Sosok-sosok pelajar SMA berdatangan membantu kami memindahkan kendaraan juga membantu menghadang dan mengarahkan lalu lintas agar tidak terjadi kemacetan.
"Angkat korbannya dan bawa keduanya ke rumah sakit!"
Terdengar suara pelajar cowok yang lantang memberi intruksi kepada teman-temannya.
Aku berusaha berdiri dan melihat kondisi Leon, tapi beberapa orang pelajar tersebut membantuku berdiri sebelum aku sempat berjalan kearah Leon.
"Sebentar, aku ingin melihat kondisi adikku."
"Tenang saja, kami akan membawa kalian ke rumah sakit."
Seseorang yang membantuku berdiri kini menghalangiku sambil mengarahkanku ketepi jalan.
"Lepaskan aku! Aku ingin melihat kondisi adikku dulu!!"
Aku berusaha berontak sekuat tenaga dan berlari kearah gerombolan pelajar yang membawa Leon.
"Berhenti! Biarkan aku melihat adikku!"
Tak peduli apapun yang terjadi, aku memaksa masuk kedalam gerombolan itu demi melihat adikku.
"Leon..."
Akhirnya tubuh Leon terlihat.
Luka yang dialaminya sepertinya cukup parah.
Darah mengalir dari beberapa anggota tubuh yang terluka, juga dari hidung dan mulut.
Beberapa pelajar menarik tubuhku agar menjauh, tapi aku melawan sekuat tenaga demi melihat tubuh Leon lebih teliti lagi.
"Semoga kepalanya nggak terbentur terlalu kencang!"
Suaraku tak terkontrol. Tanpa kusadari suaraku bergetar, mataku pedih, dadaku sesak, dan disaat seperti ini aku akan memaksakan keinginanku bagaimanapun caranya.
"Kepala... Kepala..."
Sepertinya para pelajar itu mulai memberi toleransi. Aku menyentuh leher Leon perlahan dan berusaha melihat apakah ada darah mengalir dari kepalanya.
Tubuhku lemas.
Tak terasa pipiku basah.
Aku bersyukur sekali kepala Leon tidak terbentur sedikitpun.
"Terimakasih, kumohon bantuan kalian!"
Mereka kembali membantu mengangkat tubuh Leon ke Ambulans yang entah sejak kapan sudah datang didekat sini.
"Kecerdasanmu nggak bertambah... Jika terus-menerus begini lama-kelamaan kau akan benar-benar Menghilang..."
Suara yang pernah kudengar muncul dibelakangku.
Aku berdiri untuk memastikan siapa yang berbicara denganku.
Sinar Matahari membuat penglihatanku sedikit terganggu, namun silhouette cowok dengan potongan rambut sepanjang leher diikat kebelakang ini tak asing lagi.
"Kau... Cowok yang ditoilet?"
Ia mundur dan berusaha lenyap didalam kerumunan pelajar SMA yang berusaha membawaku kedalam Ambulans.
Aku tak tinggal diam, sebelum ia terlalu jauh tanganku sudah menangkap tangannya.
Kutarik tangan itu seiring tubuhku yang terbawa oleh beberapa pelajar SMA yang posturnya tak jauh lebih tinggi dariku.
"Hey, lepaskan aku!"
Suara yang berbeda? Para Pelajar yang membawaku akhirnya melepas pegangan mereka dariku dan membuat sosok yang kutangkap terungkap.
"Kau ini kenapa?"
Benar-benar sosok yang berbeda...
Tapi, aku yakin tadi itu suara cowok di toilet waktu itu.
Tak masalah, yang penting saat ini Leon aman dan berada di Ambulans bersamaku.
Aku penasaran, bagaimana bisa Ambulans bisa tiba persis setelah aku dan Leon terjatuh.
Kulihat sekeliling hingga dua bangku didepan, bangku sopir dan sebelahnya.
Apa mereka bisa mendengar suaraku ketika aku bertanya sesuatu?
Atau kalaupun mereka bisa mendengarku, apa aku bisa mendengar jawaban mereka?
"Permisi, apa suaraku terdengar?"
Aku berusaha mengetuk kaca pembatas Ambulans supaya mereka sadar bahwa aku memanggil mereka.
Salah seorang dari mereka menoleh, pria ini duduk di sebelah sopir, potongan rambut dan bentuk wajahnya seolah tak asing.
Sepertinya ia tak mendengar suaraku.
disaat seperti ini aku hanya bisa mempercayakan semuanya kepada dua orang dibangku depan.
.
..
...
Ambulans berhenti, suara beberapa orang dari arah luar Ambulans terdengar cukup ramai.
Pintu Ambulans terbuka dan seketika itu aku terkejut takjub!
Para Pelajar SMA yang tadi menolong dengan mengangkat tubuh kami ke Ambulans mengawal kami sampai Klinik ini.
"Sebagian berjaga diluar! Sebagian lagi kawal sampai masuk ke ruang perawatan!"
Lagi-lagi suara perintah yang tegas itu terdengar dengan lantang, warna suara yang sama ini terasa tak asing. Jika ia berbicara dengan suara normal sepertinya aku akan mengenalinya.
Aku berusaha mencermati setiap pelajar SMA diluar sana, disaat para perawat membantu mengeluarkan Leon dari Ambulans dan memindahkan kedalam ruang perawatan aku akan mencari tahu siapa saja yang menolong kami saat ini.
"Kau harus masuk dan dirawat juga!"
Lagi-lagi beberapa pelajar mendorong tubuhku perlahan kearah dalam, disaat yang sama entah kenapa pelajar yang lain berusaha mempersempit ruang lingkup pandanganku.
Sial, lagi-lagi aku kehilangan moment mencari tahu sosok yang membawaku kesini.
Ah, iya, pria yang ada disamping sopir tadi juga belum sempat kulihat.
Cih...
Aku sudah berada didalam Klinik, pintu sudah tertutup, dan suara Ambulans sudah menjauh.
.
..
...
Aku menemani Leon di ruang perawatan.
Ayah dan Ibu berada di kampung halaman.
Kami baru saja menggunakan uang tabungan kami untuk membayar biaya latihan Badminton di Flying Feather.
Aku harus mencari kerja sampingan untuk biaya perawatan Leon...
Pintu terbuka.
Mungkin perawat atau dokter akan datang dan membahas masalah biaya...
Biarlah, aku tak peduli...
Akan kuhadapi, yang penting Leon bisa dirawat hingga pulih...
"Kau tak perlu lagi memikirkan biaya perawatan adikmu."
Kepalaku yang tadinya tertunduk lesu karena beban pikiran ini, mendengar hal itu seolah memiliki kekuatan untuk bangkit kembali dan menatap siapapun yang mengucapkan kalimat itu.
"Kau!"
Tamu Wanita yang pernah datang ke sekolahku ketika promo minuman bergizi, masih tetap dengan pakaian rapi, rok pendek yang menutupi paha.
"Kuharap dengan kejadian ini membuatmu sadar bahwa kita harus bekerja sama!"
Aku berdiri dengan tegas dan kutatap matanya dengan mantap : "Apa yang sebenarnya sedang terjadi!"
"Kita diincar..."
Wanita itu menjawab dengan singkat. Dan itu tak menjawab pertanyaanku sedikitpun.
"Apa maksudmu?!"
Aku memaksanya untuk menjelaskan lebih lanjut, dan tanpa kusadari tubuhku terdorong maju karena ambisiku.
"Orang-orang yang 'Tertidur', mereka berada di Fase yang berbeda dibandingkan saat berada di 'Awaland'."
Mataku terbelalak.
Selain Masriz dan teman-temannya ini kali pertamanya ada orang lain yang mengetahui tentang Awaland.
"Jangan berbelit-belit, jelaskan apa maksudmu! Adikku celaka dan nyaris membuatku merasa kehilangan!"
Tak kusadari aku mendesaknya hingga terpojok di tembok.
"Demi keselamatan kita bersama, aku takkan menceritakan lebih jauh sampai kau menyatakan untuk bekerjasama denganku!"
Wanita ini mendesakku, sial!
Aku tak punya pilihan lain!
"Baiklah, jika aku menyetujui untuk bekerja sama denganmu, kau harus menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi!"
Wanita itu menutup mata, cih, dia begitu tenang dan itu membuatku terlihat konyol.
Ia menjauhiku dan mengangguk perlahan.
"Di kehidupan nyata ini kau tidak setenang di Awaland Juan.
Maka dari itu duduklah dengan tenang dan dengarkan ceritaku."
Benar...
Dia benar!
Sial! Karena kejadian ini, karena Leon terluka, karena memikirkan biaya perawatan, aku kehilangan ketenanganku.
Aku menghempaskan tubuhku kearah sofa dibelakangku.
Wanita itu menyodorkan sebotol air mineral.
"Tenangkan dirimu."
Baiklah... Tenang... Huft...
Aku menghela nafas panjang sebelum meneguk air itu perlahan-lahan.
"Maafkan aku... Aku..."
Kusadari sisi emosionalku meluap melihat Leon terbujur disana.
"Kau harus paham perbedaan permainan para Calon Dewa di Awaland dibandingkan dengan disini."
Ia meneruskan kata-katanya. Aku sudah cukup tenang untuk mendengar ceritanya, aku mengangguk pelan menunjukkan kepadanya bahwa kesiapanku sudah bulat.
"Di Awaland, kita bertempur sendiri, tak ada orang-orang yang kita sayangi."
Ia menjelaskan mengenai Awaland, tapi pertanyaanku bukan tentang itu!
"Itu benar, lalu bukankah itu semua sudah berakhir?"
Hey, jelaskan! Jangan bertele-tele!
"Pertempuran kita terseret ke dunia nyata, Juan!"
"Setelah Pertempuran akhir, Awaland hancur dan seluruh Manusia yang terlibat didalamnya kembali ke dunia nyata."
"Akhir pertempuran itu adalah kekalahan kita. Pemenangnya mengunci ingatan kita."
"Cara mengembalikan ingatan kita adalah terhubung kembali dengan mereka yang pernah berada didalam Awaland."
"Dan kau pasti kenal Masriz?"
Walau menceritakan sepatah-sepatah, tapi perlahan aku sedikit memahami apa yang sedang terjadi.
"Masriz yang membantuku memulihkan kondisiku."
Aku menjelaskan sekaligus menjawab pertanyaan wanita itu.
"Ya, dia membantu kita semua untuk membuat semuanya semakin mudah."
Wanita itu berdiri, berjalan perlahan kearah pintu ruangan ini.
"Para Pelajar SMA ini juga, mereka ada karena cowok yang berada dibelakang mereka ingin kita bekerja sama."
Wajah wanita itu perlahan melemah.
"Kami tak bisa sembarangan memberi tahu nama kami kepada orang lain. Jika kami salah mengungkap identitas kepada orang yang salah, lalu ternyata orang tersebut adalah pesaing kita didalam Awaland dan ingatannya kembali lebih dulu lalu mencelakakan kita, ini semua akan berakhir."
"Lalu bagaimana bisa beberapa orang mengetahui Identitasku bahkan namaku dan alamat rumahku?"
Ini semua perlahan semakin jelas. Tapi pertanyaan yang muncul akan semakin banyak untuk membuat semuanya terungkap.
"Kau adalah Dewa terakhir sebelum Pesaingmu mengajukan tantangan dan mengalahkanmu hingga menghancurkan Awaland.
Karena itulah namamu diingat oleh seluruh manusia yang terlibat dalam Awaland."
Aku terkejut, mataku terbelalak, nafasku berhenti sejenak.
Ingatanku yang samar itu tak salah, tubuhku juga tak berbohong.
Itulah alasannya mengapa setelah terbangun dari tidur selama 3 tahun tubuhku terasa berat.
"Pertempuran macam apa yang membuat tubuhku terbebani selama 3 tahun ini..."
Suaraku lirih namun ditengah suasana sepi itu aku yakin wanita itu dapat mendengarnya dengan jelas.
"Karena itulah kita harus bekerja sama, untuk mengungkap ingatan yang tersembunyi ini."
Ia membalas ucapanku.
Aku semakin yakin dengan cerita yang diucapkannya. Namun, apa ia berada di sisi yang bisa kupercaya?
"Namaku Tamasha, kemampuan 'Gratifikasi' milikku begitu sulit diterapkan di dunia ini."
Dia membeberkan identitasnya padaku?
Ugh... Kepalaku nyeri...
.
..
...
Kilatan cahaya menyambar dan membuat tubuhku tak bisa bergerak.
Dalam sekejap beberapa bayangan kejadian muncul didalam kepalaku.
Tamasha...
Dia, adalah Calon Dewa di Awaland.
Calon Dewa yang berada di generasi yang sama denganku.
.
..
...
"Itu tadi luar biasa... Tamasha terima kasih karena telah mempercayaiku! Dan terima kasih telah membuat sedikit ingatanku muncul!!"
Tamasha tersenyum.
"Masalah dana, biaya, dan keuangan, aku ahlinya, jadi mungkin hal itu yang bisa kubantu untukmu."
Ternyata kehidupanku yang datar dan normal bakal berubah!
Ini akan menjadi menarik atau bahkan berbahaya...
Tapi setelah bertemu Tamasha yang berani dan dewasa, aku jadi merasa jauh lebih kuat!
"Tamasha, jika kau bisa menceritakan lebih banyak tentang dirimu, apakah ingatanku juga akan semakin banyak muncul?"
Kami kembali duduk dengan tenang. Tamasha melipat kaki dan kedua tangannya.
"Sepertinya tidak begitu. Ingatan kita terpicu jika kita membahas hal yang berkaitan tentang Awaland dan proses yang terjadi didalamnya."
Setelah menjawab pertanyaanku ia menoleh dan menatapku dengan pandangan yang aneh, antara iba dengan pandangan yang tajam.
"Sepertinya diantara semua orang yang terlibat didalam Awaland, ingatanmulah yang paling banyak hilang, Juan."
Pembicaraan yang jika didengar oleh orang lain rasanya tidak masuk akal ini lama kelamaan terdengar makin masuk akal bagiku.
"Sebanyak apa ingatan yang kau punya? Apa kau bisa menceritakan detil ingatan yang berkaitan tentang Awaland padaku? Mungkin dengan itu ingatan kita akan saling terpicu."
Saat-saat yang kuharapkan muncul akhirnya muncul!
Dengan kejadian ini, akhirnya Tamasha menjawab beberapa pertanyaan yang menggangguku.
"Yang kuingat adalah Dewa terakhir, Juan, Kemampuanku, Gratifikasi, lalu, Masriz, karena ia juga menolongku untuk memulihkan kondisiku... Sepertinya tak lebih dari itu..."
Kami sama-sama menghela nafas panjang dan tertunduk.
Rupanya tidak cukup hanya bertemu dengan Tamasha. Mungkin itu sebabnya ia sangat berharap untuk bekerja sama denganku, karena dirinya sendiri kesulitan mencari petunjuk.
"Ngomong-ngomong, mengenai pelajar SMA yang kau maksud tadi, apa kau mengenal siapa yang ada dibalik mereka semua?"
Ketika mengingat hal itu aku tak mau melewatkan kesempatan untuk menanyakannya, barangkali Tamasha mengetahui sesuatu.
"Tidak, namun ada satu sosok remaja berpakaian serba hitam, jaket kulit, celana panjang, sepatu, bahkan kaos tangan hitam, dengan potongan rambut seperti berandalan.
Aku mengingat tiga kali sudah ia menemuiku. Dan setiap kali aku ingin mengetahui identitasnya, ia selalu menjauh!"
Kenyataan yang sama yang juga terjadi padaku itu membuatku sontak berdiri : "Benar sekali!"
"Sosok yang kau ceritakan itu persis dengan cowok yang juga... Sial! benar-benar muncul tiga kali sampai saat ini!"
Pandangan mata kami saling terkait, terlihat semangat muncul diantara kami berdua!
Baiklah, berikutnya kami yang akan bekerja sama untuk mengungkap sosok-sosok yang akan mengembalikan ingatan kami!