maka habislah kami diserang Haniyah. Kami bergerak secepat mungkin meninggalkan Haniyah.
Aku memberikan korek api pada Rayyan. Ia tahu maksudku. Saat lilin mati, maka tangan Rayyan akan menyalakan korek api dan membakar lilin.
Pada akhirnya, kami sudah cukup jauh dari Haniyah. Menuruni tangga dan sampai di lantai dua. Sesekali Rayyan menoleh ke belakang. Memeriksa apakah Haniyah masih mengikuti kami atau tidak.
"Ke mana?"
"Akmal. Cuman dia yang paling dekat dari sini." Kataku sembari membopong dua temanku ini.
"Semoga saja dia bersedia. Ngebukain pintunya" Kata Rayyan ragu.
"Pasti dibukain." Kataku mantab.
***