webnovel

Mencari kerja

"Ha... ha..." Tante Inggrid dan tante Siska terbahak saat sedang membicarakan kejadian yang menimpah tante Inggrid di arisan tempo hari. "Kamu liat wajah anak itu kan Sis? Pucat, dia itu bener-bener polos. Mau aja aku bohongin."

Jadi kejadian pada saat Aden akan memberikan cilok kepada ibu-ibu arisan, sebenarnya adalah kejadian yang sudah direncana sama tante Inggrid. Tante Inggrid sudah melihat bahawa Aden sebenarnya adalah mutiara, namun tertutup oleh penampilannya yang sangat sederhana.

Kemudian tante Inggrid mencari cara agar bisa membungkus Aden dan membawanya pulang ke rumah. Lalu dengan sengaja ia menyenggol kaki Aden yang sedang membawa cilok di atas nampan. Dan akhirnya Aden tersandung oleh kaki tante Inggrid, lalu semua cilok yang sudah diberi bumbu dan saus kecap itu, tumpah merusak pakaian tante Inggrid yang harganya mencapai puluhan juta.

Tante Inggrid sudah berpengalaman, ia bisa tahu jika Aden sebenarnya anak yang polos. Jadi hanya dengan gertakan untuk mengganti bajunya saja Aden tidak berani berkutik.

"Dasar kamu Nggrid, ngomong-ngomong mata kamu jeli juga ya kalo liat barang bagus." Puji tante Siska dengan raut wajah yang meledek. "Aku yakin tampang dia itu pasti menjual, arisan berondong minggu depan kamu harus pasang harga tinggi buat anak itu." Usul Siska.

Tante Inggrid terdiam sambil berpikir, beberapa saat kemudian terlihat senyumnya mengembang. Sepertinya tante Inggrid setuju dengan usul dari  tente Siska. "Ide bagus, tepi sebelum aku bawa dia ke arisan kita, nggak ada salahnya aku ajarin dia dulu. Aku yakin banget dia itu anak baik-baik, pasti belum pernah ngerasain indahnya surga dunia..." ucap tante Inggrid sambil mengedipkan sebelah matanya.

"Dasar kamu," cibir tante Siska sambil memukul pelan paha tante Inggrid. "Aku kira waktu kamu megang wajah anak itu, kamu mau nyium dia depan ibu-ibu. Ternyata lagi ngamatin wajah tukang cilok itu." Tante Siska menggeleng-gelengkan kepalanya, ia merasa heran dengan kelakuan sahabatnya itu.

"Oiya aku mau jadiin dia assisten bohongan," kata Tante Inggrid.

"Maksudnya?"

"Dia itu beda sama anak laki-laki yang lain, terlalu sayang kalau cuma buat sekali fun aja. Dia itu istimewa." Jelas tante Inggrid.

"Maksudnya kamu mau piara dia?" Tanya tante Siska.

"Enak aja piara," serga tante Inggrid, "kamu kira dia hewan? Sebenernya aku sih nggak perlu assisten, tapi kalo ditemenin sama dia kemanapun, aku rela deh bayar dia mahal." Ungkap tante Inggrid.

Tente Siska menggelang-gelengkan kepala sambil berdecak heran. Tapi tante Siska bisa memahami kenapa tante Inggrid bisa sampai seperti itu.

Tante Inggrid menikah dengan mendiang suaminya itu tidak dilandasi dengan rasa cinta. Karena usia alm.suaminya itu jauh di atasnya. Namun karena suaminya sangat kaya, maka dari itu ia rela menjadi istrinya, meskipun pada saat menjalani rumah tangga ia sedikit terkekang, tidak boleh banyak bergaul. Dan setelah suaminya meninggal, tante Inggrid seperti burung yang terlepas dari sangkarnya. Sangat Bebas.

Lalu karena merasa bosan melakukan hubungan intim dengan pria yang usianya lebih tua, oleh sebab itu tante Inggrid seperti merasa penasaran. Ia ingin melampiaskan nafsu syahwatnya dengan mencari laki-laki yang usianya jauh lebih muda darinya. Hingga akhirnya ia sampai bergabung dengan anggota ibu-ibu sosialita yang suka mengadakan arisan laki-laki, berusia sekitar belasan tahun.

Tidak jauh beda dengan tante Inggrid, tante Siska juga bernasip sama seperti tante Inggrid. Menikah demi harta meski pasangannya jauh lebih tua. Bedanya tante Siska suaminya belum meninggal, dan hartanya tidak sebanyak suami tante Inggrid. Tante Siska seperti itu hanya karena sering ditinggal ke luar negeri oleh suaminya. Selain itu suami tante Siska sudah tidak mempunyai gairah lagi di atas tempat tidur.

"Trus gimana dia mau?" Tanya tante Siska.

"Kemaren sih dia mau jawab, tapi anaknya Veronica yang ganteng itu tiba-tiba nongol." Jawab tante Inggrid. "Tapi aku yakin banget dia pasti mau, aku udah kasih umpan yang besar buat dia."

Tante Inggrid melihat arlogi dipergelangannya, "aku nyuruh dia dateng kerumah hari ini, mungkin bentar lagi." Imbuh tante Inggrid.

"Kamu yakin dia bakal deteng? jangan-jangan dia kabur," tante Siska merasa ragu.

Tante Inggrid tersenyum simpul, tidak ada kekhawatiran tergambar di raut wajahnya. "Kamu tenang aja, dia pasti dateng dia nggak akan nolak sama tawaran yang aku kasih," ucap tante Inggrid penuh dengan keyakinan. "Lagian sekalianpun dia kabur, nggak sulit buat nyari dia."

Tante Siska mengangguk-anggukan kepalanya. Kemudian dua wanita sosialita itu saling bersitatap dan tersenyum simpul.

Beberapa detik kemudian, terlihat tante Inggrid menoleh ke arah tangga. Ia melihat seorang gadis yang sedang menaiki anak tangga di ruang keluarga.

"Desma, dari mana kamu?" Tante Inggrid berdiri dari duduknya dan menatap tajam ke arah anaknya. "Semalam kamu nggak pulang?"

Desma menghentikan perjalanannya yang akan masuk kedalam kamar. Ia menoleh dan menatap ibunya dari atas tangga. "Emang mama peduli aku pulang apa enggak? bukannya mama lebih peduli sama berondong-berondong mama ya?" Desma melipat kedua tangannya di perut. Ia menatap ibunya dengan tatapan yang mencibir.

"Desma, hati-hati kamu kalo bicara. Kamu kurang ajar ya sama orang tua sendiri." Tante Inggrid menaikan nada suaranya. Sorot matanya tajam menatap anaknya.

"Orang tua yang nggak pernah peduli sama anaknya. Jadi jangan salahin aku kalo seperti ini. Ibu nya juga sama..." kemudian ia kembali menaiki anak tangga melanjutkan perjalanannya.

"Desma!" Bentak tante Inggrid. Namun sayang Desma tidak mendengarkannya karena ia sudah berlari dan masuk kedalam kamar.

Sementara tante Inggrid mendengus kesal sambil menjatuhkan pantatnya kembali di sofa. "Anak kurang ajar, tidak tau diuntung," kesal tante Inggrid sambil memijit keningnya.

Sedangkan tante Siska hanya diam, ia menatap tante Inggrid sambil mengerutkan keningnya.

~♡♡♡~

Sepulang sekolah, Pandu langsung menemui Aden, karena sebelumnya mereka sudah berjanji untuk bertemu di tempat biasa Aden menjual ciloknya. Pandu sudah berpesan kepada sopir pribadinya agar tidak menjemput. Ia sengaja berbohong bahwa hari ini ia akan mengerjakan tugas di rumah Lukman.

Untungnya sopirnya bisa langsung percaya, jadi Pandu bisa leluasa berbicara dengan Aden.

Saat ini Aden dan Pandu sedang duduk berhadapan di kursi plastik, di dekat gerobak cilok milik Aden.

"Sorry Den," ucap Pandu setelah ia memberitahu kepada Aden, kalau ibu Veronica tidak bisa membantunya.

Wajah Aden terlihat datar, ia tidak terlalu terkejut dengan apa yang baru saja disampaikan oleh Pandu. Ia sudah menduga sebelumnya kalau ibu Veronica pasti tidak mau membantunya.

"Nggak papa," Aden tersenyum simpul, supaya Pandu tidak merasa bersalah karena tidak bisa membantu. "Aku ngerti, ibumu nggak salah, wajar kalau dia nggak mau bantu."

"Nyokap gue emang gak bisa bantu, Tapi gue bisa bantu lu kok."

Aden mengerutkan kening dengan apa yang ia dengar barusan. "Maksudnya?" Tanya Aden.

"Gue emang nggak punya uang sebanyak itu, tapi gue bisa kerja, gue bantu lu buat ngumpulin uang itu." Jawab Pandu.

"Kerja? Kerja apaan? Nggak usah deh Ndu. Ibu kamu nanti marah."

"Sodara Alex punya agency model, nanti habis dari rumah tante Inggrid lu temenin gue buat nemuin sodara Alex. Alex juga udah ngomong sama sodaranya. Lu juga nggak perlu khawatir sama nyokap gue, gampang semua bisa gue atur."

Pada saat Pandu meminta tolong sama teman-temannya untuk mencarikan pekerjaan, kebetulan sekali, sodara Alex ada yang mempunyai agency model. Lalu setelah Alex menelpon sodaranya, dan mengirimkan foto-foto Pandu, sodara Alex langsung tertarik, dan menyuruh Pandu untuk segera menemuinya.

"-pokoknya lu tenang aja, ohiya nanti kita minta keringanan sama tante Inggrid. Masak iya harus ganti sebanyak itu? nanti biar gue yang ngomong sama tante Inggrid." Pandu merasa jengkel dengan ulah tante Inggrid.

"Duh... Pandu, aku mah jadi enggak enak sama kamu, kenapa kamu baik banget sama saya?" Sebenarnya Aden merasa keberatan dengan apa yang dilakukan Pandu padanya, Aden cuma tidak mau merepotkan orang lain.

"Kan gue udah bilang, kalau bukan karena gue ngajak lu ke arisan itu, pasti ini nggak akan kejadian, lu nggak perlu ngerasa nggak enak sama gue. Pokoknya selama lu nggak keberatan gue bantu, gue bakal bantu lu terus." Ujar Pandu dengan tulus.

Aden terdiam, ia benar-benar tertegun dengan kebaikan Pandu. Kemudian terlihat Pandu dan Aden saling bersitatap. Keduanya saling melemparkan senyum khasnya masing-masing.

Entahlah, tiap kali melihat mata dan senyum Aden, hati Pandu selalu berdisir. Pandu tidak ingin kehilangan senyum Aden yang sangat natural itu.

"Makasih ya Ndu..."

"Ciloknya masih kak?"

Suara seorang remaja putra membuat moment Aden dan Pandu yang sedang bersitatap membuyar. Keduanya mengalihkan perhatian pada sumber suara itu berasal.

"Masih," jawab Aden.

"Gue mau dong kak," ucap Tristant.

Aden tersenyum simpul ke arah Tristant, kemudian ia mengalihkan perhatiannya kepada Pandu, "tar ya," ucapnya sambil berdiri dari duduknya, dan berjalan ke arah grobak ciloknya.

Sementara Tristant langsung mengambil alih tempat duduk Aden, berhadapan dengan Pandu. Terlihat Tristan sedang meresapi kursi yang baru saja diduduki oleh Aden. Kemudian ia mengalihkan perhatiannya kepada Aden yang sedang menyiapkan cilok pesanannya. "Kak! Bekas tempat duduk lu anget," ucapnya setelah pantatnya menempel di kursi dan merasakan hangat.

Aden hanya tersenyum nyengir tanpa menoleh ke arah Tristant.

"Belum pulang kak?" Tanya Tristant setelah ia mengalihkan perhatiannya pada Pandu. Bibirnya tersenyum simpul sambil menatap wajah keren seorang remaja yang ada di hadapannya.

"Belum," ketus Pandu. Kemudian Pandu mengambil HP yang ada di kantong celana seragam SMAnya. Setelah HP dinyalakan, kemudian Pandu fokus ke HP dan berusaha mengabaikan remaja manis yang sedang asik menatapnya.

Merasa dicuekin sama Pandu, Tristant memanyunkan bibirnya. Kemudian ia juga melakukan hal yang sama seperti Pandu, mengambil HP dan membuka semua aplikasi sosial medianya.

Beberapa saat kemudian, terlihat Lukman memberhentikan motornya di pinggir jalan. Di dekat Aden yang belum selesai menyiapkan cilok pesanan Tristant.

"Hai Den..." sapa Lukman sambil berjalan mendekati Pandu dan Tristant.

Yang disapa hanya hanya mengunggukkan kepalanya saja.

"Ndu lu mau gue antar ke sodaranya Alex?" Tawar Lukman setelah ia berada di dekat Pandu.

"Nggak usah deh, gue sendiri aja." Tolak Pandu. Ia terpaksa berbohong karena ia belum siap menceritakan kejadian yang sebenarnya.

"Oh yaudah," ucap Lukman datar, kemudian ia mengalihkan  perhatiannya ke arah Tristant. "Ngapain lu di sini?" Tanya Lukman dengan gayanya yang ketus.

"Yee... suka-suka gue," Tristant juga tidak kalah ketus menjawabnya. "Walaupun sekolah ini punya bokap lu, gue juga bayar sekolah di sini." Imbuh Tristant sambil menerima cilok dari Aden.

"Makasih ya kak," ucap Tristant dengan senyum yang manis menatap Aden.

"Sama-sama," jawab Aden sambil menerima uang pembayarn dari Tristan. Kemudian Aden kembali berjalan ke arah gerobak untuk menyimpan uangnya.

Sedangkan Lukman terlihat berdiri mematung, ia menelan ludah saat melihat mulut Tristant sedang mengunyah ciloknya. Ia menelan ludah bukan karena ia juga ingin memakan cilok itu. Melainkan ia teringat pada saat alat kelaminnya sedang dimanjakan oleh mulut Tristan.

Dan anehnya, secara otomatis alat kelaminnya yang masih di dalam celana menggeliat dan perlahan mulai menegang. Alat kelaminnya seperti merasakan radar dari mulut Tristant. Alat kelamin itu seolah tahu, jika sesuatu yang sering memanjakannya hingga mengeluarkan cairan kenikmatan, sedang berada di dekatnya.

"Lukman."

Lukman tersentak, hayalan Indahnya saat sedang melihat mulut Tristant langsung membuyar  ketika Aden memanggil sambil memukul pelan pundaknya.

"Eh.. iya," jawab Lukman yang langsung reflek menoleh ke arah Aden. Kemudian terlihat ia mengatur detak jantungnya agar tidak terlihat gugup. "Ada apa?"

"Gini, kayaknya aku nggak bisa terima tawaran kamu buat sekolah di sini."

Lukman menarik wajahnya, ia sedikit terkejut dengan mendengar keputusan Aden. "Lho kenapa? Gue udah ngomong sama bokap gue, dan bokap gue setuju."

Begitu juga dengan Pandu, ia sebenarnya juga terkejut. Namun ia bersikap biasa, wajahnya terlihat datar dab matanya hanya melirik ke atas melihat Aden. Tangannya masih sibuk bermain HP.

"Iya makasih sebelumnya kamu udah baik, tapi aku minta maaf, soalnya teteh sama kakak aku nggak ngijinin." Jelas Pandu.

Lukman sedikit kecewa mendengar penjelasan Aden, tapi ia juga tidak bisa memaksa. Lukman hanya mengangguk-anggukan kepala, kemudian ia berkata, "oh yaudah kalo gitu."

Aden tersenyum simpul, "maaf ya" ucapnya.

"Nggak papa," jawab Lukman.

Beberapa saat kemudian perhatian Aden dan yang lainya beralih ke arah Aldo yang baru saja turun dari mobilnya. Terlihat Aldo berjalan menghampiri Tristant yang sedang menghabiskan ciloknya.

"Trist lu jadi ngajak gue kerumah lu kan?" Tanya Aldo setelah ia berdiri tepat di hadapan Tristant.

"Jadi dong kak," jawab Tristant sambil berdiri dari tempat duduknya.

"Eh mau ngapain?" Serga Lukman.

"Kepo," jawab Tristant meledek.

Lukman melebarkan matanya menatap Tristant. Entahlah ia merasa terkejut dengan Aldo dan Tristant yang tiba-tiba saja mempunyai janji. Karena setau Lukman, Aldo anak paling diem dan tidak banyak bicara. Tapi kenapa Aldo mempunyai janji dengan Tristant.

Entahlah, anehnya Lukman tidak suka mendengar itu.

"Lu mau ngapain Do? ke rumah Tristant." Lukman semakin penasaran dibuatnya.

"Cuma mau pinjem komik." Jawab Aldo singkat. Masih dengan gayanya yang pendiam, dan selalu ada headseat yang menyumpal lubang telinganya.

"Komik apaan?" Tanga Lukman lagi.

Aldo mendengus kesal karena merasa diinterogasi suatu hal yang tidak penting menurutnya. Kemudian ia membuka headseat nya dan menjawab pertanyaan Lukman.

"Ya komik yang sering gue baca, kebetulan dia punya seri lengkapnga gue mau pinjem." Jelas Aldo.

Kebetulan antara Aldo dan Tristant memiliki hoby yang sama. Yaitu membaca komik sambil mendengarkan musik. Meski karakter mereka bertolak belakang, tapi keduanya memiliki hoby dan selera musik yang sama.

Lukman mengalihkan perhatiannya ke arah Tristant. "Kok lu nggak ngomong ama gue?"

"Harus ya?" Jawab Tristant ketus.

"Aneh," imbuh Aldo sambil melirik heran ke arah Lukman. "Yuk ah..." ajak Aldo sambil menarik pergelangan Tristant. "Eh gue duluan ya."

Lukman berdiri mematung, wajahnya berkerut melihat Tristant yang sedang digandeng oleh Aldo. Anehnya rasa tidak suka muncul di hatinya saat melihat itu.

"Woy! Gue ikut...!" Teriak Lukman.

"Terserah!" Ucap Aldo yang juga berteriak, karena jarak yang sudah sedikit jauh.

Kemudian terlihat Lukman memberikan kunci motornya kepada Pandu seraya berkata. "Lu ke rumah sodara Alex pake motor gue aja, gue nebeng Aldo." Setelah meberikan kunci motornya Lukman langsung berjalan cepat menuju mobil Aldo, tanpa menunggu persetujuan dari Pandu.

Pandu hanya bengong, melihat tingkah laku sahabatnya. Setelah mobil Aldo mulai berjalan, kemudian ia menatap Aden yang masih berdiri mematung.

Kebetulan sekali Aden juga refleks menatapnya, sehingga keduanya kembali saling pandang, dan melemparkan senyum.

"Kalo gitu kita ke rumah tante Inggrid pake motor Lukman aja, habis itu lu maukan anter gue ke rumah sodara Alex." Usul Pandu.

"Yaudah kalo gitu mah, aku nurut aja." Jawab Aden.

"Oke, lu titipin motor sama gerobak lu sama satpam, gue udah ngomong, bawa masuk aja ntar kita ambil lagi." Perintah Pandu yang langsung dijawab dengan anggukan kepala oleh Aden.

Beberapa saat kemudian Aden membawa masuk motornya kedalam halaman sekolah.

Sedangkan Pandu menunggunya sambil duduk di atas motor Lukman.

Sepertinya jadwal Pandu dan Aden hari ini benar-benar padat. Setelah ke rumah tante Inggrid mereka harus datang kerumah sodara Alex. Setelah itu Pandu dan Aden harus kembali lagi kesekolah untuk mengambil motor Aden.

Benar-benar padat, sepertinya Pandu dan Aden akan pulang larut malam hari itu.

Bab berikutnya