webnovel

Rooftop

Matahari telah terbenam, langit berubah gelap, awan mendung menghiasi langit, sebentar lagi akan hujan, mungkin.

Asahi duduk sendiri di rooftop rumahnya. Rumahnya memang besar, hanya saja sepi dan mencekam. Efek satu keluarga diam semua kali ya...

Terkadang, rooftop rumahnya—di lantai dua—sering di jadikan tempat nongkrong, entah membahas pendidikan ataupun kegiatan apa yang ingin mereka lakukan. Mereka jarang membicarakan wanita—karena sejauh ini belum ada wanita yang singgah di hati mereka, mungkin hanya sebatas suka atau kagum.

Rumah Asahi lumayan berjarak dari rumah tetangga, efek halaman yang luas. Hal itu tentu membuat suasana semakin menyeramkan, bukan?

"Bara... Kak Evan..." gumamnya manggut-manggut mengerti.

"[Tuan Hamada Asahi yang terhormat, gue boleh masuk gak?! Gue mau main nih!]" Teriak seseorang dari depan gerbang rumahnya.

Karena di rumah hanya dia sendiri, dia iyakan saja deh. Kan lumayan membantu, hehe.

"Masuk aja!" Jawab Asahi berteriak juga.

Orang di depan gerbang tersebut langsung masuk dan berjalan naik ke rooftop lewat tangga samping rumah Asahi. Sengaja dibuat supaya kalau ada apa-apa tidak perlu bingung harus keluar dari mana, tinggal lewat sana saja.

"Tumben jam segini belum tidur?" Heran sang teman setelah tiba di rooftop.

"Lagi banyak pikiran," jawab Asahi cuek, terus memandang ke halaman rumahnya.

"Lo lagi mikirin cara untuk bunuh kita?"

"Menurut lo?"

"Enggak."

Asahi mengedikkan bahunya. "Gue tau lo percaya kalau gue bukan pelakunya. Gue bukan impostor."

"Haha, emang. Ya iyalah, gue 'kan impostornya, Kak Asahi."

'Deg!'

Badan Asahi berbalik ke belakang, matanya terbelalak lebar. Orang itu tertawa, maju selangkah demi langkah menghampiri Asahi.

"Lo gak akan bisa lari, gue sebarin paku di tangga, pintu masuk ke dalem macet 'kan? Lo cerita waktu itu."

"[Sialan!]" Umpat Asahi dalam hati.

"Lo tau gak, gue pengen banget bunuh lo sejak lama."

Asahi melirik sisi kiri orang itu, kemudian berlari melewatinya menuju tangga. Sial, ternyata benar ada paku disana! Jumlahnya banyak sekali.

"Udah gue bilang, lo gak akan bisa lari, kemanapun," ucap pemuda berbaju putih tersebut.

Asahi berbalik menghadap orang itu, sebisa mungkin ia menyembunyikan rasa paniknya, ekspresi datar ia tunjukan, mencoba tenang.

"Kenapa lo mau bunuh gue? Gue ada salah apa sama lo?" Tanya Asahi menatap tajam.

Orang itu berhenti tepat di depan Asahi, mengetuk-ngetuk dagunya dengan jari telunjuk. "Hmm, apa ya? Oh, gue tau. Lo 'kan kebanyakan diam sampai kita suka gak sadar sama keberadaan lo, seakan-akan di anggap gak ada."

Asahi mundur selangkah, was-was.

"Nah, gue bakal bikin lo beneran di anggap 'gak ada'. Biar lo gak sakit hati, niat gue baik 'kan?"

"Udah gila."

"Gue memang gila, tapi gue yakin apa yang gue lakuin bakal bikin yang lain seneng karena lo 'gak ada'. Sst, jangan gentayangan biar gak ada yang tau."

Kemudian, orang itu mendorong Asahi hingga jatuh berguling di tangga, menyebabkan paku-paku di sana menancap di wajah hingga ke badan.

Orang itu tertawa puas, rupanya rencananya dengan 'dia' berjalan mulus.

Ia turun ke bawah pelan-pelan, menghindari paku yang bertebaran. Dia bersimpuh di samping tubuh Asahi yang tak lagi bergerak, memeriksa denyut nadi dan napasnya. Tidak ada.

"Oke, bagus deh kalau meninggal beneran."

•••

"Lo yakin si Yetfa yang bunuh Gendra, Van?" Tanya Aksa ke lawan bicaranya di telepon.

"[Yakin! Gue emosi liat dia pura-pura gak tau, keliatan jelas dia bohong. Lo harus cek sendiri, lo pancing dia buat ngomong.]"

"Gimana, ya... gak mungkin Yetfa..."

"[Lo gak percaya sama gue? Jelas-jelas gue liat dia bawa pisau lipat juga di kantong celananya!]"

"Mungkin buat jaga diri kali, Van..."

"[Ck, lo itu terlalu berpikir positif, lo terlalu percaya sama temen lo sendiri. Lo itu bakal lebih sakit hati karena dikhianatin.]"

Aksa memijat keningnya, mulai pusing. "Kalau cuma itu, kurang membuktikan kalau dia pembunuh, Evano Reinaldo."

"[Terserah, lo bakal nyesel kalau gak percaya sama omongan gue.]"

'Pip!'

Panggilan telepon diputus sepihak. Aksa mengumpat, memang benar-benar oknum bernama Evan itu, selalu saja bikin emosi.

Kalau dia di temukan tak bernyawa, jangan salahkan Aksa.

Hmm...

Boleh juga.

'Brrmm brrmm'

Suara deru mesin motor mendekat ke rumahnya. Itu 'kan Galaksi, kenapa dia datang malam-malam begini?

"Ck, gue paling males kalau mau ke rumah gak bilang dulu," decak Aksa berjalan gontai ke gerbang. "Lo ngapain malem-malem kesini? By the way, rapet banget tuh jaket."

Galaksi mematikan mesin motornya, menaikkan kaca helmnya. "Gue liat Kak Acio, lari di jalan bawa kantong kresek."

"Siapa tau dia beli makanan..."

"Beli makanan gak mungkin plastiknya sebesar itu!" Seru Galaksi menyanggah. "Gini, orang normal mana yang lari-larian di jalan malem-malem begini, bawa plastik gede sendirian dan dipanggil gak nengok."

Aksa menyipitkan matanya. "Lo yakin gak salah liat? Acio aja gak dibolehin Nares keluar malem-malem begini."

"Beneran!"

Aksa mengangguk-angguk. "Oke... tapi sebelum gue percaya, gue mau tanya satu hal. Di jaket lo ada darah, masih netes tuh. Itu darah apa, Galaksi? Ralat, darah siapa?"

Galaksi diam tak menjawab. Dia panik, tak tahu harus menjawab apa.

Dari balkon rumahnya, Mashiho melihat dan mendengar interaksi Aksa dan Galaksi. Dia terkekeh pelan, menopang dagu di atas pagar pembatas.

"Memang pada dasarnya gak bisa akting, jadi ketahuan 'kan. Dasar."

Bab berikutnya