webnovel

Makan Malam Elegan dan Kejutan Lain

Elia sudah selesai berpakaian dan dandan ala kadarnya. Dia duduk di kursi yang tersedia di dalam ruangan itu. Ada rasa tak sabar yang menyebabkannya jadi gusar. Apa lebih baik aku keluar sendiri? mungkin aku bisa menemukan tempat makannya. Elia membuka pintu dan ketika kepalanya melongok keluar dia sadar tak mungkin baginya untuk menemukan ruang makan sendirian. Lorong yang dilihatnya teramat panjang. Lorong itu terlihat tidak ramah baginya. Entah karena pencahayaannya atau karena dindingnya yang polos justru menghadirkan aura spooky. Dia lalu menarik kembali kepalanya masuk ke dalam kamar. Ide buruk kalau keluar sendirian. Aku bisa tersesat. Ini bukan rumah dua lantai, juga bukan rumah dua petak, bukan kos-kosan, bukan hotel. Padahal kayaknya biasa aja, tapi kenapa uranya..... wah.... rasanya aku seperti ada di vila Vampire. Tubuh Elia merinding. Nggak mungkin! nggak mungkin aku diculik vampir kan? jangan-jangan Melianor setengah vampir? Dia belum menyebut asal usulnya, tapi apa ada pembaca tarot yang lahir dari golongan vampire? heish! vampir itu nggak nyata!

Tiba-tiba pintu diketuk.

"Aaa!" Elia berteriak horor.

Seseorang lalu mendorong pintu secara paksa. Theria muncul dengan kecemasan maksimal.

"Oh! Theria! kamu bikin aku kaget!"

"Kupikir ada yang menyelinap!"

"Aku hanya kaget," Elia membela diri dengan malu. "Aku tadi berusaha keluar sendiri, tapi ... ada apa dengan lorongnya? kenapa gelap begitu? kalian hemat listrik?!"

Theria yang cemas lekas mengerti duduk perkaranya sampai harus menahan tawa. Dia jadi merasa baru saja terjebak dalam panggung lawak. Dia putuskan untuk sedikit bergurau, "Kami memang hemat listrik. Lagipula kamu takkan sampai ke ruang makan kalau pergi sendirian, jadi lebih mudah menunggu di sini kan?"

Elia mengangguk otomatis. "Kamu nggak bilang akan menjemputku jadi kupikir aku sebaiknya pergi sendiri tapi aku merasa aku akan tersesat dan sampai ke dunia lain kalau berjalan sendirian. Melihat lorongnya saja aku sudah merinding."

Theria tertawa. Dia butuh waktu untuk kembali normal. Itu pun dibantu dengan ekspresi Elia yang diam dengan wajah suntuk.

"Aku lapar, bisa bawa aku sekarang ke ruang makan?"

"Ya. Jangan sampai tersesat. Oh, mau gandeng tanganku?"

"Heish! aku nggak separah itu ah."

Elia lalu berjalan keluar, tapi berhenti di ambang pintu menunggu Theria yang tertinggal di belakang karena sengaja membuat Elia berjalan duluan. Elia merajuk dan itu membuat Theria tak ingin mengerjainya lagi. Keduanya lalu beriringan sampai ke ruang makan.

"Nah, nikmatilah makan malammu. Setelah itu aku akan mengajakmu berkeliling lalu membaca buku yang kamu mau di perpustakaan."

Elia tidak dapat mendengar setengah dari yang diucapkan oleh Theria ketika melihat keindahan meja makan. Kedua mata dan telinganya terpenuhi oleh kemewahan standart Mansion Melianor. Tatanan meja makannya sangat elegan. Hotel bintang lima apa kabar? apa aku sudah di surga? Elia duduk dengan tatapan terpesona pada hidangan pembuka, menu utama, dan hidangan penutup yang telah disajikan dalam satu meja. Tak terkecuali ada buah-buahan dan berbagai jenis minuman yang ditata dengan tujuan sebagai dekorasi saja.

Elia menoleh pada Theria, "Kamu juga makan denganku kan?"

Theria menggeleng.

"Mana mungkin aku makan dengan tamu. Aku di sini untuk melayanimu. Pertama, kamu harus makan ini," Theria mengambilkan hidangan pembuka.

"Tidak, kamu harus ikut, ini terlalu banyak untukku."

Theria ragu dia dapat mewujudkan keinginan Elia.

"Please, aku juga tidak terbiasa dilayani seperti itu. Aku tahu mana yang harus dimakan duluan."

Wajah Elia memohon. Itu membuat keraguan Theria meluntur. Dia tentu bersedia menemani Elia, tapi kalau makan dengan tamu dirasanya kurang sopan. Ada batasan dalam setiap pekerjaan, pikirnya.

"Ayolah! lupakan attitude!"

Elia medesak Theria untuk duduk bersamanya dan makan alih-alih menjadi pramusaji untuknya.

"Saat aku di rumah Max, dia memasak dan makan bersamaku. Dengan begitu aku tidak merasa kesepian."

Theria memperhatikan apa makna di balik kata-kata Elia yang baru saja didengarnya. Seketika rasa kasihan menyeruak.

"Intinya, aku tidak ingin makan sendirian. Aku bukan tuan putri yang harus dilayani. Abaikan saja peraturan itu, please."

"Sebenarnya tidak ada peraturan seperti itu. Tadi hanya sopan santunku saja. Madam memintaku untuk memastikan kamu makan dan istirahat dengan baik."

Dalam sekejab Elia merasa agak dikerjai. Dia sempat berpikir, Sunshine memiliki peraturan ketat soal hierarki.

"Kalau begitu, kenapa kamu melayaniku?! ayo duduk dan makan bersama."

"Oke."

Mereka lalu menikmati makanan bersama tanpa banyak bicara sampai ke hidangan penutup. Elia memulai percakapan, "Umm, Theria, apa kamu bisa meminjamkanku telepone?"

"Telepone?"

Elia mengangguk, "Yup, handphone atau telepone rumah juga tak masalah."

Nada bicaranya agak acuh tak acuh karena ada keyakinan dalam dirinya kalau Theria akan segera memberikan salah satunya padanya.

"Mau menghubungi siapa?"

Tanpa ragu Elia menjawab, "Max. Dia sudah pergi lama, aku mau tanya ke mana dia dan kapan akan menjemputku."

"Oh, kalau soal itu, kamu tidak perlu khawatir, dia akan kembali begitu urusannya selesai."

"Ya itulah, aku ingin tahu kapan dia kembali."

"Kenapa buru-buru ingin pergi dari sini?"

"Karena ini bukan rumahku."

"Madam bilang kamu boleh menganggap rumah ini sebagai rumahmu."

Theria bicara dengan keyakinan seperti sebagai pemilik rumah.

"Aku tetap merasa tak enak. Aku sudah mengganggunya."

"Kalau dia merasa terganggu, dia tidak akan membawamu kemari."

Elia melihat sekeliling. Tidak ada siapapun selain mereka di dalam ruang makan yang didesain dengan apik itu. Seandainya Elia memiliki pengetahuan luas soal arsitektur dan desain interior, dia mungkin akan lekas tahu darimana inspirasi tata ruang itu berasal. Elia hanya bisa merasakan gayanya yang elegan dengan pencahayaan minim serta jumlah perabotan yang tak banyak di dalam ruangan berhasil memberikan suasana makan yang sangat nyaman. Sebagian perabotan kelihatan dibuat dari bahan kayu.

"Memangnya ini di mana si? di atas gunung? aku nggak dengar suara kendaraan sama sekali, bahkan suasana di dalam sini sangat berbeda dengan toko Sunshine yang kudatangi. Ini tidak di tengah kota kan?"

Theria tersenyum. Jelas dia membanggakan suatu sistem rahasia yang takkan mudah dipahami oleh Elia. Bagaimanapun dia menjelaskan, diduganya itu akan membuat Elia terngaga.

"Ini masih di tengah kota."

Elia membeku sesaat.

"Jangan bercanda. Mana mungkin di kota ada tempat sebesar dan sebagus ini tanpa diketahui orang-orang."

"Itulah kenyataannya."

Elia merasa de javue. Keterkejutan ketika Max mengatakan dia setengah siluman sudah membalik otaknya. Kini hal magis lain seperti sengaja menjadi hidangan utamanya.

"Kamu pasti bercanda. Ayolah.... bagaimana mungkin menyembunyikan rumah sebesar sebagus ini dari orang-orang dan juga aku melihat perbukitan dari kamarku, bukan, itu bukan perbukitan tapi pegunungan. Jadi mustahil tempat ini ada di tengah kota," Elia tak mau mengakui kalau dia sudah memasuki dunia lain tanpa sepengetahuan kesadarannya.

"Begitulah kenyataanya. Tempat ini adalah sebuah mansion. Pemiliknya Madam Melianor. Kau tahu siapa dia kan?"

Elia menarik nafas dalam-dalam. Belum pernah dalam hidupnya dikerjai seperti ini. "Dia itu Sunshine, seorang pembaca tarot, pebisnis fashion! itu yang ku tahu!"

Setelah mengatakannya, otaknya dengan cepat berpikir. Seolah kesadarannya baru saja pulih, dia menatap Theria dengan tuntutan penjelasan terperinci mengenai situasi yang sangat ganjil baginya. "Jangan bilang kalau sejak awal aku sudah masuk ke dunia lain, dunia bawah."

Theria tersenyum. Dia menarik nafas dan mencoba menghargai kesadaran Elia yang datangnya terlambat. "Kenapa baru sadar? kupikir sejak bangun kamu sudah tahu."

"Tidak. Tidak. Aku sama sekali tidak menduganya," Elia meyakinkan Theria dengan tergesa-gesa. "Kalau begitu ceritakan padaku tentang tempat ini sedetail-detailnya, bagaimana aku bisa masuk, pokoknya semuanya tentang dunia ini, yang bagiku masih sangat asing."

Theria cukup kagum dengan rasa ingin tahu yang muncul dari Elia dalam sekejab itu. Tanpa rasa takut, dia bahkan memohon untuk dijelaskan sedetail-detailnya. Aku penasaran apa yang akan terjadi padanya nanti, tanpa tahu apapun, dia memasuki dunia bawah.

Bab berikutnya