webnovel

11. Tiga Hari Menghilang

Kevin sudah tau tentang ini cukup lama, tepatnya ketika dia dan Greysia sudah menjalin hubungan persahabatan. Kevin sering mempunyai pemikiran bahwa dia ingin melaporkan semua ini kepada yang berwajib, tapi Greysia selalu melarangnya. Setelah Kevin pikirkan lagi, keputusan Greysia ada benarnya. Gadis itu tak punya bukti kuat, apalagi orang-orang sekitarnya selalu memandangnya sebelah mata.

Kevin sendiri tak bisa membantu banyak karena setiap kali Greysia di serang oleh orang itu, Greysia selalu dalam keadaan seorang diri. Sulit untuk Kevin menolongnya cepat waktu, lagipula kebanyakan teror itu dilakukan secara diam-diam, seolah orang itu benar-benar tau segala hal tentang Greysia.

"Kamu tau, Vin. Dia sekarang menerorku secara terang-terangan," jawab Greysia.

"Secara terang-terangan Bagaimana maksudmu?" Kevin bertanya lagi.

"Semalam, dia menyerangku. Dia hendak membunuhku, Vin," Greysia menjawab dengan nada ketakutan.

"Apa?! Di mana, Grey? Lalu bagaimana keadaanmu sekarang, apa kamu baik-baik saja?" terdengar suara Kevin yang meninggi karena terkejut bercampur khawatir.

"Aku baik, Vin. Semalam ketika aku pulang ke rumah, di jalan aku dihadang oleh orang itu. Dia mencoba untuk membunuhku, tapi untungnya ada seseorang yang menolongku," jelas Greysia.

Lama Kevin terdiam, agaknya dia ikut geram karena mendengar bahwa sekarang orang tersebut sudah semakin berani kepada sahabatnya.

"Siapa yang telah menolongmu?" tanyanya dengan nada kesal dan sedikit ketus.

"Aku gak tau, Vin. Dia juga pakai pakaian yang serba hitam, tapi dia baik, dia telah menolongku semalam," jawab Greysia.

"Kamu Jangan langsung percaya kepada orang lain, bisa jadi dia itu masih komplotan orang yang suka menerormu, siapa tau dia hanya berpura-pura menolong lalu setelah itu menusuk dari belakang," Kevin memperingatkan Greysia untuk selalu waspada

Greysia menganggukan kepalanya, dia juga sempat berpikiran hal yang sama dengan Kevin. Sekarang dirinya sedang berada di ambang kematian, sekali salah langkah maka dia akan mati lebih cepat dari apa yang direncanakan oleh peneror itu.

"Aku juga punya pemikiran yang sama seperti kamu, tapi semalam dia benar-benar menolongku, bahkan dia juga sampai mengantarkan aku ke rumah," jawab Greysia.

"Baguslah, tapi lain kali kamu harus hati-hati, Grey,"

"Iya, Kevin."

"Sumpah ya, aku itu sudah tak tahan lagi dengan orang-orang yang suka menerormu. Kenapa kamu tidak melaporkannya saja ke polisi. Ini sudah tidak bisa dibiarkan," Kevin semakin berapi-api. Mungkin sebagai sahabat dia merasa kasihan sekaligus khawatir pada keadaan Greysia. Sahabat mana yang tega ketika mendengar bahwa sahabatnya sendiri sedang dalam percobaan pembunuhan?

"Jangan, Kevin!" cegah Greysia.

"Kenapa, Grey?"

"Jangan, kamu kan yang selalu bilang sama aku kalau aku tidak boleh gegabah, kalau kamu melaporkan hal ini ke polisi, aku yakin orang itu akan semakin menjadi-jadi. Bukan tidak mungkin kalau dia bukan hanya akan menyerangku nanti, tapi orang-orang di sekitarku juga. Aku tak ingin itu terjadi, Kevin. Kita itu bukan sedang menghadapi orang biasa, siapa tau di belakangnya masih banyak terdapat komplotan-komplotan, kita kan juga belum tau apa motif dia meneror aku seperti ini," jelas Greysia.

"Lagipula, aku sama sekali tidak mempunyai bukti yang kuat, kalau pun punya, aku yakin orang itu juga akan jauh lebih pintar, dia pasti sudah memikirkan semua kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi. Jadi, tolong sabar dulu," sambungnya.

Napas Kevin terdengar memburu tak beraturan, dia kesal dan sudah tak tahan lagi untuk menindak pelaku, tapi apa yang Greysia katakan itu memang benar adanya. Selama ini, entah mungkin merekanya yang penakut, atau si peneror itu yang terlalu pintar.

"Kamu tau, Vin. Bahkan, dia saja sampai menerorku di sekolah, dia mengirimkan sebuah kotak yang isinya bunga sama tanah merah," Greysia kembali menceritakan tentang seberapa jauh orang itu bertindak.

"Apa? Jadi dia sudah sejauh itu, tapi bagaimana bisa dia masuk ke sekolah. Bukannya di sekolah itu ada scurity?"

"Aku juga tidak tau kalau soal itu," Greysia terdengar melemah.

Ketika itu bel tiba-tiba saja berbunyi, maka Greysia terpaksa harus menyudahi teleponnya.

"Ya udah, aku tunggu kamu di sekolah ya, get well soon, Kevin," ucap Greysia.

"Iya, Grey. Makasih ya," balas Kevin.

Greysia segera masuk ke dalam kelas untuk mengikuti pelajaran hari ini.

***

Sampai beberapa hari kemudian, akhirnya yang ditunggu pun datang juga, Kevin masuk sekolah. Betapa senangnya Greysia sungguh tak terlukiskan lagi, tak ada Kevin di sekolah membuatnya merasa sangat kesepian.

Selama beberapa hari itu pula, tak ada teror apapun. Tak ada yang mengikutinya ketika pulang sekolah, tak ada yang menelponnya, tak ada juga yang mengirimkan barang-barang kepadanya. Kehidupan Greysia berjalan normal, padahal dia sudah bersiap-siap untuk menghadapi segala kemungkinan yang ada.

"Apa orang itu sudah berhenti menerorku? Atau hanya berhenti sementara untuk teror-teror yang lebih kejam lagi ke depannya," pikir Greysia.

Entahlah, Greysia hanya berharap bahwa orang yang menerornya itu sudah benar-benar berhenti. Memang kecil kemungkinan bahwa harapannya itu akan terwujud, tapi Greysia tak akan pernah berhenti untuk berharap.

Pagi itu, senyuman Greysia mengembang ketika melihat Kevin yang sudah menunggunya di depan gerbang.

"Hai, Kevin …," sapa Greysia.

"Pagi, Grey," balas Kevin.

Laki-laki dengan gaya model rambut undercut itu segera menghampiri sahabatnya.

"Mana mukamu yang katanya dihajar oleh preman habis-habisan?" tanya Greysia.

"Ini, kamu tidak melihatnya apa? Mukaku banyak lebam seperti ini," jawab Kevin.

Greysia memandang lekat-lekat wajah sahabatnya itu dan benar saja, ternyata di bagian pelipis, dekat mata sebelah kanan, di sudut bibir masih ada sedikit luka-luka. Jika dilihat dari jauh lukanya tidak terlalu kentara karena memang lebamnya sudah berkurang.

"Lagian kamu ada-ada saja, bagaimana pula bisa dihajar oleh preman," kata Greysia setelah puas melihat wajah Kevin.

Nada bicara mereka mengandung aksen Bandung yang cukup ketat. Di mana anak-anak Bandung jarang menggunakan bahasa gaul seperti di Jakarta, apalagi Bandung bagian perkampungan seperti mereka.

"Ceritanya panjang sekali, seperti kereta api," gurau Kevin.

"Ah, kamu mah ada-ada saja. Masa iya sepanjang itu."

"Iya, memang panjang. Oh ya, jadi gimana soal orang yang menerormu itu? Apa dia berulah lagi?" tanya Kevin mengalihkan pembicaraan.

Greysia menggeleng, "Tidak ada, terhitung dari sejak kamu tidak masuk sekolah, orang itu sama sekali tidak muncul atau bahkan sekedar menelpon. Dia dan teror-terornya itu seperti sudah hilang ditelan bumi," terang Greysia.

Mata Kevin berbinar senang, "Itu artinya sudah tiga hari ya? Apa mungkin orang itu sudah berhenti menerormu?"

"Iya, sudah tiga hari. Tapi kalau soal dia berhenti atau tidaknya, aku juga tidak tau, Kevin. Aku berharap seperti itu, tapi entahlah," jawab Greysia sambil angkat bahu.

"Mungkin dia tau kalau pelindung kamu sedang sakit, itu sebabnya dia tidak berani datang mengganggu," Kevin malah bergurau.

Sontak saja mata Greysia memicing sambil setengah tertawa, "Oh jadi maksudmu, kamu itu adalah pelindungku, begitu?"

"Iyalah," Kevin malah ikut tertawa.

"Bagaimana kamu bisa melindungi aku kalau melindungi dirimu sendiri dari preman saja tidak bisa," Greysia malah balas meledek.

"Ah, aku kan sudah bilang kalau itu beda cerita," sanggah Kevin.

"Terserahlah," Greysia berlalu meninggalkan Kevin sambil mengangkat satu tangannya tanda dia sudah tidak mau peduli.

"Wah, memang betul-betul itu anak. Grey, tunggu aku," teriak Kevin.

Bab berikutnya