webnovel

Ibumu Bukan Pelacur

Max mendengarkan keterangan Elia secara seksama. Mulai dari jam keberangkatan, sikap ibunya sebelum berangkat, rumah tempat tinggal Elia di luar negeri, telepone yang berdering pagi-pagi dan seterusnya. Dia menduga Elia tidak punya televisi di rumah itu. Selain itu, ibu Elia tidak menyediakan akses komunikasi ke luar lewat jalur normal. Jadi, siapa yang menelpon?

"Elia, apa orang itu menghubungi hapemu?"

Elia memperhatikan dan mencoba mengingat, tapi kebingungannya lebih banyak bertindak.

"Ung, bukan, itu hape ibuku yang sepertinya sengaja ditinggal. Karena itu ku pikir ibu membuangku dan aku memakinya habis-habisan." Kesal dan menyesal jadi satu dalam suaranya.

Seandainya dia tahu apa yang terjadi pada ibunya, umpatan itu tidak akan pernah meluncur dari mulutnya secara membabi buta, pikir Max.

"Kamu membawanya?"

Elia bingung.

"Handphonenya."

"Oh ya, ada di tas."

Elia lalu mencari tasnya.

"Seharusnya itu ada di sekitar sini."

Max mendengar Elia bergumam bingung di sekitar meja TVnya. Jika dugaannya benar, maka ini sesuatu yang serius. Dia bergegas ikut mencari tas Elia. Dia ingat Elia melemparkan begitu saja tasnya sebelum berdiri berkacak pinggang di depan rak buku-buku dan melontarkan pernyataan mengejutkan, aku ingin jadi pelacur!. Waktu itu, dia juga tak peduli dengan tas kanvas lusuh yang sekarang justru menjadi sangat penting.

"Max?"

Dia mendengar suara Elia dipenuhi ketegangan. Dia duduk di sofa sambil menggerutu.

"Kamu ngomong apa Max?"

Max menatap Elia dengan darah mendesir panas di tubuhnya. "Kurasa seseorang mengambil tasmu. Dia menyelinap masuk ke sini. Kau tidak mendengar apapun?"

Elia berdiri kaku.

"Tunggu ...."

Max menyadari apa yang membuat Elia takut. Siapapun orang yang telah menyelinap masuk semalam, jika orang itu naik ke lantai dua dan membuka kamarnya, maka orang itu akan menemukan Elia dalam keadaan yang sangat mudah untuk dikerjai. Orang itu justru tidak melakukan apapun. Posisi perabotan di rumah juga tetap sama. Tidak ada perubahan. Orang ini berusaha tidak meninggalkan jejak.

"Max ... bukan kamu yang memanggilku kemari?" Elia bertanya ngeri.

"Kamu bisa yakin kalau bukan aku mencelakai ibumu dan membuatmu datang ke sini seperti itu. Semalam ku pikir aku hanya perlu mengendalikanmu karena itu... sorry..."

Max mendekati Elia yang mundur ketakutan beberapa langkah darinya. Dia jadi kecewa pada diri sendiri karena tidak menyadari ada bahaya yang mengintai Elia. Sekarang apakah Elia bisa mempercayainya?

Max mencoba memeluk Elia. Ketika dia bisa melakukannya, dia yakin tidak kehilangan kepercayaan dari Elia. "Jika orang itu mengincarmu, dia atau mereka pasti sudah menggeledah seluruh ruangan di rumah ini untuk menemukanmu. Orang itu hanya mengincar handphone ibumu, kurasa pasti ada sesuatu di dalamnya."

Max lalu mengajak Elia untuk duduk di sofa. Mereka duduk berdampingan. Dia bisa melihat sisi wajah Elia yang pucat. Dia jadi iba karena Elia mengalami syock untuk kesekian kalinya.

"Tetaplah bersamaku."

Max memeluk Elia dari samping.

"Apa yang se ... sebenarnya terjadi? ibuku..."

"Aku akan mencaritahu, tapi kamu berjanjilah untuk tidak jalan sendirian. Apapun yang kamu pikirkan dan jika kamu merasa ada seseorang mengintaimu, kamu harus memberitahuku."

Elia mengangguk.

Setelah beberapa saat, Elia jadi lebih tenang. Max mengambil dua botol air mineral dari dalam kulkas. Satu untuknya dan satunya lagi Elia.

"Sebenarnya aku juga ingin mencari tahu kenapa Bibi ditemukan di hotel itu dalam keadaan seperti itu. Aku juga tahu kalau polisi tidak akan mampu berbuat banyak, pemilik hotel dan jaringan kerja Bibi bukanlah orang-orang biasa. Pasti terjadi sesuatu di balik kematiannya."

Max berusaha tetap tenang saat menyampaikan dugaannya pada Elia. Dia tidak bisa mengabaikan tatapan Elia yang memintanya untuk meneruskan dugaan-dugaannya. Lagipula dia juga mulai yakin tidak ada pilihan lain selain menceritakannya. Orang-orang yang mengincar Elia mungkin memancing agar mereka bekerjasama.

"Saat mendengar berita itu kupikir kamu aman di luar negeri. Aku sedang menyusun rencana saat kamu datang semalam. Meskipun aku bisa menduga kamu akan muncul, aku benar-benar tak mengira kamu muncul secepat itu. Tadinya kupikir aku juga bisa merahasiakan ini darimu dan mendatangimu nanti jika semuanya sudah jelas, tapi sekarang sudah jelas kalau kematian ibumu berhubungan dengan suatu rencana. Handphone ibumu pasti menyimpan banyak informasi. Hanya orang itu dan aku yang bisa menghubungi kalian. Aku hanya perlu mencari orang itu."

Max menatap Elia setelah membeberkan pemikirannya. Dia menatap kedua mata Elia dalam-dalam lalu berkata, "Ibumu bukan pelacur. Bibi yang kukenal bukan perempuan seperti itu."

Max melihat kedua mata Elia bersinar untuk pertama kalinya. Itu membuat jantungnya berdegup. Suasana gembira itu membuatnya merasa lega telah mengatakannya. Dia terkejut saat Elia memeluknya. Sesaat kemudian dia mendengar Elia sesenggukan. Elia menangis untuk pertama kalinya dengan sangat deras dan suara yang kencang. Elia juga mencengkeram kaos yang dikenakannya. Untuk menenangkan Elia, dia memeluknya.

Setelah puas menangis, Elia tertunduk. Max tidak bisa menerka apa yang dipikirkannya. Walaupun begitu dia mencoba mencari solusi untuk menaikkan semangat.

"Akan kubuatkan bakmi Jawa goreng, kita harus mengisi energi supaya bisa berpikir dan menemukan orang itu."

Elia menatapnya dengan pandangan tak percaya. Tatapan itu mengandung pertanyaan. Tanpa dikatakan oleh Elia, dari wajah itu, Max bisa membaca kalimat, kau bercanda ya, dalam keadaan begini bisa makan?

"Kau harus makan. Kamu mengalami perjalanan jauh, minum alkohol, dan melakukan aksi dewasa itu, ini saatnya untuk mengisi ulang energimu," ucap Max seraya bangkit. "Sebelum kita benar-benar tidak punya waktu dan minat pada makanan, sebaiknya kita makan makanan yang enak dan sehat sekarang."

"Apa sih maksudmu? bisa-bisanya menawariku makanan, aku ingin tahu lebih banyak tentang ibuku," kata Elia. Seharusnya kalimatnya terdengar seperti kemarahan tapi itu berakhir menjadi terdengar nyaring dan manis di telinga Max karena Elia baru saja menangis.

Max sudah bergaya di depan kompor dengan teflon di tangan. Dia sudah siap menghadapi bahan makanan dan kompor listriknya.

"Waktu masih panjang. Sambil jalan, aku akan menceritakannya," Max berkata riang.

"Bisakah sambil makan nanti? Dan juga ikutsertakan aku dalam rencanamu, please..."

Max terhenti dari kegiatannya. Dalam hati dia berkata, dia memang cerdas. Bagaimana dia tahu kalau aku punya niat untuk tidak melibatkannya. Yah, sekarang walaupun ingin, keadaan memaksaku untuk tidak meninggalkanmu. Kamu harus ada dalam pengawasanku. Jadi yang terbaik adalah membawamu kemanapun aku pergi.

"Oke!"

Satu kata itu membuatnya bisa melihat Elia tersenyum lebar dan bersemangat. Ekspresi itu juga membuat perasaannya ikut gembira. Meskipun dia bisa membayangkan seberapa berat perjalanan mereka nanti, dia tetap tidak bisa menghindari keinginannya sendiri untuk mencari tahu kebenaran di balik kematian ibu Elia yang selama ini juga sangat disukainya. Ditambah lagi sekarang dia mengetahui bagaimana Elia bisa datang kemari dengan tanpa persiapan. Semuanya telah diatur oleh sesuatu yang mungkin tidak dapat dia tangani sendiri.

Sambil memasak, pikiran Max terus bicara mempertimbangkan banyak hal. Aku dan Elia mungkin memiliki sesuatu yang dia inginkan dari Bibi. Kami hanya tidak menyadarinya. Sesuatu itu pasti disembunyikan secara terpisah oleh Bibi. Satu ada padaku dan satu lagi ada pada Elia, atau tidak sama sekali dan orang itu mengira demikian? tapi apa itu? sebuah bendakah? atau uang? Jika hanya uang mungkin mereka tidak membutuhkan aku dan Elia. Kalau begitu, apapun itu, dia terpaksa harus menggabungkan kami agar bisa mendapatkannya. Alasan Elia semalam tetap aman adalah karena mereka membiarkannya hidup, sebab orang itu masih membutuhkan Elia untuk membuatku menemukan yang dia cari. Kalau begitu sejauh ini, semua berjalan sesuai rencananya.

Max menoleh pada Elia yang sekarang sudah duduk di meja dapurnya. Elia sedang melihat ke taman di sisi dapur. Dia sengaja mendesain area dapurnya menjadi semi outdoor agar terasa luas. Dia mengamati wajah Elia yang terlihat tenang meskipun menyadari ada bahaya mengintainya. Luar biasa, pikir Max sambil menggeprek bawang.

Creation is hard, cheer me up!

Mutayacreators' thoughts
Bab berikutnya