webnovel

Azaila Tak Nyaman dengan Perubahan

Hawa sejuk mulai dirasakan oleh Elia dan Azaila. Percakapan mereka berkembang ke arah baru.

"Apa kamu pernah mendengar ungkapan sejarah mengulang dirinya sendiri?"

Elia mengangguk dan tiba-tiba mulai merasa kasihan pada penduduk Mansion Melianor. Dia tak sanggup membayangkan sejarah seperti apa yang sudah dilewati seluruh penduduk Mansion Melianor.

"Tuan Theria dan Madam Melianor bekerja keras dari waktu ke waktu agar gelombang tetap terjaga dan tidak meledak. Manusia melakukan banyak hal dari waktu ke waktu, peradaban terus berubah dan perubahan itu sering ditandai oleh berbagai peristiwa tragis."

"Maksudnya?" Meskipun sudah bisa membayangkan peristiwa tragis itu apa, Melianor tetap merasa tidak adil jika tidak mengonfirmasinya.

"Peperangan dan bencana alam adalah dua alasan utama sebuah peradaban berakhir atau hilang. Suatu saat peradaban kembali lahir tapi sudah dalam bentuk yang berbeda. Sisa-sisa peradaban terdahulu hanya ada dalam ingatan, atau jika kamu cukup beruntung kamu bisa menemukannya dalam beragam artefak."

Elia memikirkannya. Dia mengingat pelajaran sejarah yang sudah lama berlalu. Masa sekolahnya sudah berakhir dua tahun lalu. Tak ada satu pun pembahasan dalam kelas sejarah yang disukainya.

"Kamu memikirkan sesuatu?" Azaila seorang pengamat ekspresi yang sering akurat, sehingga dia lekas bisa menangkap perubahan suasana hati Elia.

"Nggak penting sih, cuma aku jadi ingat pelajaran sejarah, suatu hari guru membahas tentang artefak tapi aku tak memperhatikan dengan baik. Sorry," entah kenapa Elia merasa bersalah.

Azaila tersenyum tipis.

"Maksudmu sekolah?"

Elia mengangguk.

"Sebentar, apa kamu tidak melihat perkembangan dunia di luar Mansion Melianor?"

Azaila tersenyum malu.

"Aku mengikutinya, tapi hanya sampai di masa perang kemerdekaan. Setelah itu aku tidak begitu tertarik."

"Kenapa?" Elia terkejut dengan pengakuan Azaila.

"Karena aku tidak nyaman dengan perubahan yang terjadi."

"Kenapa sih? padahal mungkin kamu bisa terhibur melihat perubahan di luar sana."

Azaila memaklumi pemikiran Elia. Dia tidak berusaha membuatnya memiliki perasaan yang sama dengannya. Jika dia melakukannya, jelas itu akan menjadi upaya yang sia-sia, sehingga dia hanya mengutarakan perasaannya saja sesuai dengan pengalamannya tanpa tendensi apapun.

"Itu karena setiap perubahan juga memberikan tantangan tersendiri pada Tuan Theria."

Elia menarik tubuhnya. Dia menangkap sesuatu, ada hubungan di antara Azaila dan Theria yang takkan pernah bisa tergantikan olehnya. Hubungan dalam jangka waktu berabad-abad di mana mereka mungkin telah berbagi rasa sakit yang sama, berjuang untuk suatu lingkup dan tujuan yang sama.

"Ah, maaf, aku jadi menceritakan hal-hal yang tidak enak. Kamu pasti tidak nyaman."

"Tidak, tak apa. Aku jadi bisa mengenali kalian lebih baik. Kalian hidup lama, bagiku itu luar biasa, tapi mungkin bagi kalian...." tatapan mata Elia meredup.

"Bagi kami juga luar biasa," kata Azaila melengkapi kata-kata yang tak bisa diucapkan Elia dengan tegas. Azaila juga menampilkan senyum yang rupawan. Sikap itu membuat Elia kagum padanya.

Theria muncul tepat saat mereka sedang berbagi senyum.

"Apa ada yang menarik?" tanya Theria. Langkahnya saat mendekati Azaila dan Elia terkesan tidak menapak lantai, halus dan berkarisma.

"Ini rahasia di antara kami!" celetuk Elia. Dia lalu melompat bangun. "Saatnya makan! iya kan?"

Theria mengangguk.

Azaila bangun dan dia mengatakan, "Selamat menikmati makan malam. Aku tidak dapat menemani karena harus mengerjakan tugas yang lain."

"Begitu ya, tidak bisa ditunda?" Elia terdengar kecewa.

Azaila mengangguk dengan lembut.

"Baiklah kalau begitu." Elia menyesalkan perpisahan itu. Dia sempat membayangkan akan menyambung percakapan mereka sambil makan malam bersama.

Azaila lalu berpamitan dan dia menghilang ke dalam lorong yang berpencahayaan minim.

Elia menatap Theria dan tanpa banyak bicara langsung berjalan di sisinya untuk sampai ke ruang makan. Dia melewati beberapa pintu yang terlihat di lorong. Area yang dia kira akan dihiasi lukisan ternyata di luar dugaannya. Tidak ada lukisan sama sekali. Dindingnya polos. Hanya ada beberapa hiasan patung hewan di beberapa sudut. Poisis patung-patung itu berada di lokasi yang takkan mudah disadari kecuali memang sengaja mengamati setiap inci bangunan. Apa mereka makhluk-makluk yang berkekuatan magi dan untuk sementara menyamar sebagai patung? Elia ingat pengalaman terakhirnya, lampu yang dia kira dibuat menyerupai binatang kunang-kunang dalam berukuran besar ternyata makhluk hidup. Dia juga kepikiran dengan ucapan Azaila, ada beragam makhluk yang tinggal dan tetap diam dalam bayangan di Mansion Melianor, sehingga dia mulai mencurigai semua hal. Sejak saat itu, Elia menyimpan pertanyaan dalam hati, apa fungsi Mansion Melianor sebenarnya?

Sambil berjalan mengikuti Theria yang diam, Elia hanya mengamati sekitarnya. Ada beberapa jendela besar yang dilewati. Dari jendela itu dia bisa melihat pemandangan di sisi lain Mansion Melianor. Semuanya nampak asing tapi menakjubkan. Elia tak henti-hentinya dibuat terkejut. Tak hanya oleh penghuni oleh Mansion Melianor tapi juga Mansion Melianor itu sendiri. Seakan-akan, Mansion Melianor menunjukkan padanya kalau dia memiliki sejarah kehidupannya sendiri. Beragam pertanyaan lalu tumbuh di dalam hati Elia. Dia sengaja tidak mengutarakannya saat itu. Dia memilih untuk menikmati semua hal yang bisa dia lihat.

Theria berhenti di depan sebuah pintu. Elia mengenali pintu itu karena sebelumnya Theria pernah mendorong pintu itu untuknya. Di balik pintu itu, ruang makan tersedia. Kali ini, Theria mempersilahkan Elia untuk mendorong pintu itu sendiri dengan gesture tubuhnya. Elia merasa senang sehingga dia membukanya tanpa ragu. Dia juga melangkah masuk, tapi dia terhenti dan menoleh dengan cepat karena Theria tidak ikut masuk dengannya. Dia berhenti di ambang pintu.

"Kamu nggak temani aku makan?"

Theria menggeleng.

"Aku harus mengerjakan sesuatu yang lain. Kamu bisa sendirian bukan?"

Elia ragu tapi dia tahu dia tidak seharusnya mencegah seseorang melakukan tugasnya. Jika itu memang tugas penting, dia pikir tidak boleh menghambatnya.

"Baiklah, aku rasa tak masalah."

Theria tersenyum.

"Aku akan menjemputmu, kira-kira satu jam, jadi nikmatilah makananmu dengan tenang. Kalau kamu mau, kamu bisa membaca buku di rak yang ada di sudut itu."

Elia mengikuti telunjuk Theria.

"Bukankah sebelumnya tidak ada di sana?"

"Aku menambahkannya supaya kamu memiliki hiburan sementara aku harus mengerjakan yang lain."

"Apa tidak ada orang lain yang bisa menemaniku di sini?"

"Sayang sekali, semua orang sibuk malam ini."

Sepertinya ada yang disembunyikannya. Kalau begitu untuk sementara aku akan menurut saja, aku rasa itu yang terbaik, pikir Elia. "Baiklah," katanya pada Theria. Dia menarik nafas untuk meyakinkan dirinya kalau dia bisa sendirian. "Oh ya, beritahu aku kalau Max sudah kembali."

"Pasti," jawab Theria. "Kalau begitu, aku pergi dulu."

Theria menutup pintu setelah mempersilahkan Elia untuk duduk di kursinya. Setelah pintu tertutup, Elia menatap meja makan yang dipenuhi dengan makanan. Tidak hanya makanan berat, tapi ada beragam cemilan. Theria sudah memperhitungkan semuanya. Baiklah, kembali makan sendirian seperti biasa, ucap Elia dalam hati.

Have some idea about my story? Comment it and let me know.

Mutayacreators' thoughts
Bab berikutnya