webnovel

Kepintaran Pelaku

Rio dan Rangga sampai di kantor polisi, lalu Rio langsung mengecek sample sidik jari yang baru saja di berikan pihak forensik. Identitas milik korban ditemukan, dan Rio langsung melaporkan pada Pak Saleh.

"Komandan, identitas korban sudah di ketahui. Dia Rohani 25 tahun berasal dari kabupaten Yogyakarta, dia seorang perantau yang bekerja di departemen store yang ada di Jakarta," lapor Rio berdiri di dekat meja Pak Saleh.

"Telfon Arya sekarang! Pinta dia untuk ke tempat kerja korban meminta keterangan dari orang terdekatnya disana," jawab Pak Saleh. "Angga dan Rangga kalian urus kepulangan jenazah ke keluarga korban sekarang," perintah Pak Saleh melihat Angga dan Rangga.

"SIAP KOMANDAN!" tegas Rangga dan Angga beranjak dari kursinya dan pergi untuk menjalankan tugas.

Setelah mereka pergi, Pak Saleh beranjak dari kursinya untuk pergi ke suatu tempat.

"Saya pergi dulu," pamit Pak Saleh pada Rio lalu berjalan dengan cepat meninggalkan kantor.

"Siap Komandan," jawab Rio melihat Pak Saleh yang berjalan dengan cepat.

Di rumah kakek pemulung, Adamma dan Arya sedang frustasi. Mereka tidak menemukan tas milik korban, dan hanya menemukan secarik kertas yang bertuliskan bahasa sansekerta Jawa kuno.

"Cari dan temukan aku jika kalian bisa," pesan dalam secarik kertas.

"BRANG…BRANG…BRANG" Arya mengamuk dengan menendang barang bekas yang ada di sekitarnya.

Adamma juga kesal dengan terus melihat tulisan sansekerta Jawa kuno, lalu dia mengajak Arya untuk kembali.

"Tenanglah! Lebih baik sekarang kita kembali ke kantor untuk melaporkan ini," ajak Adamma menarik lengan Arya.

Saat berjalan menuju mobilnya, ponsel milik Arya berdering panggilan dari Rio. Dengan segera Arya mengangkatnya.

"Ada apa?" tanya Arya yang masih kesal.

"Identitas korban sudah di temukan, Komandan meminta kamu untuk pergi ke tempat kerjanya," jawab Rio yang sedang duduk mengerjakan laporan.

"Kirim identitasnya dan alamat tempat kerja korban," pinta Arya lalu mematikan panggilannya.

Di ruangan Pak Handoyo memarahi Pak Saleh yang lambat dalam menangani kasus, semua itu dia lakukan hanya untuk formalitas dalam menjalankan tugas sebagai kepala kepolisian.

"Sudah berapa lama kasus ini, dan sampai saat ini sudah beberapa korban berjatuhan akibat pembunuhan berantai itu," tegur Pak Handoyo menatap tajam Pak Saleh. "Jika kamu tidak bisa menemukannya, aku akan menurunkan jabatanmu!" ancam Pak Handoyo membuat Pak Saleh merasa tertekan.

"Maafkan saya Pak, saya akan melakukan pekerjaan  dengan lebih baik lagi untuk mencari pelaku," jawab Pak Saleh menundukkan kepalanya.

"Seharusnya kamu itu berpikir, jangan lamban! Banyak yang bisa menggantikan posisi kamu sekarang," ketus Pak Handoyo melirik Pak Saleh.

"Saya berjanji akan menangkap pelakunya," jawab Pak Saleh menatap Pak Handoyo untuk meyakinkannya.

"Sudah sana! Kerjakan tugasmu dengan baik," perintah Pak Handoyo kepada Pak Saleh.

"Siap Pak!" tegas Pak Saleh beranjak dari sofa lalu melangkah meninggalkan ruangan Pak Handoyo.

Setelah Pak Saleh keluar, dia tersenyum licik dengan semua taktik yang sedang dia pikirkan.

"Dasar tikus jalanan!" gumam Pak Handoyo melihat ke arah pintunya.

Di luar Pak Saleh merasa sangat tertekan, membuat dia ingin sekali menangkap seseorang untuk di jadikan pelakunya.

"Ishhh, Sialan. Bagaimana jika aku di turunkan jabatannya. Pasti istriku akan mengamuk padaku," batin Pak Saleh sambil berjalan menuju kantornya.

Di perjalanan menuju departemen store, Adamma hanya terdiam memikirkan pelaku yang lebih dulu mengambil bukti yang dia cari.

"Bagaimana pelaku bisa tahu, apa kakek memberitahunya lebih dulu? Apa mungkin… Ah tidak tidak mungkin," batin Adamma dengan mengerutkan dahinya.

Arya yang melihat, merasa ingin tahu dengan pikiran yang ada di kepala Adamma.

"Apa yang sedang kamu pikirkan?" tanya Arya melihat kerutan di dahi Adamma.

"Tidak, aku tidak memikirkan apapun," jawab Adamma menyembunyikan pikiran negatifnya.

"Dahimu itu tidak bisa berbohong, jika tentang kasus ini sebaiknya kamu utarakan. Karna kita sekarang rekan," ucap Arya memaksa Adamma untuk bercerita.

"Aku hanya bingung, kenapa pelaku bisa lebih dulu mengambil bukti yang kita cari," jawab Adamma melihat Arya.

"Kakek itu berbohong pada kita, aku yakin saat di gudang dia telah memberitahunya kepada pelaku sialan itu," jelas Arya menahan kekesalannya.

"Bisa jadi sih! Aku sangat yakin sekali di tas itu pasti pelaku secara tidak sengaja meninggalkan bukti penting. Sehingga dia ingin sekali mengambilnya lebih dulu," jawab Adamma dengan rasa yakin yang sangat tinggi.

"Kalau itu juga aku yakin, tidak mungkin dia akan kembali jika tidak meninggalkan sesuatu yang penting dalam tas itu," Arya menyetujui pemikiran Adamma.

***Kejadian sebelumnya***

Saat melihat dua polisi (Arya dan Adamma) sudah pergi dari rumah sakit, pelaku pengintai yang tadi dikejar oleh Arya sedang menelfon seseorang.

"Mereka sudah pergi," ucap pengintai kepada seorang pria berjubah Dokter duduk di kursinya.

"Hemm," jawabnya lalu mematikan panggilannya.

Pria berjubah Dokter itu membawa setoskopnya, lalu keluar dari ruangannya. Berjalan melewati lorong, lalu melihat dua polisi yang sedang berjaga di depan kamar kakek. Dua polisi yang melihat, langsung mencurigai Dokter yang sedang berjalan ke arahnya dengan memakai masker.

"UHUK…UHUK…" Dokter berpura-pura batuk agar dua polisi itu tidak memintanya untuk membuka masker wajahnya. "Maaf saya akan memeriksa kondisi pasien," ucap Dokter kepada dua polisi itu.

Dua polisi itu menyingkir dan membiarkan Dokter masuk untuk mengecek kondisi kakek. Dokter menutup pintunya.

"Tap...Tap…Tap…" suara langkah kakinya membangunkan kakek yang sedang terlelap tidur.

Kakek itu melihat ke arah Dokter yang ada di depannya, lalu dia teringat dengan seseorang yang sewaktu di gudang akan membunuhnya.

"Kau orang yang sama kan!" lirih kakek dengan suara seraknya.

"Dimana tas itu?" tanya Dokter menatap kakek itu dengan dingin.

Kakek itu hanya terdiam, dia sudah pasrah dengan kehidupannya dan memutuskan untuk bungkam tidak memberitahukan keberadaan tas itu.

"Aku tidak akan memberitahu, lebih baik aku mati sekarang. Aku harap polisi wanita itu bisa menemukan tas yang aku kubur di dekat tong besar," batin kakek itu melihat Dokter yang sedang menatapnya.

Dokter tertawa kecil seperti meledek kakek itu, lalu dia melangkah menuju impusan yang menggantung. Dia mengeluarkan suntikan dari dalam saku jubahnya, lalu dengan perlahan dia menyuntikkan ke dalam cairan infus.

"Terima kasih sudah memberitahuku, hehehehe. Selamat jalan kakek tua," ucap Dokter yang sudah selesai menyuntikkan cairan ke dalam infus.

Kakek itu terkejut, dengan mata melotot ke arah Dokter dan tak lama dia menutup mata dan meninggal. Setelah memastikan kakek itu sudah tiada, dia keluar dari dalam kamar kakek itu, lalu berpamitan kepada dua polisi yang sedang menjaganya di luar.

 

 

 

 

Bab berikutnya