webnovel

Kedai mie

Suara notifikasi pesan berbunyi, lalu ia meraih ponsel di dalam saku celananya. Dimas bertanya mengenai keberadaannya sekarang, lalu ia memberitahu bahwa dirinya kini berada di Universitas Macan Pasundan. Kemudian Dimas pun membalas pesan, agar dirinya menunggu di depan gerbang kampus. Dimas mengajak temannya mengunjungi kedai mie tak jauh dari kampus.

Fadil menyetujui ajakkan temannya, ia pun memarkirkan motornya di atas terotoar samping gerbang kampus. Panasnya sinar matahari, membuat sekujur tubuhnya berkeringat. Sudah setengah jam lamanya, ia mengunggu namun temannya tak kunjung datang. Dia merasa jengkel, lalu ia menaiki sepedah motornya. Kemudian seseorang memanggilnya dari belakang, dia pun menoleh ke belakang. Raut wajahnya menjadi datar, ketika melihat Dimas melambaikan tangan sambil mengendarai sepedah motornya.

Raut wajahnya yang polos, membuat Fadil kesal ketika menatapnya. Dimas pun melaju kendaraanya, lalu ia menepi mendekati Fadil yang sedang duduk di atas motornya. Dia membuka helm menatap Fadil tanpa dosa.

"Sorry gue ketiduran," kata Dimas.

"Dasar elu yang ngajak, malah tidur."

"Iya sorry bro, daya gravitasi kasur sulit untuk di lawan."

"Ya sudah ayo pergi, perut gue mulai keroncongan." Ujarnya sembari memakai helm.

Mereka mulai melaju kendaraan secara perlahan, menuju kedai mie. Arus lalu lintas cukup sepi, hanya ada beberapa motor dan mobil kecil yang melintas. Ada juga beberapa pemulung dan pengamen berjalan mencari sesuap nasi. Badut jalanan menghuni lampu merah, anak jalanan menjulurkan tangan mengharapkan simpati kepada pengguna jalan. Fadil memberi selembar lima ribu, kepada salah satu anak jalanan. Dia berharap uang pemberiannya bisa di manfaatkan sebaik mungkin.

Sekian lama di perjalanan akhirnya mereka sampai di lokasi. Mereka berdua memarkirkan motor, pada tempat parkir yang sudah tersedia. Suasana di kedai cukup ramai, para karyawan serta pengguna jalan yang berkunjung memadati tempat. Beruntung masih ada satu meja, yang kosong sehingga mereka bisa menikmati makan di tempat. Kemudian mereka berdua, memesan mie ayam porsi jumbo dan jus jeruk. Selesai memesan mereka kembali ke tempat duduk, sebelum tempat mereka di ambil alih oleh orang lain. Fadil pun teringat akan sosok gadis itu.

Sepasang mata merah delima, rambutnya yang putih, tubuhnya aduhai, serta raut wajahnya yang manis ketika saling berpandangan. Mengingat sosoknya membuat Fadil senyam-senyum sendiri. Dimas menatap aneh temannya, ia penasaran apa yang membuat dirinya senyam-senyum sendiri. Matanya tak berkedip, membuat ia khawatir dengan kesehatan jiwanya. Dia pun menggerakkan tangan di depan wajahnya, namun Fadil tidak merespon. Lalu dia menepuk pundaknya sebanyak tiga kali hingga akhirnya ia sadar dari lamunannya.

"Awas kesambet," kata Dimas.

"Iya."

"Ada apa? Kenapa elu senyam-senyum sendiri?"

"Di kampus gue bertemu dengan seorang gadis cantik."

"Gadis cantik?"

"Iya dia memiliki sepasang mata merah delima, berambut panjang berwarna putih, kulitnya mulus, pokonya gadis itu sangat cantik."

Dimas pun tertawa terbahak-bahak, mendengar apa yang di katakan oleh temannya. Dia mengira bahwa temannya sedang menghayal, dengan salah satu karakter fiksi pada serial anime. Memang temannya suka berhalusinasi, namun tidak separah yang sekarang. Kemudian, dia mengungkapkan rasa ketidak percayaannya dengan apa yang Fadil katakan. Di dunia ini mana ada gadis berambut putih, jika berkulit putih seputih cat itu memang ada. Rambut panjang berwarna putih, tentu saja tidak ada.

"Sumpah gue tidak mengada-ngada, gadis seperti itu memang ada."

"Baiklah, di lihat dari ekspresi wajahmu sepertinya yang kamu katakan itu benar. Jadi apa elu sudah berkenalan dengan gadis itu?"

"Belum," jawabnya sembari menundukkan pandangan karena kecewa.

Mendengar hal itu Dimas menepuk wajahnya sendiri, lalu menggelengkan kepalanya. Kebodohan temannya membuat ia merasa jengkel. Kesempatan sekali seumur hidup telah ia lewatkan begitu saja.

"Dasar bodoh, kenapa kamu melawatkannya begitu saja?!" Ujarnya dengan jengkel.

"Gue lupa dan juga gugup, rasanya lidahku seperti mati rasa."

"Ya sudah kawan, yang lalu biarlah berlalu. Cukup jadikan pelajaran untuk ke depannya, agar lebih berani. Kalau jodoh pasti bertemu," timbalnya memberi semangat.

"Saat bertemu dengannya, gue kira status jomblo gue bakal berakhir. Tapi tidak sesuai harapan, sial."

"Sudah-sudah, ada banyak gadis di dunia ini. Jadi jangan ternah takut kehabisan," ujarnya dengan nada bercanda sembari menepuk pundak temannya.

Fadil pun menghembuskan nafas, sembari membaringkan kepalanya di atas meja. Tak berlangsung lama pesanan mereka telah tiba, ia pun langsung membenarkan posisi duduknya. Kemudian dia mengambil sendok dan garpu, sedangkan Dimas mengambil sumpit. Mereka mulai menikmati makan siang dengan sangat lahap. Saking lahapnya mulut Fadil sampai belepotan, berbeda dengan temannya menikmati makan siang secara perlahan. Selesai makan Fadil meminum jus secara perlahan.

Segarnya buah jeruk, serta dinginnya es bercampur menjadi satu. Fadil tiada henti terus meminumnya, sembari meminum dia menoleh kesana kemari memperhatikan sekitar. Satu persatu pelanggan telah pergi, suasana kedai mie mulai sepi. Dimas pun mulai mengeluarkan ponsel dari saku celananya, lalu menunjukkan sebuah foto gadis pada dirinya. Gadis itu memiliki rambut hitam sebahu, kulitnya yang cerah serta matanya yang biru seperti samudera. Dia mengenakan baju mantel, hijau serta syal berwarna merah, tersenyum manis menghadap kamera.

"Bagaimana menurut elo?"

"Cantik, siapa dia?"

"Sasha pacar gue."

"Hah? Kapan elu jadian, kok gak cerita?"

"Jadian sebulan yang lalu. Sengaja gue gak cerita biar, gak di tagih pajak jadian." Ujarnya lalu ia tertawa.

Dimas pun bercerita, bahwa dia bertemu dengannya ketika pelajaran bengkel. Kebetulan mereka praktek di satu tempat yang sama, lalu Sang Guru meminta kelasnya untuk mengajar dasar-dasar pemasangan instalasi listrik. Setiap senior mengajar satu orang juniornya. Pasangan sudah di tentukan oleh Sang Guru sebelumnya, sehingga seluruh murid mendapatkan pasangan. Di situlah awal kisah asmara mulai tercipta. Awalnya hubungan mereka hanya sebatas senior dan junior.

Keseriusan Sasha dalam menimba ilmu, membuat hubungan mereka semakin dekat. Di waktu senggang, Dimas sering meneraktir dan mengajaknya makan di luar. Dia sempat menyelamatkan Sasha, yang hampir tertabrak mobil akibat kecerobohannya. Hubungan mereka semakin dekat, dan ia sering mengantarnya pulang ke rumah. Dimas sempat bertemu dengan kedua orang tuannya. Bapaknya merupakan seorang pria keturunan eropa sedangkan Ibunya turunan asli pribumi.

Kisah cinta mereka pun terus berlanjut, hingga mereka berdua resmi menjadi sepasang kekasih. Mendengar hal itu Fadil semakin tertunduk lesu, ia sangat iri dengan kisah cinta temannya. Seketika dia teringat kembali akan sosok gadis berambut putih. Dia menyalahkan dirinya sendiri karena tak bisa berkenalan dengannya. Kemudian dia menoleh ke segala arah sembari merenggangkan otot. Kedua matanya tak berkedip, ketika ia kembali melihat gadis bermata merah. Gadis itu sedang memesan mie, untuk dia nikmati di sini.

"Mas-mas!" Ujarnya sembari menepuk

"Ada apa?"

"Itu gadis berambut putih," ucapnya sembari menunjuk ke arah gadis yang sedang memesan.

Secara mengejutkan gadis berambut putih itu berdiri di hadapannya. Dia menatap Fadil dengan raut wajahnya yang datar, sedangkan mereka berdua memandang gadis itu tanpa berkedip. Seketika raut wajah Fadil merah padam, tubuhnya gemetar, kepalanya terasa pening serta jantungnya berdegup begitu kencang.

"Sejak tadi kamu menunjukku. Ada apa?" Tanya gadis itu dengan raut wajahnya yang datar.

"Oh tidak, mungkin itu hanya perasaanmu saja." Jawabnya dengan berkeringat dingin.

"Oh." Timbalnya, lalu ia pergi begitu saja.

Melihat kebodohan temannya, Dimas pun menahan tawa lalu ia menepuk wajahnya sebanyak dua kali. Sedangkan Fadil terdiam karena malu, lalu ia kembali meminum jus sembari memalingkan wajah. Siapa tau dengan meminum jus, rasa malu pada dirinya telah hilang. Begitulah yang di pikirkan oleh Fadil. Sesekali dia menoleh ke arah gadis itu yang sedang makan. Raut wajahnya memerah setiap kali memangnya.

"Mumpung dia ada disini, ayo cepat kenalan." Saran temannya.

Pemuda itu terdiam dengan rasa gelisah. Dalam lubuk hatinya yang paling dalam, ia ingin sekali berkenalan dengannya. Namun dia bingung harus melakukan apa untuk berkenalan dengannya. Tubuhnya semakin bergetar, ketika ia mencoba untuk beranjak dari tempat duduknya mendekati gadis itu. Saat gadis itu memperhatikannya, dia kembali duduk dan begitulah seterusnya, hingga gadis berambut putih itu selesai makan. Selesai makan, gadis itu pergi dan menghilang, diantara para pengunjung yang datang.

Sekali lagi dia gagal, dalam memanfaatkan kesempatan sekali seumur hidu. Dan akhirnya berakhir dengan kekecewaan. Dimas menepuk pundaknya, sebari berkata bahwa jika dia memang berjodoh suatu saat nanti pasti bertemu. Dan jika tidak, dia harus rela untuk melepaskannya. Mendengar nasehat temannya, ia pun tersenyum walau di paksakan. Selesai makan, mereka pun pamit untuk pulang. Sebelum Fadil pergi, ia sempat bertanya dimana kini ia tinggal. Dimas pun menjawab bahwa dia tinggal tak jauh dari sini. Pantas saja dia tau dimana kampusnya berada, dan kini semua masuk akal.

Kemudian mereka pun berpisah, kembali pulang ke rumah masing-masing. Hari sudah mulai senja, Fadil pun terjebak macet di jalur pantai utara. Asap hitam serta padatnya kendaraan membuat kepalanya terasa pening. Secara perlahan ia melaju kendaraannya, menyalip diantara mobil dan truck. Sekilas dia teringat, dengan raut wajah gadis itu ketika menatap dirinya. Dia pun tersenyum ketika membayangkannya, hingga akhirnya dia hampir tertabrak sepedah motor.

Pengendara berambut gondrong, melototinya lalu Fadil pun tersenyum sembari mengangguk-ngangukkan kepalanya, sembari meminta maaf. Begitulah kejadian yang sering terjadi, dimana korban selalu meminta maaf kepada Si Pelaku. Sekian lama di perjalanan, akhirnya dia pun sampai. Dia pun berjalan masuk ke dalam rumah, lalu membaringkan tubuhnya di atas kasur. Rasa ngantuk mulai ia rasakan, kedua matanya secara perlahan mulai terpejam dan ia pun tertidur.

Bab berikutnya