webnovel

Jangan pisahkan kami

Hal yang paling indah di dunia ini adalah, jika kita bisa selalu berada dekat dengan orang yang kita sayangi dan kita cintai. Hidup yang benar-benar nyaman adalah, hidup dengan menjalani apa kata hati. Jujur menyuarakan isi hati, dan tidak membohongi diri sendiri. Menjalani hidup apa adanya, dan tidak perlu mamakai topeng agar hanya terlihat indah di luar, namun sesak di hati. Karena keindahan yang hakiki, berasal dari hati.

Seperti halnya dengan Redo dan Yohan. Mereka sangat merasa bahagia karena hidup berdasarkan apa kata hati mereka. Keduanya jujur dan berani mengikuti kata hati, meskipun banyak yang mengatakan salah. Setidaknya tidak ada beban, karena setatus kebohongan.

Ini adalah hidup Mereka, Yohan dan Redo. Mereka merasa berhak menetapkan yang sudah menjadi pilihan hati mereka. Meski semua menentang, namun mereka tidak ingin bersandiwara. Ini jalan hidup mereka, meski dosa, namun kita tidak berhak menghakiminya.

Hanya orang-orang yang tidak pernah berbuat dosa lah, yang boleh menghakimi mereka.

Sudah dua hari tiga malam, Redo dan Yohan tinggal berdua di dalam kamar hotel. Keduanya masih asik menikmati kebersamaan. Mereka tidak memperdulikan jika di luar sana sedang ramai, membicarakan dan mencari mereka.

Mereka tetap ingin bersama tanpa harus ada yang menentang mereka.

"Do," panggil Yohan yang masih nyaman tiduran di paha Redo.

Redo yang sedang asik menonton TV, sambil menyandar di sandaran sofa menatap ke arah Yohan. "Apa?"

"Sampai kapan kita mau tinggal di hotel?"

Redo menghela napas panjang sebelum akhirnya menjawab "Kita kan udah booking tiga malam. Besok kita cari tempat kost aja. Biar murah."

"Aku enggak ada persiapan Do," keluh Yohan, Ia mulai merasa bingung bagamaina agar bisa tetap bertahan hidup. "Kamu kan mendadak, jadi aku nggak bawa tabungan."

Dengan lembut telapak tangan Redo mengusap-usap puncak kepala Yohan. Berusaha memberikan semangat kepada Yohan. "Iya tau. Kamu tenang aja aku masih ada tabungan buat bayar kosan. Nanti kita bisa kerja apa aja, buat bertahan hidup. Yang penting kita harus bereng, saling dukung."

"Iya, trus sekolah kita gimana?"

Menarik napas dalam-dalam sebelum akhirnya Redo hembuskan secara perlahan. "Kamu pingin pulang?" Tandas Redo.

Pertanyaan Redo membuat Yohan bangkit dari tidurannya, kemudian ia menatap teduh wajah Redo. "Enggak, aku nggak mau pulang." Ucapnya yakin.

Redo mengulurkan tanganya, menarik tengkuk Yohan, kemudian menidurkan kepala Yohan di dadanya. "Kalo kamu belum siap jangan dipaksa." ucap Redo.

"Aku udah siap, kalo aku pulang pasti kita pisah. Aku nggak mau." Kedua tangan Yohan melingkar di pinggang Redo, memeluknya erat, semantara kepalanya semakin nyaman tidur di atas dada bidang milik Redo.

Keputusan Yohan membuat Redo menerbitkan senyum. Sebagai hadiah atas keyakinan Yohan, Redo memberikan kecupan di puncak kepala Yohan. "Nah, gitu. aku juga butuh dukungan kamu. Kalo cuma aku sendiri yang berjuang, sama aja bohong. Aku nggak akan bisa."

Tok... took... took...!!!

Suara ketukan pintu dari luar sana, membuat Yohan melepaskan pelukannya di tubuh Redo. Keduanya saling bersitatap dengan kening yang mereka kerutkan.

"Siapa? kamu pesen makan?" Tanya Yohan.

Redo menggelengkan kepalanya, untuk menjawab pertanyaan Yohan. "House keeping kali." Tebak Redo.

Took...!! took...!! took...!!!

Pintu kamar kembali di ketuk, kali ini suaranya terdengar lebih keras. Mau tidak mau membuat Yohan harus beranjak dari duduknya. Membuang napas kasar, sebelum akhirnya Yohan berjalan ke arah pintu.

Sesampainya di dekat pintu, Yohan mengulurkan tangan, meraih handle pintu, lalu menariknya.

Deg!!

Jantung Yohan hampir loncat dari tempatnya saat pintu sudah ia buka. Yohan mematung, menelan ludahnya susah payah, sambil menatap takut pada orang-orang yang sudah berdiri di hadapannya. 

"Siapa Yoh?" Tanya Redo yang masih belum beranjak dari posisinya.

Yohan hanya diam, ia menoleh sekilas ke arah Redo, lalu perhatiannya kembali tertuju pada orang-orang yang membuat wajahnya jadi berubah tegang.

Merasa penasaran__lantaran Yohan hanya diam, Redo berdiri dari duduknya, kemudian ia berjalan ke arah Yohan seraya berkata, "Siapa sih?_"

Deg...!!

Redo menghentikan langkahnya, mulutnya terkunci, dan ia urung melanjutkan langkahnya mendekati Yohan, setelah beberapa orang yang berdiri di depan pintu, masuk kedalam kamar. Ia juga sama seperti Yohan__sangat terkejut, dan wajahnya mendadak pucat.

"A-ayah, mama." suara Redo terdengar gugup.

Dengan kaki gemetaran, Redo berdiri mematung. Ia merasa heran, kenapa pak Burhan, dan ibu Karina bisa menemukan mereka. Selain itu juga ada ibu Eha, dan Pak Zaenal__ayah Yohan yang ternyata sudah kembali dari luar kota

Hubungan Redo dan Yohan sudah viral di dunia maya. Bahakan karyawan Hotel dimana mereka menginap sudah mengetahui siapa mereka. Berita tentang kaburnya Redo dan Yohan, juga sudah tersebar luas. Jadi tidak menutup kemungkinan mereka__orang tua Redo dan Yohan, mendapatkan informasi dari dunia maya. Selain itu, mereka juga meminta bantuan pada pihak kepolisian untuk melacak keberadaan Redo dan Yohan.

Jadi bukan suatu hal yang sulit bagi kedua orang tua mereka, untuk menemukan keberadaan Redo dan Yohan.

"Redo, Yohan, pulang sekarang!" Tegas pak Burhan tanpa basa-basi.

Terlihat Yohan berjalan menghampiri Redo, lalu berdiri berdampingan sambil menatap datar kepada orang-orang yang akan merampas kebahagian mereka.

Berbeda dengan Redo yang langsung bisa mengatasi ketegangannya, lain halnya dengan Yohan masih penuh dengan ketakutan.

Ekspresi wajah Yohan, dapat terbaca oleh Redo. Oleh sebab itu ia meraih telapak tangan Yohan, lalu menggenggam nya erat. Berusaha memberikan ketenangan pada hati Yohan.

"Enggak!" Tegas Redo, ditengah ia sedang meremas kuat telapak tangan Yohan. Redo seperti tidak akan melepaskan genggamannya.

Adegan pegangan tangan itu membuat kedua orang tua mereka shock, menatap frustasi ke arah anak-anak mereka.

"Redo, Yohan, tolong sayang, jangan kayak gitu. Itu enggak bener." Ibu Karina memuka suaranya. Ia berbicara selembut mungkin, berharap bisa melunakkan hati anak-anak mereka. "Kalian masih kecil, masa depan kalian masih panjang. Apa kalian tau, apa akibat dari perbuatan kalian nanti?"

Redo dan Yohan saling mengeratkan pegangan mereka, saat Pak Burhan dan Pak Zaenal, mulai berjalan mendekati mereka.

Sementara Ibu Eha dan Ibu Karina, hanya berdiri di dekat pintu. Keduanya berharap, suami mereka dapat membujuk Redo dan Yohan, supaya bersedia diajak pulang.

"Pulang!!" Pak burhan menarik pergelangan Redo saat ia sudah berada di dekat Redo dan Yohan.

"Enggak!!" Bantah Redo seraya mengibaskan telapak tangan pak Burhan. Redo merapatkan dirinya ke tubuh Yohan, lalu memeluknya erat.

"Yoh, jangan kayak anak kecil, kalian udah mau dewasa. Ayo kita pulang." Bujuk pak Zainal, ia terlihat lebih sabar dari pak Burhan.

"Nggak yah, kalo Yohan pulang, pasti bakalan pisah sama Redo. Yohan nggak mau." Putus Yohan, ia juga mengeratkan pelukannya kepada Redo.

"REDO!! JANGAN BIKIN MALU AYAH!!" Bentak pak Burhan, ia merasa sangat geram melihat kelakuan anaknya.

"Yohan, tolong nurut sama ayah. Kalian mau jadi apa. Inget kalian udah mau lulus SMA." Pak Zaenal masih bertahan pada mode sabarnya. Mungkin sifat Yohan turunan dari ayahnya, bijak dan sabar. "Yuk, pulang." Bujuknya kembali, namun sayang, usahanya nihil. Yohan hanya menggelengkan kepalanya__tanda penolakan.

"REDO!! PULANG ATAU AYAH SERET!!" Ancam pak Burhan, emosinya sudah di ubun-ubun. Kesabarannya sudah habis hingga ia tidak mampu lagi menurunkan nada suaranya.

"ENGGAK!! AKU NGGAK MAU PISAH SAMA YOHAN!! HIDUP MATI AKU, HARUS SAMA YOH__"

Plaaak...!!

Dengan terpakasa pak Burhan melayangkan telapak tangannya, lalu mendarat kuat di pipi kiri Redo. Detik itu juga Redo terbungkam, kepalanya mendadak pusing.

Plaaak...!!

Telapak tangan pak Burhan mendarat untuk kedua kalinya di pipi Redo. Kali ini ia melayangkan tamparannya di pipi bagian kanan.

Tamparan itu membuat Yohan tersentak, dan merasakan sakit di hatinya. Keningnya berkerut, menatap miris ke arah Redo yang tengah memegangi pipinya__sambil menikmati rasa sakit.

Tidak hanya Yohan, rasa sakit hati itu juga tengah dirasakan oleh ibu Karina. Sebagai seorang ibu, ia tidak ikhlas melihat anaknya digampar. Meskipun oleh suaminya sendiri. Namun ia hanya bisa memegangi dadanya, menahan sakit, sambil memeluk erat sahabatnya. Tidak terasa air matanya sudah merembes, mengalir melintasi pipinya yang mulus.

"A' sabar, nggak perlu pake mukul. Bahaya, kasihan Redo." Ucap pak Zaenal, ia mencoba menenangkan hati pak Burhan. "Bisa diomongin baik-baik."

"Ngomong sama dia itu nggak bisa pake baik-baik." Pak Burhan sudah kehilangan kesabaran, ia tidak bisa bersikap seperti pak Zainal. Kemudian ia mengalihkan perhatiannya ke arah Redo, menatapnya tajam. "Redo!! Pulang atau ayah pukul lagi?!"

"Pukul aja ayah!! Pukul!! Itu emang kebiasaan ayah!! Selalu mukul Redo. Ayah udah mukul Redo, jadi kenapa Redo harus nurut sama ayah! Redo nggak akan pulang! Redo tetep mau sama Yohan!" Tantang Redo. Bola matanya yang sudah berkaca__akibat gamparan, melebar, menatap tajam tanda perlawanan.

Sama seperti Ayahnya, Redo memiliki sifat keras dan pembangkang. Hal itu membuat pak Burhan semakin naik pitam, hingga ia terpakasa melayangkan kembali telapak tangannya ke arah Redo.

"Jangan ayah," pak Burhan menggantungkan telapak tangannya di udara. Ia urung mendaratkan telapak tangannya di pipi Redo, lantaran Yohan mencegah sambil memeluknya erat. "Jangan pukul Redo lagi." Mohon Yohan ditengah isakkannya. Ia tidak ingin melihat Redo kembali merasakan sakit.

Perlakuan Yohan mempu menggetar kan hati pak Burhan. Ia merunduk menatap Yohan yang sedang menyembunyikan wajah di dadanya. Telapak tangan yang mulanya akan memukul Redo, ia letakan di atas kepala Yohan, lalu mengusapnya pelan. "Yohan, kamu anak yang nurut. Kamu juga pinter, tolong berpikir jernih Yoh."

Sementara ibu Eha, dan ibu Karina hanya bisa terisak, hingga keduanya tidak mampu berkata apapun.

Secara perlahan Yohan mengurai pelukkannya di tubuh pak Burhan. Memutar tubuhnya, menatap nanar ke arah pak Zaenal. "Yah, aku__" Yohan menggantungkan kalimatnya, ia menoleh ke arah Redo yang masih memegangi pipinya yang perih. Melihat Redo, rasanya berat sekali untuk melanjutkan kalimatnya. Tapi ia juga tidak ingin melihat Redo merasakan sakit. "Aku mau pulang sama ayah." Putus Yohan dengan berat hati.

Deg!

Keputusan Yohan membuat Redo melebarkan matanya. Ia benar-benar terkejut mendengarnya.

"Kamu ngomong apa Yoh? Kita udah janji. Kamu udah bilang nggak akan pulang." Ucap Redo dengan wajah paniknya. "Tolong  Yoh, jangan nyerah, kita udah terlanjur, jangan berhenti di tengah jalan."

"Redo...!" Bentak pak Burhan, sambil mengangakat telapak tangan, hendak memukul Redo kembali.

"Ayah, jangan pukul Redo," cegah Yohan yang langsung membuat pak Burhan menurunkan kembali tangannya. "Jangan pukul Redo, aku mau pulang." Putus Yohan, kemudian ia berjalan ke arah pintu kamar, sambil mengusap dengan kasar air mata yang membasahi wajahnya. Sementara Pak Zaenal mengikuti di belakangnya.

"Yoh, jangan Yoh." Redo tidak bisa tinggal diam. Ia berusaha mengejar Yohan, namun sayang pak Burhan menghadang, sambil memeluknya. "Aku nggak papa di pukul sama ayah Yoh, tolong jangan berubah!!" Teriak Redo, sambil beruasha melepaskan diri dari pak Burhan.

"Jangan konyol Redo!" Ucap Pak Burhan.

"Ayah lepas," sekuat tenaga Redo berusaha lepas, namun sayang tenaga pak Burhan jauh lebih kuat. "YOHANN!!" Ia hanya bisa berteriak memanggil nama Yohan, namun sayang Yohan mengabaikan.

"Yohan, jangan pulang Yoh..." pinta Redo dengan suara lirih, ia sudah lelah berteriak, dan Yohan sudah keluar dari kamar hotel.

Hari itu adalah hari yang menyakitkan, untuk Redo dan Yohan. Baru merasakan indahnya bersama namun sudah harus dipisahkan kembali. Impian mereka untuk tinggal berdua, hanya sebuah harapan yang sudah menjadi asa. Kenyataanya, saat itu mereka terpisah, sebelum rencana-rencana indah yang sudah mereka susun, dijalankan.