webnovel

Beban Hidup

Malamnya, Ryan menelponku dan bertanya tentang Yash. Tanpa menutupinya lagi, aku menceritakan semuanya pada Ryan.

Namun, tadinya kupikir dia akan marah setelah mendengarku mengatakan perbuatan Yash padaku, wanita yang saat ini sebagai kekasihnya.

Akan tetapi, dia justru berbicara biasa saja. Malah kini dia merasa jika Yash memang pantas di gandrungi banyak wanita. Aaarght... Sial!

Aku lupa, mereka adalah sepasang sahabat. Sudah tentu dia akan membela sahabatnya, sampai detik ini aku selalu percaya. Persahabatan dua laki-laki memang jauh lebih berharga dan bisa setia di bandingkan dengan persahabatan dua wanita.

Terkecuali aku dan Keysa. Kuharap hubunganku dan Keysa akan terus bersama, saling mengeratkan dan menjaga juga melindungi satu sama lainnya.

"Amelie, apa kau sudah dengar kabar tentang Monalisa?" tanya nenek yang tiba-tiba menghampiriku yang sedang  menyimak drama musikal di tv.

Aku mengerutkan keningku, berpikir kabar apa yang nenek maksud tentang Monalisa. Oh Tuhan, mungkinkah itu tentang Yash?

"Aku tidak mau tau tentang kabar sepupuku yang satu itu, Nek!" jawabku mencetus.

"Eh, kamu ini! Dia itu sepupumu, seburuk apapun dia, dia tetap saudaramu."

Aku mengacuhkan omelan nenek dengan hanya tetap fokus ke arah tv saja.

"Ibunya bilang, dia diangkat menjadi asisten atasannya. Karena Monalisa sangat gigih dalam mengerjakan tugas-tugasnya, selain itu dia cantik dan juga tinggi, pandai berdandan."

"Tsk, cantik apaan? Modal tinggi doang," jawabku menggerutu.

"Nenek dengar ucapanmu barusan, Amelie! Harusnya kau malu, meskipun dia tidak kuliah tapi dia sudah bekerja. Sudah punya penghasilan sendiri, dia pintar, cantik dan rajin, maka itu dia begitu di sukai atasannya."

Huhft, rasanya memang jengah ketika nenek selalu memuji dan membandingkanku dengan Monalisa yang jujur kuakui dia memang sudah memiliki pekerjaan.

Kudengar, dia bekerja di sebuah perusahaan budidaya Khusus ekspor tanaman dan buah-buahan. Dan malamnya, dia masih bekerja membantu sang ibu dalam melayani para pelanggan di sebuah club malam milik ibunya.

Tanpa basa-basi atau menanggapi kembali bicara nenek barusan, aku segera melangkah hendak pergi ke kamarku.

"Apa kau tidak bosan, biaya kuliahmu sudah kami yang menanggungnya, ayah dan ibumu tidak peduli padamu. Setidaknya kau bekerja paruh waktu, jangan hanya diam diri di rumah saat senggang, makan tidur, kamu pikir kami tidak mengeluarkan banyak biaya untuk makan sehari-hari di rumah ini."

Sontak langkahku terhenti begitu mendengar nenek mengatakan hal yang tak terduga olehku. Tubuhku terasa gemetaran, batinku terkoyak seketika.

Apakah nenek benar-benar merasa terbebani oleh keberadaanku di rumah ini selama ini? Tapi kenapa baru sekarang mengatakannya? Bukankah di rumah ini bukan hanya aku yang menjadi pengangguran selain kuliah?

"Nek, apakah nenek juga sudah mengatakan hal ini pada Black? Bukankah dia juga menumpang di rumah ini jauh lebih lama dariku?"

"Jangan samakan kakakmu itu denganmu, saat ini dia sudah berusaha mencari pekerjaan. Zaman sekarang sangat sulit hanya dengan bermodalkan ijazah SMA saja."

"Cih, Nenek terdengar tidak adil! Dia laki-laki, sedang aku perempuan, Nek!"

"Kau sadar hal itu, Amelie. Jika kau menyadarinya lekaslah cari pendamping saja jika tidak ingin mencari kerja, agar kami tidak sia-sia membiayai kuliahmu itu." ucapan nenek sungguh-sungguh menusukku dengan tikaman yang teramat dalam saat ini.

"Nenek tidak adil!" bantahku setengah berteriak lalu melangkah masuk kamar seraya membanting pintu kamarku.

Aku menangis dengan berbaring di atas kasurku, aku menangis sekeras mungkin namun tetap saja. Aku berteriak dan menangis dengan posisi bantal menutupi wajahku saat ini.

Meski begitu, aku tetap tidak ingin semua orang tahu, semua orang mendengarnya, lalu nantinya akan mencemoohku di pagi hari ketika mendengar suara tangisaku akibat bertengkar dengan nenek kembali.

Aku sudah lama merasa rumah ini sungguh ajaib. Selalu bisa mendengar dan mengetahui hal apapun yang terjadi di rumah ini, terlebih jika itu tentangku.

Segera kuhentikan tangisanku. Kuraih ponselku untuk melakukan panggilan telepon pada ibu. Sudah lama kami tidak saling berkomunikasi sejak ibu dan ayah memilih cara bercerai untuk mengakhir semua penderitaan yang ibu alami sebagai korban kekerasan dalam rumah tangga.

"Bu, apa kabar?"

"Baik, ada apa? Tumben kamu nelpon ibu, Nak?"

Aku terdiam sejenak, apa yang harus aku lakukan untuk memberikan jawaban pada ibu.

"Emh, tidak. Aku hanya rindu ibu saja."

"Maafkan ibu belum bisa mendatangimu, ibu sedang hamil besar dan sebentar lagi kau akan segera memiliki seorang adik. Kau pasti senang, 'kan?"

Yah, lagi dan lagi. Aku hanya bisa menahan seluruh perasaan burukku di saat ini, mendengar suara ibu yang tampaknya bahagia saat ini, setelah mengandung anak kedua, tentu beliau sangat bahagia, aku tidak mau merusaknya.

"Hem, iya. Aku senang, ya sudah, Bu. Istirahatlah, maaf mengganggu malam-malam begini. Aku hanya ingin memastikan kabar ibu saja."

"Ibu baik-baik saja, Nak. Baiklah, kau juga tidur, istirahat, ya!"

Klik!

Panggilan berakhir. Yah, hanya seperti itu. Hubunganku dan ibu hanya sebatas bertanya kabar setelah ayah dan ibu bercerai.

Sejujurnya, aku rindu kebersamaan dengan ibu dan menikmati masakan ibu. Akan tetapi, aku malah hanya bersikap canggung dan begitu malu menyampaikan apa yang sedang kualami saat ini.

Huh, jika untuk mencari pekerjaan saat ini. Aku masih kuliah, jadi sepertinya aku tidak bisa mencari pekerjaan yang baik dan bisa memperbaiki keuanganku sendiri tanpa mengemis pada nenek dan kakek.

Aaarght...

Lagi dan lagi, aku berbaring di atas kasur. Ini sungguh mengerikan, bagaikan mimpi burukku saja.

Ayolah, Amelie. Putar otakmu, kau harus mempersiapkan diri untuk mencari pekerjaan paruh waktu, untuk menghasilkan uang untuk segala kebutuhanmu di rumah juga di segala kegiatan dan biaya di kampus.

Otakku seakan buntu diajak berpikir tentang ucapan yang nenek katakan tadi. Aku membecinya, aku ingin marah saja.

Bab berikutnya