Sebastiaan membawa Kathriena keluar dari rumah sakit itu. Liesbeth dan Maryanti mengejar Sebastiaan, namun langkah Sebastiaan begitu cepat dan membuat Liesbeth dan Maryanti sama-sama tertinggal jauh. Dari kejauhan terlihat jelas jika Sebastiaan menaruh Kathriena di sebuah kardus besar dan mulai menyalakan korek api. Nampaknya ia hendak membakar Kathriena seperti ia membakar Jaka.
"HENTIKAN!" pekik seorang gadis dari arah belakang. Sebastiaan membalikkan badan dan terlihat Aryanti yang berlari begitu kencang mendekatinya.
"Sudah cukup, Tuan Sebastiaan yang terhormat. Jangan kau siksa anak tak berdosa itu. Sadarlah, dia itu cucumu. Darah daging dari anak kandungmu!" umpat Aryanti sembari menatap tajam tuannya.
"ZWIJG, Verdomme!" bentak Sebastiaan tak terima dengan ucapan Aryanti.
"Dia bukan cucuku. Wanita jalang itu juga sudah bukan anakku lagi. Aku tak sudi memiliki anak paling hina seperti dia!" lanjutnya.
"CUKUP, TUAN! Saya sudah muak dengan segala ucapan busuk Anda. Tolonglah, jika Anda membenci anak Anda, setidaknya janganlah membenci bayi mungil itu. Dia tak tahu apa-apa dan dia tidak berdosa. Jangan sangkutpautkan masalah Anda dengan anak sekecil dia!"
"VERDOMME! TAK TAHU DIUNTUNG!!!" Sebastiaan mengepalkan dan melayangkan tangannya ke arah Aryanti.
"CUKUP, SEBASTIAAN! JANGAN KAU TAMPAR DIA!" teriak Liesbeth sembari berlari menghampiri Sebastiaan dan menahan tangan suaminya agar tak menyakiti Aryanti. Sebastiaan tersentak mendengar ucapan Liesbeth.
"Apa kau sudah gila, Liesbeth? Kau membelanya? Apa kau benar-benar sudah tak waras?"
Tanpa mereka sadari, Maryanti mengambil Kathriena dan menarik tangan Aryanti untuk menjauh dari keluarga Veerle. Pertengkaran keluarga Veerle masih terdengar walaupun Maryanti dan Aryanti beserta Kathriena sudah berlari menjauh dari mereka.
"Ibu, kita harus segera pergi dari kota ini. Sophie yang menyuruhku untuk meninggalkan kota ini dan membawa Kathriena ke mana pun aku pergi," tutur Aryanti.
"Iya. Ibu sudah tahu, saat kau pergi ke rumah keluarga Veerle, Sophie sudah memberikan Ibu pesan yang sama. Ibu sudah tahu jika ia akan menyuruhmu untuk pergi dan membawa Kathriena. Kita akan pergi ke kampung halaman kita di Buitenzorg. Mungkin di sana kita akan aman," kata Maryanti sembari terus berlari.
Maryanti membawa Aryanti dan Kathriena ke stasiun kereta api. Mereka benar-benar pergi dari kota itu tanpa membawa pakaian dan barang-barang mereka yang tertinggal di rumah. Maryanti sudah tak mempedulikan semua itu, yang ia ingin hanyalah keamanan Aryanti dan Kathriena.
"Bu, bagaimana benda-benda berharga Ibu yang tertinggal di rumah?"
"Setelah kau dan Kathriena sampai di kampung halaman, Ibu akan kembali lagi ke Batavia dan mengambil semua benda berharga Ibu. Ibu juga akan menjual rumah itu!" jelas Maryanti sembari terus menggendong tubuh mungil Kathriena yang tengah tertidur dengan tenang.
"Aku ingin ikut dengan Ibu, aku tak ingin terjadi sesuatu terhadap Ibu," pinta Aryanti.
"Jika kau ikut, siapa yang akan menjaga Kathriena? Bukankah kau diamanahkan oleh Sophie untuk menjaga Kathriena? Ibu bisa menjaga diri Ibu sendiri, Aryanti. Kau tenang saja," balas Maryanti. Aryanti hanya menunduk lalu mengangguk pelan.
Tak terasa mereka sudah sampai di kota kelahiran Maryanti dan Aryanti. Buitenzorg terlihat begitu ramai, namun tak seramai Batavia. Jalanan dekat stasiun juga ramai dengan pedagang kaki lima yang berjejer menjual dagangannya. Maryanti dan Aryanti serta Kathriena segera menaiki sado dan pergi ke kampung halaman Maryanti. Kampung halaman yang sudah lama tak ia datangi, hanya kampung itulah yang menjadi satu-satunya tujuan untuk pulang.
Pemandangan kebun teh dan udara yang teramat sejuk menyambut kedatangan ketiga manusia yang baru tiba dari Batavia itu. Semua orang berlalu lalang terlihat heran dengan kedatangan mereka bertiga. Adik kandung Maryanti yang tengah menyapu halaman terlihat terkejut dengan kedatangan mereka. Terlebih lagi, Maryanti tengah menggendong seorang bayi mungil berhidung mancung dengan warna kulit sedikit lebih putih dari bangsa pribumi.
"Teh Marya, kapan datang? Kenapa tidak memberi kabar dulu ke Cahya? Kalau tahu Teh Marya datang hari ini, mungkin Cahya akan menyiapkan makanan untuk Teh Marya dan Aryanti," tutur Cahyanti yang begitu senang melihat kehadiran kakak kandungnya.
"Maaf, Cahya. Teteh datang ke sini begitu mendadak dan mendesak. Kau tak perlu menyiapkan makanan untukku, berilah makan Aryanti dan bayi ini," balasnya.
"Ini bayi siapa Teh?"
"Aku tak bisa menceritakannya sekarang, aku akan segera kembali ke Batavia untuk mengambil pakaian Aryanti."
"Apa harus secepat itu, Bu?" tanya Aryanti.
"Ibu harus cepat-cepat, Aryanti. Jika tidak, rumah kita akan dibakar habis olehnya," jawab Maryanti sembari memberikan Kathriena ke Aryanti. Aryanti pun menggendong bayi mungil itu.
"Siapa yang mau membakar rumah kalian?" tanya Cahyanti. Wanita itu memang tidak tahu menahu tentang kejadian yang menimpa Aryanti dan ibunya.
"Sulit untuk menceritakan semuanya saat ini, Cahya. Teteh harus cepat kembali ke Batavia," jawab Maryanti.
"Tapi Bu, aku takut terjadi sesuatu dengan Ibu," tutur Aryanti yang masih merasa cemas terhadap ibunya.
"Biarlah, Aryanti! Biarkan Ibumu pergi. Walaupun aku tak tahu masalahnya apa, tetapi aku yakin, Teh Marya akan menjaga dirinya dengan baik," kata Cahya angkat bicara. Ia mencoba menenangkan Aryanti yang terlihat menunjukkan kekhawatiran.
"Tuh dengar! Ibu bisa menjaga diri, Aryanti. Kau tenang saja."
"Baiklah, Bu. Hati-hati!" ucap Aryanti sambil menunduk. Entah mengapa, ada perasaan tak enak yang mengganjal di hati Aryanti. Hatinya begitu cemas dan gelisah saat mendengar ibunya harus kembali ke Batavia. Namun bagaimanapun Aryanti menahan ibunya, Maryanti tetap akan pergi. Aryanti menangis haru melihat kepergian ibunya.
Belum beberapa langkah Maryanti pergi, Aryanti kembali memanggil ibunya itu. "Ibu, cepatlah kembali! Aryanti sayang sama Ibu."
"Iya, Nak. Ibu juga sayang sama Aryanti," balas Maryanti lalu ia pun berjalan menjauh dari rumah keluarganya. Tanpa diketahui Aryanti, sebenarnya Maryanti juga ikut menangis. Hatinya sangat enggan untuk kembali ke Batavia, namun ia terlalu memikirkan benda berharganya yang ia tinggal. Ia berpikir, mungkin saja benda berharga itu akan laku terjual dan ia bisa membelikan rumah sederhana di kampung halamannya.
Wanita tua itu diam-diam kembali ke Batavia lalu segera menuju rumahnya yang cukup jauh dari stasiun kereta api. Butuh waktu cukup lama untuk tiba di sana. Ketika Maryanti tiba di rumahnya, segera ia membenahi segala barang berharga yang bisa ia jual untuk mendapatkan sedikit gulden. Gulden itu akan ia gunakan untuk kebutuhan Kathriena dan Aryanti di kampung halaman.
Semua barang berharga milik Maryanti sudah terjual, ia kembali ke rumahnya dan mengemasi pakaian milik Aryanti. Tiba-tiba saja seorang pemuda datang menemuinya, ia membawa kabar buruk yang membuat Maryanti semakin merasa cemas. Ia menyuruh pemuda itu untuk membantunya menjual rumah beserta tanah. Tanpa menolak, pemuda itu pergi mencari juragan tanah yang mau membeli rumah Maryanti.
Gulden pun akhirnya terkumpul banyak, cukup untuk biaya hidup Aryanti dan Kathriena di Buitenzorg. Maryanti memberikan sekantung gulden dan tas pakaian Aryanti kepada pemuda yang telah membantunya itu. Maryanti kembali meminta bantuan untuk memberikan kedua benda itu kepada Aryanti. Ia juga memberikan sepucuk surat beserta alamat tempat tinggal Aryanti saat ini. Sempat menolak, namun akhirnya pemuda itu menuruti keinginan Maryanti. Ia pergi ke Buitenzorg menemui Aryanti, sementara itu Maryanti malah mendapatkan kesialan di Batavia.
Bersambung...
[ CERITA INI HANYA FIKSI BELAKA. JIKA ADA KESAMAAN TOKOH, TEMPAT, KEJADIAN ATAU CERITA, ITU ADALAH KEBETULAN SEMATA DAN TIDAK ADA UNSUR KESENGAJAAN ]
Please, jangan lupa vote & comment. Karena vote & comment anda semua berarti untuk saya.