webnovel

3

***

"Apa-apaan nilai mu ini, kau harus benar-benar dihukum, anakku.." seru suara ayah yang terdengar tenang.

Dan mencengkam.

Hikaru ingin berbicara sebelum, sebuah rasa sakit menyerbu wajahnya.

Tongkat yang dipakai ayahnya untuk memberikan pembelajaran, Tongkat yang terasa semakin sakit, saat Hikaru merasakan berteriak-teriak tanpa suara.

'Sakit..'

Namun, tidak akan berhenti.

'Sakit..'

Darah yang terasa merembes keluar tanpa paksa menghiasi tubuh Hikaru layaknya sebuah hadiah spesial, hadiah yang sama sekali tidak disukai Hikaru.

'Sakit...'

Tidak ada yang membantunya.

Hikaru sendirian. matanya terasa rabun oleh darah yang menghujani nya.

Berapa kali pun Hikaru memohon, Pukulan tidak akan berhenti, hingga ayah puas. Hikaru meringkuk dengan darah yang mengelilinginya, darah yang terasa panas berada di sekitarnya.

"Kau seharusnya mendengarkan ku, jika tidak ingin berakhir seperti ini!" seru ayahnya melemparkan tongkat yang dipakai nya sembarangan, tongkat yang jatuh di samping Hikaru berlapiskan darah merah miliknya, pemandangan terakhir yang dilihat Hikaru sebelum, dia benar benar tertidur dengan rasa sakit itu. rasa sakit yang perlahan terbiasa.

Pembiasaan yang mengerikan.

***

"Kakak.." panggil Hikaru, mencari keberadaan kakaknya yang tidak terlihat selama beberapa hari lamanya.

ibu menyuruhnya mencarinya.

Hikaru mendorong pintu dengan tangan kecilnya, Hikaru melihat ke sekeliling.

tidak ada siapapun.

Hikaru melangkah masuk, hingga dia mendapati sesuatu menyembul dari lemari kayu milik kakak yang terbuka.

"Apa ini..?" seru Hikaru, menunduk dan menarik kertas kertas aneh itu.

berlapiskan darah, membuat Hikaru tercekat. hingga sebuah suara terdengar, dan saat Hikaru berbalik.

Hikaru bisa melihatnya. kakaknya dengan wajah yang kini tersenyum, namun senyuman yang penuh dengan kebohongan belaka. bahwa dia sebenarnya tidak baik baik saja, kakak tidak pernah sekalipun baik baik saja.

"Kau melihatnya Hikaru?" tanya kakaknya seraya tersenyum, Hikaru hanya terdiam. terduduk di tempat.

Kakaknya terlihat berbeda.

terlihat mengerikan.

namun juga terlihat menyedihkan.

malam yang terasa begitu gelap, rembulan yang melihat dalam saksi bisu. hingga kakaknya mengeluarkan sebuah siletan dari tasnya, mendekat ke arahnya. dengan wajah memucat nya.

Hikaru ketakutan.

Hikaru sangatlah ketakutan.

Namun, Hikaru hanya bisa menerimanya lagi dan lagi tanpa bisa membalas.

Srek!

kakaknya keluar dengan wajah sumringah yang terlihat begitu bahagia.

"Aku baru saja bermain Ibu!" seru kakak nya, seraya tersenyum bahagia seolah mempertahankan kewarasannya.

Dibelakangnya, Hikaru beranjak keluar seraya mengukir senyuman palsu.

menahan rasa sakit yang membekas, di balik seragam yang dikenakannya.

"Wah anak yang pintar, kau memang adalah anakku!" seru ibunya tersenyum, senyuman yang lagi lagi kebohongan.

Padahal ibunya mengetahuinya.

dan mengabaikannya. Hikaru hanya tersenyum, merasakan malam yang terasa tidak berakhir. saat ibunya berbalik dan berjalan ke meja makan, kakaknya tersenyum tipis seraya mengarahkan silet yang digenggamnya ke arah pipinya hingga berdarah.

"Semuanya akan hilang, Hikaru.." seru Kakaknya.., berbisik pelan.., "Tolong kakak ya, dari semua kegilaan ini..." seru kakaknya seraya tersenyum pahit.

senyuman yang perlahan berdarah jika ada yang dapat melihatnya, senyuman yang membuat kakaknya merasakan penderitaan yang seakan memakannya.

Hikaru hanya terdiam, dan tidak lama tersenyum lebar lagi. senyuman yang menyembunyikan semua rasa sakitnya, dan semua kebohongan yang dilakukan, hanya Dengan sebuah senyuman.

"Iya..kakak, aku sayang kakak" seru Hikaru seraya tersenyum lebar yang entah sejak kapan menjadi bagian dari kebohongan yang selalu dilakukannya.

***

Hikaru didatangi ibunya di kamar saat jam istirahat, melihat Hikaru yang sedang bermain membuat ibunya merasa sangat marah. padahal selama hidupnya, dia tidak pernah bebas.

Ibunya membanting mainan Hikaru.

dan Hikaru hanya bisa diam, melihat mainannya yang hancur berantakan.

"daripada kau bermain hal buruk ini, lebih baik kau membantu ibu ya kan?" seru ibunya seraya tersenyum lebar.

Hikaru hanya diam, hingga ibunya memaksanya mengikutinya, dan lagi lagi membuat Hikaru tidak mengerti.

di depan banyaknya pelajaran.

Hikaru menatap ibunya yang kini sedang memasang senyuman lebar, senyuman arti yang memaksakan.

hasrat yang selalu terpendam.

"Kau tidak boleh kalah dari kakakmu ya, jika tidak..maka akan ada hukuman.."

Deg!

mendengar kata hukuman membuat Hikaru ketakutan, membayangkan bahwa dia akan di pukuli ayah, membuat Hikaru meninggalkan masa kecilnya yang seharusnya bahagia.

selalu belajar dan belajar.

diliputi rasa ketakutan mendalam.

melihat dalam diam, mainan-mainan nya yang perlahan dibuang, dan kamarnya yang kini begitu sepi tanpa adanya bagian dari masa kecilnya.

hanya buku dan buku.

membuat Hikaru merasa mual.

Kapan semuanya akan berakhir-?

***

hingga waktunya.

kakak dan Hikaru berdiri dengan jantung yang seakan-akan meledak.

seperti sebuah kompetisi. Namun bukan hal menyenangkan. bukan menanti hadiah. melainkan menanti sebuah akhir. siapakah yang pada akhirnya tidak akan beruntung-? siapakah yang pada akhirnya akan menerimanya-?

menanti hal yang sangat menyakitkan.

seperti memutar dadu kehidupan.

tidak ada yang menyukainya.

Ayahnya melihat ke arah hasil nilai mereka berdua, dan tersenyum entah kepada siapa. ayahnya mendekat, dan Hikaru hanya menunduk.

ketakutan.

hingga sebuah tepukan mengenai bahu nya, membuat Hikaru menengadahkan kepalanya melihat wajah puas ayah.

seperti sebuah permainan.

"Selamat Hikaru. kau akhirnya menjadi bagian dari keluarga sempurna.., dan kau.., kenapa kau bisa menurun?" tanya ayahnya dengan nada dingin yang sama, menatap ke arah kakaknya yang ada di sebelahnya dengan wajah pucat.

Hikaru bisa melihatnya, betapa rasa ketakutan merambat diri kakaknya sehingga rasanya seperti mau mati.

kakak seperti mayat hidup.

kakaknya tergagap. nafasnya terasa tersengal-sengal, Hikaru bisa melihat bagaimana kedua mata hitamnya gemetaran, mengecil mencari alasan dan berakhir tanpa adanya jawaban.

Hikaru melirik ke arah ayahnya, ayahnya tersenyum seperti sedang menanti.

seperti sengaja.

seperti puncak dari rantai makanan.

dan disini. Kami berdua yang adalah santapan, yang akan menanti kematian.

"kau ikut aku ke ruangan ku, Kakak.."

***

Bab berikutnya