"Entalah, Vi. Kepalaku pusing memikirkan hal itu." Andin membuang napas panjang. "Tidurlah. Ini sudah larut." Diliriknya jam dinding pukuk dua belas malam. "Aku juga mau istirahat. Sampai ketemu besok," katanya lemas.
"Kau yakin baik-baik saja, Ndin?"
Andin tersenyum hambar. "Aku baik-baik saja, Vi. Kau tenang saja. Selamat malam."
"Malam. Kabari aku kalau ada apa-apa."
"Iya, terima kasih. Bye."
Tut... Tut...
Setelah menutup panggilannya Andin menatap ponselnya. Ia mengotak-atiknya galeri dan mencari foto dirinya bersama Tommy. Dilihatnya foto mereka waktu ulang tahun Tommy yang ke tujuh belas tahun. Senyum manis pun terulas di wajahnya yang cantik. "Apa kau juga merindukanku, hah?" katanya pelan. Tiba-tiba air matanya menetes. Dalam hati ia ingin sekali mengirim pesan ke Tommy untuk menyampaikan rindunya, tapi egonya mengatakan tidak. "Tidak, aku harus terlihat tegar! Aku harus menyambutnya besok. Dia harus dihukum." Andin tertawa kecil kemudian membalikkan badannya lalu berjalan menuju ranjang. Jika tadi perasaannya diliputi kekhawatiran karena takut Tommy akan menolak atau semacamnya, kini perasaannya kembali senang karena sahabat yang dirindukan dan dicintainya selama ini akan kembali. Ia akan bertemu kembali dengan Tommy Fabian.
***
Keesokan hari saking semangatnya karena tahu Tommy akan pulang hari ini, Andin bangun pagi-pagi sekali. Ia berolahraga dan membantu sang Bibi untuk membersihkan rumah. Hal yang paling tidak pernah dilakukan Andin selama hidupnya dan hal itu membuat si Bibi terheran-heran.
"Aneh. Tumben-tumben Non Andin mau membantuku," kata Bibi dalam hati. Dilihatnya Andin sedang menyapu di ruang tamu. Meski cara menyapunya membuat Bibi tertawa, tapi ia bangga karena akhirnya Andin mau juga memegang sapu. Dan ini kali pertama bagi Andin selama hidupnya. "Non, biar bibi saja."
"Tidak apa-apa, Bi. Sekaligus aku ingin membiasakan diri sebelum aku menikah."
Bibi terkejut. "Non Andin mau menikah? Kapan, Non? Dengan siapa?"
Andin menghentikan aktivitasnya lalu tertawa. "Tidak, Bibi. Kan aku sudah dewasa. Sebentar lagi aku pasti akan dilamar. Jadi, tidak ada salahnya dong kalau dari sekarang aku belajar bagaimana mengurus rumah." Ia kembali menggerakkan sapunya pelan dengan menggunakan satu tangan.
"Non, Andin serius?" tanya Bibi dengan mimik wajah cemerlang. "Wah, Tuan pasti senang mendengarnya. Kapan, Non? Kapan Non akan dilamar?"
Andin melepaskan sapunya dan menggeleng-gelengkan kepala sambil tersenyum lebar. "Ya ampun, Bi, aku belum mau menikah. Aku juga tidak akan di lamar. Aku bilang kan nanti. Doakan saja, Bi, semoga ada lelaki baik hati yang mau melamarku." Andin menahan tawa lalu meninggalkan bibi yang kini menatapnya bingung. Ia terkikik membayangkan dirinya akan dilamar Tommy dan menjadi ibu rumah tangga seperti bibi yang setiap hari harus membersihkan rumah dan menyiapkan makanan untuk suaminya. Meski ngeri membayangkan semua tugas rumah tangga itu, tapi memikirkan Tommy sebagai suaminya membuat Andin jadi semangat untuk melakukan tugas-tugasnya.
***
Setelah mandi dan membersihkan diri, Andin bersiap-siap untuk ke kampus. Diliriknya jam tangan yang sudah menunjukan pukul tujuh pagi. Pagi ini Andin harus menerima kenyataan bahwa dirinya akan sarapan sendirian. "Bi, Papa mana?" tanya Andin ketika melihat ruang makan tidak ada siapa-siapa selain peralatan makan dan menu yang sudah disiapkan sang pengurus rumah untuknya.
"Tuan sudah pergi, Non. Pas Non Andin sedang mandi, Tuan pamitan akan ke bandara menjemput Pak Charles dan Om Harry. Oh iya, Tuan juga menyampaikan bahwa Tuan minta maaf karena tidak bisa sarapan bersama Non Andin."
"Tidak masalah, Bi. Kan ada Bibi. Ayo, Bi, temani aku sarapan."
Bibi pun menurut. Selain menemani Andin sarapan, makan siang, dan makan malam, Bibi juga sering menemani Andin di rumah dan setia mendengar curhatannya. Sejak kematian ibunya Andin, Bibi sudah menganggap gadis itu seperti anaknya sendiri. Meski enggan, Bibi bahkan selalu menemani Andin tidur jika itu yang dia mau.
Setelah selesai sarapan, Andin pun berpamitan untuk ke kampus. Tibanya di kampus ia langsung mencari Jovita dan menceritakan kebahagian yang dirasakannya sejak semalam dan sampai saat ini. Gadis yang berbeda jurusan dengannya itu pun ikut bahagia. Tapi hari ini ia merasa Andin sedikit berbeda. Dalam hati ia berpikir, "Apakah sepengaruh ini Tommy terhadap Andin?" Selama ini mereka selalu tertawa bersama, melakukan hal gila yang membuat mereka kegirangan, tapi ekpresi Andin tidak sebahagia sekarang ini. Meski tidak seantusias seperti yang dibayangkan, tapi senyum lembut Andin mampu meyakinkan Jovita bahwa dirinya benar-benar bagaia. "Aku jadi penasaran, seperti apa wujud Tommy Fabian sampai-sampai bisa mengubah membuat Andin sebahagia ini?" ucapnya dalam hati.
"Oh, Vi, aku harus menghukumnya. Aku harus menghukumnya seperti dulu dia menghukumku dengan ciuman. Jadi, aku akan menghukumnya juga dengan ciuman."
Perkataan terakhir Andin membuyarkan Jovita dari lamunannya. "Eh... Apa? Ci-ciuman?"
"Iya. Tempo hari dia menghukumku dengan mencium bibirku karena aku mengerjainya. Jadi kali ini, aku akan menghukumnya dengan tindakan yang sama karena sudah meninggalkanku selama tujuh tahun. Toh itu juga sudah cukup sebagai alasan bahwa aku menyukainya."
"Setuju. Aku setuju. Tapi...." Jovita menatap skeptis. "Apa kau berani? Secara tujuh tahun yang lalu berbeda dengan sekarang, Ndin."
"Tentu saja aku berani. Bagiku, sebelum dan sesudah tujuh tahun, aku tetap mencintainya, Vi. Aku mencintainya. Andin Azkia mencintai Tommy Fabian."
Usai jam kampus pukul tiga sore, Andin mengajak Jovita ke salon. Mereka melakukan facial juga hair mask. Selain itu Andin juga melakukan meni-pedi untuk mempercantik kuku kaki dan tangannya. Setelah memakan waktu sudah hampir tiga jam di dalam salon, Andin mengantar Jovita pulang ke rumahnya lalu mempir ke sebuah toko. Ia membeli kue bolu sebagai tambahan untuk makan malam mereka nanti.
Dalam perjalanan ia selalu mengecek dirinua dari kaca spion, kalau-kalau rambut atau make-upnya berantakan. Merasa dirinya sangat cantik, Andin menambah kecepatan mobilnya ketika diliriknya waktu sudah hampir pukul tujuh malam.
Drtt... Drtt...
Ponselnya berdering. Dilihatnya "Papa is Calling" Andin pun langsung tersenyum lebar karena tahu maksud dan tujuan Ferry menghubunginya. Ia melambatkan laju mobiknya dan menggeser logo berwarnah hijau itu untuk menyambungkan panggilan. "Halo, Pa?"
"Kamu di mana, Nak?" tanya Ferry dari seberang telepon.
"Aku sudah di jalan, Pa. Tadi aku ke salon dulu lalu mampir beli kue di Menk's Bakery. Ini aku sudah dekat kok, Pa."
"Ya sudah, hati-hati. Mereka semua sudah berkumpul. Tommy juga ada. Dia menanyakanmu."
Mata Andin cemerlang. "Benarkah?" tanyanya dalam hati. "Tommy menanyakanku?" Hatinya gembira. "Baik, Pa. Lima menit lagi aku sampai."
Tut... Tut...
Andin memutuskan panggilannya. Tanpa memperdulikan ponsel yang dilemparkannya ke tempat duduk samping, Andin pangsung menginjak pedal gas dan memacu mobilnya menuju rumah.
Sesuai janjinya kepada Ferry, Andin bahkan sampai tak sampai lima menit sudah tiba di rumahnya. Ia memasuki halaman rumah dan mengedarkan pandangan ke halaman. Dilihatnya mobil Tommy dan mobil Charles. Dahi Andin berkerut bingung. "Tommy nyetir sendiri?" tanyanya pelan. Ia pun segera memarkir mobilnya ke dalam garasi. "Mungkin mobilnya dipakai keluarga Om Harry," katanya lalu mengambil kue yang ada di kursi belakang kemudian dengan tergesa-gesa ia memasuki rumah. Hatinya sungguh bahagia. Raut wajahnya bahkan tidak sebahagia ini. Ia akan kembali bertemu Tommy setelah tujuh tahun terpisah. "Oh, Tommy, aku datang."
Continued___