webnovel

Palu Besar Menghantam Kepala

Saat aku datang, toko begitu penuh. Dua ambulance terparkir di depan, dan semua orang mengerumuni sesuatu.

Itu adalah Miko, dengan dua orang lain yang tidak ku kenal. Darah tercecer di lantai toko dan juga trotoar, sementara lainnya terciprat di dinding.

Miko terbelalak menatap ke satu objek, sementara satu orang lainnya meninggal dengan mulut menganga, seperti hendak mengatakan sesuatu. Petugas medis kemudian membungkus mereka dengan kantong jenazah dan membawanya masuk ke ambulan.

"Apa ada keluarga korban?," tanya seorang polisi yang baru datang, mengagetkanku. Aku mengangkat tangan dan mengatakan sebagai teman Miko, begitu juga dengan seorang ibu dengan wajah sembab yang mengatakan dia teman salah satu korban tersebut.

Polisi mengajak kami untuk ke kantor, guna dimintai keterangan. Selama di wawancarai, wanita itu terus mengatakan jika dia melihat asap yang melesat saat mereka berjalan bersama, lalu temannya seketika terjatuh dengan luka dan darah yang sudah menyebar di trotoar. Dia sempat mendengar teriakan dari dalam toko, dan berikutnya semua menjadi sangat kacau.

"Nona, dimana kau berada saat kejadiaan?," tanya polisi itu padaku.

"Saya pergi sebentar," aku mencoba tenang saat menjawab pertanyaannya, "Dan, saat saya kembali, sudah ada ambulance di depan toko,".

"Kemana anda pergi saat itu?," polisi itu bertanya lebih detail, membuatku sedikit gugup, tapi aku berhasil mengendalikan ekspresiku.

"Saya ada urusan dengan teman saya," ucap ku berbohong. Aku tidak mungkin mengatakan bahwa ada makhluk yang mengejarku, lalu aku harus menyelamatkan diri dengan menaiki anjing berkepala tiga, itu akan terdengar sangat konyol bagi mereka, "Dan, saya pergi dengan anjing saya," pernyataan ku dibenarkan oleh wanita tadi, karena dia melihat hanya ada satu orang di toko waktu itu.

Polisi berkata, kesaksian ku tidak membantu, aku tidak mengetahui apapun yang terjadi. Syok, bingung, bahkan ketakutan menghantuiku saat ini. Musibah apa yang menimpa Miko saat aku pergi?.

Sebuah panggilan masuk di ponselku, mengalihkan ketakutanku. Kejadian di toko sudah tersebar melalui berita di televisi, dan panggilan telepon itu berasal dari Emma, "Bagaimana bisa? Apa yang terjadi sebenarnya?," Aku mendengar dia menangis disana, suaranya terdengar serak.

Aku bingung harus menjawab apa, karena tak tahu peristiwa apa yang sudah terjadi. Aku diam, hingga Emma kembali bersuara, "Tha, ibuku meninggal," ucapannya kali ini seolah bagai palu besar yang menghantam kepalaku. Aku kembali dibuat terkejut, bahkan rasa takut itu kembali datang. Dua hal buruk terjadi bersamaan, "Tolong, jangan datang kesini," pintanya lirih, "Juga, beritahu keluarga Miko, dan bantu adik, serta ibunya untuk mengurus pemakamannya. Tha, dia sudah seperti saudara untukku. Disaat terakhirnya, aku titipkan dia padamu," aku hanya bisa berdehem untuk menjawab semua perkataannya.

Ketika Emma mematikan panggilan teleponnya, otakku mencerna tentang semua peristiwa yang terjadi hari ini. Aku merasa seperti buronan dan mereka yang mengincarku, melukai orang-orang terdekatku untuk memperingatkan ku agar aku menyerah.

Pagi itu, hujan turun deras, saat seorang wanita mengantarkan sebuah peti hitam mengkilap berisi putranya ke pemakaman. Emma memintaku untuk menemani ibu Miko, karena adiknya yang masih berusia delapan tahun, tentunya belum tahu apa-apa.

Meskipun aku harus mengikhlaskan, tapi jujur, ada satu bagian dalam diriku yang tidak bisa menerimanya. Ketidak berdayaanku membuatku sadar, bahwa mau tidak mau, aku hanya bisa menerima ini.

Mereka berada di luar nalar, dari apa yang bisa aku terima selama ini. Aku merasa ini tidak adil untuk kami. Kami yang tidak memiliki kemampuan apapun, sepertinya terlalu mudah untuk mereka jadikan sebagai mainan.

Setelah pulang dari pemakaman, aku putuskan untuk berbicara pada Kerberos dan Mickey, "Apakah aku sebaiknya menyerahkan Zie?," dua makhluk di hadapanku hanya saling berpandangan, "Ini salahku, karena minta bantuan orang itu. Aku sangat berharap dia sudah berubah, tapi sepertinya aku salah,".

"Ini juga salahku, sepertinya," raut wajah Mickey tampak sendu, "Harusnya, aku tidak perlu menggunakannya pada anak itu," dia terlihat sangat menyesal.

Aku membenci ini, saat terus merasa bersalah atas apa yang sudah terjadi. Seharusnya aku bisa mempertanggungjawabkan semua tindakan ku dan menjadi lebih kuat, seperti yang kulakukan bertahun-tahun lalu, selepas keluar dari rumah sakit.

"Lupakan saja," ucapanku cepat, "Kita sudah memulainya, bukan?!," mereka memandangku kebingungan, "Jadi, mari kita selesaikan," aku tersenyum, meyakinkan diri sendiri dan dua makhluk yang telah menemani perjalananku hingga sampai hari ini.

Akhir-akhir ini, hari-hariku terasa sangat melelahkan, bukan hanya sekedar fisik, mentalku pun kembali di uji. Aku segera berpamitan pada mereka, beristirahat sejenak sebelum kembali ke toko.

Baru saja sampai di toko, bel pintu berbunyi, tanda seorang pengunjung masuk.

"Maaf, hari ini kami tutup. Silakan kembali dua hari lagi," ucap ku tanpa memperhatikan orang itu.

"Paling tidak, izinkan tamu mu masuk," mendengar suaranya yang begitu asing, tapi nada bicaranya terdengar akrab, membuatku penasaran.

Aku berjalan ke depan untuk melihat pengunjung itu. Kuperhatikan dengan seksama seorang wanita yang masih berdiri di depan pintu, aku tidak mengenalnya. Aku merasa tidak pernah bertemu dengannya, "Maaf, apa ada yang bisa saya bantu?," tanya ku sopan.

Tanpa kupersilakam, wanita itu duduk dengan anggun di salah satu kursi yang biasa pengunjung gunakan untuk menunggu, saat bunga mereka di bungkus.

"Tha, apa kau masih ingat wanita yang bersama ayahmu?!," tanyanya ambigu, "Penyihir yang kau bunuh beberapa hari yang lalu?," aku melirik wanita ini curiga, dan kewaspadaanku meningkat ketika alarm bahaya dalam otakku seolah berbunyi, memberi peringatan, "Dia, adikku,".

Mataku membelalak, bahkan tanpa kusadari, aku menahan napas sekian detik. Aku mundur beberapa langkah darinya, ketika sebuah bola api nyaris menyambar kepalaku, saat wanita itu mengayunkan tangannya sambil membaca mantra.

Ku kumpulkan seluruh keberanian dan kekuatanku untuk mendorongnya hingga tersungkur. Aku berlari keluar, tanpa menoleh ke belakang. Dalam hati, aku terus saja mengumpat, karena tidak berdaya menghadapi penyihir dan hanya bisa terus melarikan diri dari mereka.

Wanita itu terus mengejarku, membabi buta. Saat aku berusaha semakin mempercepat lariku, aku merasa kakiku basah, seperti menginjak air atau semacamnya.

Detik berikutnya, rasa basah air itu berubah menjadi beku, mengunci kakiku, hingga aku tak bisa berlari lagi.

Panik, ketika kusadari aku terjebak di sebuah jalanan yang sepi dengan kaki membeku dan seorang penyihir gila yang ingin membunuhku. Aku berusaha melepaskan diri, sebelum dia semakin dekat denganku.

Namun, sebuah pukulan dari sesuatu yang yang dilemparkan dengan cepat mengenai lenganku, menghentikan gerakanku untuk membebaskan kakiku yang beku. Dia tersenyum begitu puas saat melihatku kesakitan.

Aku masih merintih kesakitan, ketika sesuatu tiba-tiba menyelimuti diriku. Dia bergerak seperti liquid hitam pekat, namun sebenarnya terbuat dari butiran pasir.

Aku berusaha melepaskan diri darinya. Tapi entah keyakinan yang berasal dari mana, ketika aku merasakan bahwa sesuatu hitam pekat ini tak akan melukaiku, justru dia sedang berusaha melindungiku.

"Gigi yang kau patahkan, akan kau balas. Darah yang kau tumpahkan, akan kau ganti," aku yakin jika yang kudengar saat ini adalah suaraku sendiri, tapi aku tidak memahaminya, bagaimana bisa suaraku mengaung di jalanan sepi ini, padahal aku merasa tak bersuara, "Aku datang kepadamu, bukan untuk memberikan sambutan dan menyampaikan salam perkenalan," bersama dengan suara yang terus kudengar, sesuatu hitam pekat itu mulai membungkus seluruh tubuhku, "Kami adalah wanita kembar, yang keberadaannya sering kau salah artikan. Mata kami memang buta, namun bukan hati kami," sebuah nama muncul di kepalaku, ketika akhirnya potongan-potongan puzzle ini terangkum menjadi satu. 'Manji,' batinku.

Bab berikutnya