webnovel

Kecewa

Sari memandang kosong ke arah kaca jendela mobil, perasaannya tak karuan, ia hanya bisa diam dan memendam kekecewaan ini sendiri.

Abra melirik Sari dari kaca kecil di depannya, ia tahu kalau Sari sedang tak baik-baik saja, namun ia juga berusaha menjaga sikapnya.

'sepertinya dia sedang kesal,' gumam Abra, ia risau gadis manisnya itu tak seperti biasa, walaupun Sari pendiam tapi bisa dibedakan kala ia sedang kesal atau tidak.

"Hai Sari," sapa seorang lelaki dengan pakaian rapinya. menyambut Sari turun dari mobil.

Sari yang memang lebih dahulu keluar dari mobil segera menghampiri lelaki yang memanggilnya tadi, "hai juga yud," Sari tersenyum padanya.

Sari terlihat akrab dengan lelaki itu, ia terlibat obrolan yang menciptakan gelak tawa Sari, Sari yang tadi hanya diam kini menjadi ceria. Keakraban Sari masih terlihat oleh Abra dibalik kaca hitam itu.

Ting.. 'besok kita ketemu ya,' pesan singkat itu dilirik oleh Sari.

Lelaki dengan kaos putih dan celana selutut santainya sudah menunggu Sari di tepi taman itu, Sari segera menghampirinya. Namun Sari tak menyapanya sama sekali.

"Kok diam saja," Abra membuka pembicaraan.

Sari masih diam, tak ingin semakin banyak orang di taman ini, Abra menggandeng tangan Sari menuju mobilnya.

"Kamu kenapa, Lagi kesal ya?" Tanya Abra lagi.

"Menurutmu?" Jawabnya singkat.

"Ehem.. kalo manyun gitu manisnya berkurang lho," goda Abra lagi.

"Biarin."

"Ehem.. jelek ahh manyun gitu senyum donk," Abra mencubit kedua pipi Sari.

"Iihh.. apaan sih mas, lepas.. sakit tau," ucap Sari manja.

"Ya habis kamunya cemberut terus," sahut Abra.

"Cewek mana sih yang gak cemberut, kalau kekasihnya bermesraan dengan temannya sendiri," kesal Sari.

Abra tersentak, ternyata Ica menceritakan kejadian kemarin di kolam renang. Abra segera menjelaskan kepada Sari apa yang sebenarnya terjadi, dan Sari pun percaya akan penjelasan Abra.

"Mas.. jangan bikin aku kecewa lagi," pinta Sari yang menyandarkan kepalanya ke pundak Abra.

"Iya mas janji, mas gak akan bikin kamu kecewa lagi," Abra mengelus lembut kepala Sari.

Kini mereka sudah saling menatap, entah kapan itu mulai kedua insan itu telah asyik bercumbu di dalam mobil milik Abra, Sari bahkan lupa akan penyesalannya dan tak ingat sama sekali akan pesan ibunya.

Sari tak sanggup menahan godaan yang Abra luncurkan bila bersamanya, ia dengan suka rela memberikan seluruh miliknya kepada laki-laki yang ia pikir cinta sejatinya.

Beruntung mobil Abra terparkir di lapangan yang sepi dan jauh dari keramaian, tanpa takut dan was-was mereka mengulang perbuatan dosa yang pernah mereka lakukan sebulan yang lalu.

Inilah kebodohan yang mengatasnamakan ketulusan cinta, pembuktian cinta, mereka termakan rayuan setan yang membawa pada kenikmatan dunia sesaat, tapi tidak bagi mereka yang sedang dikuasai birahi, melakukan apapun demi memuaskan birahi mereka.

"Kamu tidak menyesal kan memberikan ini padaku," tanya Abra tengah memakai kaosnya.

Sari menggeleng dan tersenyum, tak bisa dipungkiri Sari juga menginginkan Abra jadi tak ada sedikitpun paksaan dan penyesalan dilubuk hati sari.

"Kamu minum ini ya setiap kali kita habis gituan," Abra memberikan benda kecil yang berwarna putih.

Sari mengambilnya, dan membaca tulisan yang disisi kotak pipih tersebut 'pil kontrasepsi' itu yang tertulis di baris utamanya.

*Di kampung*

Prakkk… gelas beling jatuh dari tangannya, tangan yang sudah layu dan berkerut, ia memungut pecahan-pecahan gelas itu, entah mengapa ia teringat akan putrinya yang jauh disana, 'Sari.. semoga kamu baik-baik saja ya nak,' tetesan air bening itu mengalir menyusuri wajahnya yang kering dan menghitam di beberapa bagian.

"Bu.. bu ida," panggil seseorang di muka pintunya.

Ia segera menghapus air asin yang membasahi pipinya, segera ia berjalan menuju suara yang memanggilnya.

"Eh iya bu Ani, masuk bu."

"Wah tivi baru ya bu?" Tanya Ani melirik tivi hitam besar yang pipih berdiri manis diatas meja ruang tamunya.

Ibu Sari tersenyum, ia merasa bangga atas hasil kerja keras Sari yang bisa sedikit demi sedikit mengisi rumahnya dengan barang yang baru.

"Beruntung ya bu, Sari sudah bekerja jadi bisa kirim uang setiap bulannya."

"Iya, Sari itu memang anak yang baik, setengah gajinya selalu ia berikan ke saya bahkan kadang lebih," bu Sari memuji akan kebaikan anaknya.

"Tapi dia di kota kos ya bu?.. hati-hati bu, saya suka nonton itu penggerebekan di kosan di kota-kota, kadang mereka menyimpan lelaki dalam kosannya," bu ida bicara dengan mulutnya yang meliuk-liuk.

"Anak saya gak mungkin seperti itu, karena dia itu tinggal di asrama bersama karyawan yang lain." Jawab ibu Sari tegas.

"Oh.. ya bagus toh buk, zaman sekarang ini banyak sekali anak gadis yang hamil duluan akibat merantau jauh dari orang tua."

"Saya yakin Sari gak seperti mereka, dia itu anak yang pemalu dan jarang main keluar kalau bukan ada keperluan," ibu Sari meyakinkan dirinya.

"Iya bu, semoga Sari nanti dapat jodoh orang kaya ya bu, biar ibu bisa pindah dari rumah yang kecil ini," ujar bu Ani sedikit julid.

Ibu Sari hanya tersenyum, ia tak ingin terlalu melayani tetangganya yang memang julid dan hobi menggosip di kampung.

"Oh iya, bu Ani  ada perlu apa ya kemari?" Tanya ibu Sari.

Tetangganya nampak bingung saat mendengar pertanyaan itu, karena memang sebetulnya ia tak ada keperluan, hanya saja ia penasaran akan tivi baru yang ada di rumah Sari, dan ternyata tivi ibu Sari memang lebih besar dari miliknya.

Ia pun segera berdiri, "oh itu.. saya tadi habis dari sebelah bu, ya mampir aja dah lama ga liat ibu," perempuan yang memiliki porsi badan lebih itu segera meninggalkan ibu Sari.

'hemm kalo hobinya nge julidin hidup orang dari dulu, ya gak akan berubah,' desis ibu Sari melihat sinis tetangganya yang berjalan megal megol itu.

Perempuan yang setia dengan penutup kepala hitamnya itu bergegas ke dapur membereskan gelas yang berhamburan di lantai tadi.

Ada perasaan sedih terselip di hatinya, namun ia segera menepis perasaan itu, iya hanya kepikiran atas ucapan bu Ani tetangganya yang memang sering meremehkan pekerjaan dan penghasilan Sari di kota, makanya ia selalu mencari celah agar bisa mengusik ketenangan ibu Sari yang hidupnya tak sesusah dulu lagi.

'sari, mak menaruh harapan besar padamu, mak yakin kamu tidak seperti anak gadis lain, mak juga yakin kamu akan membuat bangga mak, sehingga mak tidak dipandang sebelah mata lagi di kampung ini, mak harap kamu tak akan membuat mak 'kecewa,' pinta ibu Sari dalam hati terbayang akan wajah putrinya yang sudah beberapa bulan ini tidak dilihatnya.

Bab berikutnya