webnovel

Tapak Penggetar Sukma

"Sombong kau!!! Aku ingin tahu apakah kesombonganmu itu sesuai dengan kemampuanmu?" seorang tua berpakaian ungu tua angkat bicara. Senyuman mengejek yang tersungging di bibirnya semakin kentara.

"Kalau benar ingin tahu, kenapa kau tidak mencobanya sekarang juga?"

"Baik, aku akan segera mencobanya. Lihat serangan!!!"

Belum sempat ucapan itu selesai, tubuhnya telah meluncur deras ke depan sambil memberikan dua pukulan keras yang mengarah ke dada dan pelipis.

Gerakannya seringan kapas. Kecepetannya ibarat batu yang dilemparkan.

Begitu serangan pertama tersebut tiba, Raka segera menggeser kakinya ke samping sebelah kanan. Kepalanya dimiringkan dalam waktu yang bersamaan.

Serangan berupa pukulan keras yang dipercaya akan berhasil itu nyatanya gagal. Tubuh Pendekar Pedang Pencabut Nyawa ternyata mampu bergerak lebih cepat dari perkiraannya.

Orang tua itu menggeram marah. Dia menjejakkan kakinya ke tanah lalu meluncur kembali ke tempat berdirinya Raka Kamandaka.

Kali ini serangan yang dia layangkan bukan hanya dua pukulan. Melainkan tujuh pukulan berantai yang datang bagaikan hujan derws di tengah malam.

Berbagai macam titik penting di tubuh manusia menjadi sasaran utama. Serangan pukulan berantai ini berisi tenaga dalam cukup tinggi. Jangankan manusia, malah batu hitam sebesar meja pun bisa dihancurkan oleh pukulan berantai tersebut.

Tapi sayang sekali. Raka Kamandaka bukanlah sebuah batu hitam. Sehingga dia tidak diam saja begitu melihat ada serangan berbahaya yang mengancam dirinya.

Wutt!!! Plakk!!! Plakk!!!

Benturan pukulan keras terjadi. Tubuh orang tua itu tergetar lalu terdorong mundur dua langkah ke belakang. Darah dalam dadanya bergolak hebat. Pada saat itu wajahnya mengalami perubahan jelas.

Dari wajah tersebut dapat dilihat bahwa dia benar-benar tidak menyangka kalau pemuda itu demikian hebatnya. Dia sendiri termasuk ke dalam pendekar kelas satu. Kemampuan dan pengalamannya tidak bisa dipandang sebelah mata.

Tapi sungguh tak menyangka kalau dirinya dapat dibuat demikian oleh seorang pemuda keturunan Kamandaka itu.

Sementara itu, tubuh Pendekar Pedang Pencabut Nyawa sendiri masih tegak pada posisi berdirinya semula. Jangankan terdorong seperti lawannya, malah goyah pun tidak.

Kenyataan ini menjadikan kelima orang asing itu terperanjat. Jika sudah seperti ini, itu artinya pemuda yang akan mereka hadapi sekarang bukanlah orang sembarangan.

Dan pada hakikatnya memang demikian. Keluarga Kamandaka sendiri bukan keluarga sembarangan. Bukan cuma karena harta kekayaannya saja, malah ilmu silatnya juga sama.

Menurut berita yang beredar, sejak zaman dahulu, Keluarga Kamandaka seluruhnya mempunyai bakat yang sangat baik dalam dunia bela diri. Setiap keluarga yang belajar silat, dapat dipastikan bisa menyerap berbagai macam ilmu yang diajarkan dengan cepat sekali.

Tidak terkecuali dengan Raka Kamandaka sendiri.

"Hebat, hebat, aku tidak mengira kalau kau mempunyai kepandaian yang lumayan," kata orang berbaju ungu tua tersebut.

Seolah dirinya sedang memuji akan kehebatan musuh. Padahal sejatinya dia sendiri sedang berusaha menenangkan darah dalam tubuhnya. Adapun perkataan itu diucapkan agar musuh tidak mengetahui apa yang sedang dia lakukan saat ini.

"Kenapa kau malah diam? Apakah sudah merasa tidak sanggup melawanku?" Raka tidak membalas pujian lawan. Sebaliknya, dia malah memberikan ejekan kepadanya. Hal ini sengaja dilakukan karena Raka ingin memancing emosi musuhnya.

Dalam sebuah pertarungan, memegang emosi lawan adalah merupakan salah satu kunci utama.

Sebab jika kita sudah berhasil memegang dan mengendalikannya, maka kemungkinan besar kemenangan sudah ada pihak kita.

"Curut busuk. Lancang sekali mulutmu itu!!!"

Orang yang berpakaian cokelat buka suara. Orang itu menuding Raka sambil mengacungkan trisuka miliknya.

Wushh!!!

Baru saja selesai bicaranya, dia telah memburu ke depan sambil melancarkan serangan mematikan. Trisula yang digenggam erat di tangan kanannya langsung melayangkan tebasan dan tusukan.

Semuanya mengancam daerah rawan yang terdapat pada diri manusia. Cahaya putih keperakan tercipta. Cahaya itu juga menciptakan ribuan titik cahaya putih.

Pendekar Pedang Pencabut Nyawa tidak gentar sama sekali. Sekalipun lawannya memakai senjata, namun dia yakin sanggup mengalahkannya.

Wutt!!! Wushh!!! Wushh!!!

Trisula itu memberikan tebasan maut yang mengarah ke leher. Disusul kemudian dengan tusukan berbahaya yang ditujukan ke arah tenggorokan.

Raka Kamandaka tersenyum dingin. Melihat lawannya sudah berusaha mati-matian ingin membunuh dirinya, pemuda itu lantas memberikan ekspresi muka yang sulit digambarkan.

Wushh!!!

Tepat sebelum serangan ketiga tiba, tubuh pemuda itu telah menghilang dari pandangan mata. Sessat kemudian, tahu-tahu Raka telah berada di pinggir musuhnya.

Bukk!!!

Jurus Tapak Penggetar Sukma dilayangkan tepat ke arah rahang kanan orang tersebut. Dia langsung terlempar kepinggir cukup jauh.

Musuhnya tampak bergulingan beberapa kali hingga akhirnya berhenti. Dia tidak bergerak lagi.

Ya, orang itu telah mampus.

Tulang di bagian rahang kanannya ternyata jebol. Tulang rahang itu hancur tidak karuan. Darah segar cukup banyak terus keluar dari mulutnya. Wajahnya telah dilumuri oleh darah dia sendiri.

Raka tersenyum semakin dingin. Dia yakin keempat rekan orang itu akan merasa jeri karena melihat rekannya sudah tewas.

"Bangsat kecil, berani sekali kau membunuh rekanku. Sekarang kau harus mampus agar nyawamu bisa menjadi gantinya,"

Teriak orang tua yang menggunakan senjata berupa pedang kembar.

Melihat orang ini bergerak, tanpa sadar pemuda serba putih itu memundurkan dirinya satu langkah ke belakang.

Firasatnya mengatakan kalau orang ini merupakan yang terkuat dari empat orang lainnya.

Hal ini bisa terlihat dari cara dia melolos pedang. Meskipun cara meloloskan senjata hampir sama, namun keahlian dan penjiwaannya jelas berbeda.

Dan dalam diri orang ini, Raka melihat bahwa setidaknya tinggal beberapa langkah lagi, dia akan berubah menjadi pendekar pedang ternama.

Apakah sekarang Raka Kamandaka bisa mengalahkannya?

Serangan lawan telah tuba. Tusukan dan sabetan telah dilayangkan dengan kecepatan tinggi. Hawa pedang menyeruak ke seluruh penjuru mata angin.

Hawa pedang terasa begitu menekan tubuh.

Wutt!!! Wushh!!!

Cahaya menyilaukan menyelimuti arena pertarungan. Tubuh Raka sudah tidak terlihat karena tergulung oleh ribuan titik pedang yang tercipta.

Baru beberapa saat saja bergebrak, ternyata orang itu telah sanggup melayangkan dua belas serangan beruntun yang datang tanpa jeda.

Semua serangan tusukan dan sabetan yang dilayangkan olehnya sambung menyambung tak pernah putus. Gagal satu menyusul dua. Gagal dua menyusul tiga. Begitu seterusnya hingga akhirnya arena pertempuran dikuasai oleh dia sendiri.

Raka tidak gentar. Alasan sampai saat ini dia belum memberikan balasan serangan adalah karena dirinya ingin mengetahui bagaimana kemampuan lawan yang sebenarnya. Di sisi lain, dia pun sedang mencari titik kelemahan dari serangan berantai tersebut.

Sebab sebanyak dan seganas apapun sebuah serangan, jika kita telah mengetahui titik lemahnya, maka semuanya akan sia-sia saja.

Wushh!!! Wushh!!!

Raka Kamandaka baru saja berkelit dari tusukan maut lawan yang mengincar ulu hatinya. Namun baru saja kakinya mendapatkan posisi, tebasan ke arah pinggang telah datang kembali.

Bab berikutnya