Dua jam telah berlalu, supir beserta anggota keluarga bergotong royong memasukkan seluruh perabotan dan kebutuhan rumah tangga di masukkan ke dalam truk. Selesai memasukkan barang ke dalam truk, Fadil pun masuk ke dalam mobil Avanza silver di kursi paling belakang.
Semua anggota keluarga masuk ke dalam mobil, dan perjalanan pun dimulai. Mereka melintasi jalan pedesaan yang di penuhi oleh lubang, lalu memasuki jalur pantura hingga satu jam setengah lamanya. Lama di perjalanan. akhirnya mereka semua tiba di sebuah rumah berlokasi di Perumahan Mekar Sari. Rumah itu memiliki luas halaman 5 x 7 m, dan luas rumah 5 x 8 m. Satu persatu barang di masukkan ke dalam rumah.
Rumah itu hanya memiliki satu kamar, dapur, ruang tamu, ruang keluarga dan kamar mandi. Fadil pun heran, kenapa kedua orang tuanya membeli rumah. Posisi rumahnya berada di pertigaan jalan. Padahal sebelumnya, dia ingin menyewa kost atau kontrakan paling dekat dengan lingkungan kampus. Tapi dari sini menuju kampus juga dekat. Tak berlangsung lama, dari arah langit gadis berselendang melayang di angkasa lalu dia mendarat secara perlahan tepat di hadapannya. Beruntung kesaktian yang ia miliki, tak ada satu pun keluarga yang tau kecuali dirinya dan adiknya.
Melihat Sarah berdiri di samping kakaknya, Tina pun merasa sangat senang. Ingin rasanya dia memeluk Sarah, namun karena keadaan dia harus menahannya. Kemudian dia berjalan menemui orang tuannya, yang sedang duduk di lantai teras depan rumah. Dia pun duduk bersila di samping mereka berdua. Begitu juga Sarah duduk di sampingnya.
"Perasaan Fadil gak minta di belikan rumah," ucap Fadil terheran-heran.
"Sebenarnya ini adalah anamat dari kakekmu. Dia serahkan seperempat hartanya, untuk membeli rumah serta biaya perkuliahan kamu." Kata Sang Ayah.
"Kakekmu itu, benar-benar mendukungmu sampai akhir. Jangan pernah kamu kecewakan dia, belajar yang rajin. Setelah lulus, kalau bisa berkerjalah di perusahaan bonafit. Fokus kejar impianmu, jangan lakukan hal yang menghambat masa depanmu. Itu saja pesan ibu," ujarnya memberi pesan pada anaknya.
"Iya ibu," jawabnya dengan singkat.
Pemuda itu terdiam lalu teringat kembali kenangan indah bersama kakeknya. Sewaktu dia berusia lima tahun, Fadil merengek untuk di belikan mobil remot kontrol lalu keesokan harinya Sang Kakek pergi ke Jakarta dengan menaiki sebuah bus. Cuaca yang sangat panas, dan penuh sesak tak mengurungkan niatnya memenuhi keinginan cucunya. Setelah beliau mendapatkannya, dia kembali pulang dan sampai pukul tengah malam. Keesokan harinya, Fadil sangat bahagia mendapatkan apa yang di inginkan.
Setiap hari, dia bermain dengan mainan pemberikan kakeknya bersama beberapa anak yang mengaku sebagai teman. Hingga akhirnya mobil mainan itu rusak oleh teman-temannya. Tidak ada satu pun dari mereka yang bertanggung jawab, bahkan beberapa mainan koleksi pribadinya yang hampir sekardus di curi oleh mereka. Kepolosan Fadil membuat kedua orang tuanya geram, namun Sang Kakek terus membelanya ketika dimarahi. Kemudian saat dirinya duduk di bangku sekolah dasar.
Waktu itu dia sedang berjalan seoang diri, lalu tiga berandalan di sekolahnya membawa anjing jenis buldoks. Kemudian salah satu dari mereka, melepas pengikat di leher anjing lalu memerintahkannya untuk mengejarnya. Fadil sewaktu kecil memiliki badan yang kurus, berlari sekencang mungkin sembari menangis. Ketiga bocah berandalalan, menertawakannya, mereka ingin melihat bokongnya gigit oleh anjing. Sang Kakek baru saja pulang dari sawah, melihat cucunya dalam bahaya dia pun berlari lalu menjadi garda terdepan melindungi cucunya.
Setiap kali pemuda itu mendapat masalah, Sang Kakek selalu menjadi garda terdepan melindungi dirinya. Dan juga setiap kali ia berkeluh kesah, Sang Kakek menujukkan sosok pendengar yang baik. Sungguh sosok Sang Kakek yang selalu melindungi dan juga mendukung cucunya hingga akhir. Kedua matanya berkaca-kaca, lalu Sarah pun memeluknya sembari mengusap dadanya hingga pemuda itu merasa tenang.
Waktu berlalu begitu cepat, seluruh barang telah dimasukkan. Rumah yang sebelumnya kosong melompong, kini sudah terisi oleh berbagai perabotan rumah tangga tertata rapih. Seluruh lantai dan kaca sudah di bersihkan, bahkan aroma pembersih lantai masih tercium. Seluruh keluarganya pamit untuk pulang, namun sebelum itu kedua orang tuanya memberikan surat tanah, dan kepemilikan rumah atas namanya. Juga mereka juga memberitahu, bahwa rekeningnya sudah di transfer sebanyak seratus juta.
Kedua orang tuanya, berjalan memasuki mobil lalu mereka pun pamit dan melambaikan tangan kepada anaknya, yang sedang berdiri seorang diri depan gerbang rumahnya. Senyuman pun telah usai, lalu dia berjalan kembali dengan raut wajahnya yang datar, tak lupa dia menutup pintu gerbang rumahnya. Air matanya tak bisa di bendung, dia pun menangis histeris sembari bersandar pada daun pintu rumahnya. Dia tak menyangka, bahwa kakek telah melakukan sejauh itu demi dirinya.
Sebuah batu besar, seolah menompang pada kedua bahunya untuk di bawa pada sebuah tempat yang bernama impian. Jalanan yang terjal, di penuhi oleh kerikil dan duri harus dia lewati. Namun tidak ada pilihan lain, selain melaluinya hingga sampai tujuan. Melihat pemuda itu mengis histeris, Sarah pun berjalan mendekat lalu dia memeluknya sangat erat.
"Kakekmu melakukan semua ini, demi kesuksesanmu. Maka, jangan kamu sia-siakan pengorbanan kakekmu. Kejarlah impianmu sayang dan buat kakekmu bangga. Aku akan selalu ada untukmu, jika kamu membutuhkan bantuan." Gadis itu berkata sembari mengelus kepalanya, sesekali dia mencium keningnya dan mengusap air matanya.
Kini pemuda itu membalas pelukkannya, baju yang dikenakan Sarah basah oleh air mata. Meskipun dirinya merasa tidak nyaman, tetapi selama tangisannya mereda Sarah tidak memperdulikannya. Lambat laun tangisannya mulai mereda, namun pemuda itu belum melepaskan pelukkannya. Detak jantung, kehangatan dan kenyamanan sedang mereka berdua rasakan. Gadis itu tersipu malu, selama Fadil memeluknya tiada henti.
"Ternyata Sarah memang nikmat untuk di peluk," ucapnya sembari membaringkan kepala di atas pundaknya.
"Sayang, aku tidak keberatan kamu memelukku selama yang kamu inginkan. Tapi kumohon lepaskan pelukkanmu, aku harus ke kamar mandi." Kata Sarah, dengan raut wajah agak pucat menahan buang air besar sejak tadi.
Fadil melepas pelukkannya, Sarah langsung beranjak pergi ke kamar mandi memenuhi panggilan alam. Kemudian pemuda itu berjalan, melirik kesana-kemari memperhatikan seisi rumah. Ruang tamu yang di tempati oleh motor, sebuah TV tersambung oleh antena di ruang tengah. Di dalam kamarnya, terdapat sebuah kasur sorong berwarna biru, sebuah lemari pakaian terbuat dari kayu, dua kipas dan meja belajar beserta kursi. Lalu dia berjalan ke dapur, disana terdapat kompor dan berbagai macam barang kebutuhan dapur.
Suasana rumah yang sejuk, membuat dirinya mulai merasa nyaman. Hari mulai gelap, pemuda itu mulai menyalakan seluruh lampu rumah. Pintu di kunci dan jendela pun tertutup rapat. Setelah itu dia berjalan ke ruang tengah, membaringkan tubuhnya di atas lantai sembari menikmati acara TV. Aroma kuliner, mulai tercium dari arah dapur membuat perutnya keroncongan. Tanpa sadar air liur hampir menetes, lalu dia menoleh ke arah dapur.
Rupanya gadis itu sedang memasak. Fadil pun berjalan kembali ke ruang tengah, dia berbaring menikmati acara TV sembari menunggu makan malam. Tiga puluh menit telah berlalu, Sarah pun datang membawa dua piring berisi menu makan malam. Gadis itu meletakkan kedua piring di atas lantai. Menu makan malam hari ini adalah telur goreng dan orek tempe. Air liur, membasahi seluruh rongga mulutnya lalu dia mengambil piring itu dan mulai menikmati hidangan makan malam.
"Maaf di kulkas ada telur dan tempe, kupikir akan lebih enak jika memasaknya."
"Ini enak sekali, gak nyangka kamu jago masak." Ujarnya sembari mengunyah makanan dalam mulutnya.
"Iya dong, bukan Sarah kalau tidak bisa masak." Kata gadis itu sembari menyombongkan diri.
"Kalau ingin masak, pakai saja nanti jika bahan makanan habis kita langsung pergi ke pasar."
"Iya sayang," ucapnya sembari tersenyum manis kepadanya.
Selesai menikmati makan malam, Fadil pun membawa dua piring kotor lalu mencucinya pada sebuah wastafel. Setelah mencucinya, dia masukkan dua piring tersebut kedalam lemari khusus tempat menyimpan piring, sendok dan gelas. Pemuda itu berjalan kembali ke ruang tengah, lalu bergabung bersama Sarah menikmati acara komedi di TV. Suara tawa menggema di seluruh ruangan, kini mereka tidak perlu takut lagi untuk tertawa. Sebab di rumah ini hanya ada mereka berdua.
Tak terasa, waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Mereka berdua berjalan masuk ke dalam kamar, lalu Fadil memasang seprai pada kedua kasurnya. Kemudian Fadil berbaring di atas kasur sedangkan Sarah bawah kasur.
"Kasur yang nikmat bukan? Sekarang, kamu tidak perlu khawatir lagi jika aku memeluk atau menciummu tanpa izin."
Gadis itu terdiam, dengan raut wajah agak sedih sembari menatap langit-langit kamar. Rasanya dia mendengar sebuah kata perpisahan, tapi secara tidak langsung. Namun dia membuang jauh-jauh, perasangka buruk dalam benaknya. Dia menatap pemuda itu dan ia pun tersenyum, lalu dia berkata bahwa selain Fadil tidak masalah jika ia mau memeluk dan menciumnya jika dia mau. Lagi pula, kini status mereka berdua adalah kekasih kontrak dalam satu frekuensi yang sama.
"Masa? Nanti di cium nangis," ujarnya dengan ragu sembari menggodanya.
"Sungguh."
"Bener yah," ucap sembari bangkit dari tempat duduknya.
Kedua matanya mulai terpejam. Raut wajah kemerah-merahan, jantungnya berdekup kencang dan kedua bibirnya condongkan sedikit ke depan. Namun tidak ada sentuhan apapun darinya, lalu dia pun membuka kedua matanya secara perlahan. Gadis itu melihat Fadil menatap dirinya sembari menahan tawa. Raut wajahnya semakin memerah, dengan kesal dia memukul lelaki itu dengan bantal hingga puas.
Puas memukul lelaki itu, Sarah kembali ke tempat tidurnya lalu mereka saling berpandangan. Lama menatap, mereka mulai terpesona satu sama lain lalu mereka pun tertawa dan terus berulang selama satu jam lamanya hingga mereka tertidur.