MOHAMMED'S WIVES (Part-7)
Kisah yang diriwayatkan Aisyah berlanjut:
"Sementara orang-tua saya duduk dengan saya dan seorang wanita Ansari minta ijin pada saya untuk masuk, saya mengijinkannya masuk. Ia masuk, dan duduk dan mulai menangis bersama saya. Ketika kami sedang menangis, datanglah Rasulullah, memberi salam pada kami lalu duduk. Belum pernah ia duduk dengan saya sejak hari munculnya fitnah itu. Sebulan telah berlalu dan tidak ada Wahyu Ilahi yang turun padanya mengenai masalah saya."
"Kemudian Rasulullah membaca Tashahhud (yaitu, La ilaha illallah wa anna Muhammad-ur-Rasulullah – tidak ada yang lain yang dapat disembah selain Allah dan aku Muhammad adalah Rasul Allah) dan kemudian berkata, 'Amma Ba'du' (sekarang langsung ke masalahnya), Wahai Aisyah! Aku telah diberitahu begini-begitu mengenai engkau; jika engkau tidak bersalah, maka segera Allah akan menyatakan ketidakbersalahanmu, dan jika engkau telah melakukan suatu dosa, maka bertobatlah kepada Allah dan mintalah pengampunan dari-Nya, karena jika seseorang mengaku dosa-dosanya dan meminta pengampunan dari Allah, maka Allah menerima pertobatannya."
Sejak itu Aisyah mulai bangkit melawan para penuduhnya (termasuk melawan Ali), bahkan ia mengutip Qur'an sebagai pembelaannya:
"Ketika Rasulullah menyelesaikan perkataannya, airmataku benar benar berhenti dan tidak ada setetes pun yang tertinggal. Aku berkata kepada ayahku, 'Jawablah Rasulullah untukku mengenai apa yang dikatakannya. 'Ayahku berkata, 'Demi Allah, aku tidak tahu apa yang harus kukatakan kepada Utusan Allah'. Kemudian aku berkata kepada ibuku, 'Jawablah Rasulullah untukku mengenai apa yang dikatakannya'. Ia berkata, 'Demi Allah, aku tidak tahu apa yang harus kukatakan kepada Utusan Allah."
"Tanpa mempedulikan kenyataan bahwa aku hanyalah seorang perempuan muda dan hanya mempunyai sedikit pengetahuan mengenai Qur'an, aku berkata 'Demi Allah, tidak diragukan lagi kalau aku mengetahui bahwa kamu telah mendengar perkataan (yang penuh fitnah) ini sehingga sudah tetaplah dalam pikiranmu dan kamu telah menganggapnya sebagai sebuah kebenaran. Sekarang, jika aku mengatakan padamu bahwa aku tidak bersalah, kamu tidak akan mempercayaiku, dan jika aku membuat pengakuan palsu bahwa aku bersalah, dan Allah mengetahui bahwa aku tidak bersalah, tentu kamu akan mempercayaiku'. Kemudian aku berpaling ke sisi lain tempat tidurku, berharap bahwa Allah akan membuktikan ketidakbersalahanku."
Dan menurut Aisyah, Allah langsung melakukan keinginan atas harapannya:
"Demi Allah, Rasulullah tidak bangkit berdiri dan tidak seorangpun meninggalkan rumah itu sebelum Wahyu Ilahi turun kepada Utusan Allah. Lalu, ia dikuasai keadaan yang biasa menguasainya (ketika ia menerima wahyu). Keringat bercucuran dari tubuhnya seperti mutiara, walaupun hari itu dingin dan itu disebabkan oleh beratnya pernyataan yang sedang dinyatakan kepadanya. Setelah keadaan itu berlalu, Rasulullah bangkit berdiri dan tersenyum, dan kata pertama yang diucapkannya adalah, 'Wahai Aisyah! Allah telah menyatakan ketidakbersalahanmu!"
[Sahih Bukhari, buku 5, vol 64, no 4141]
[Catatan: Kalau memang Muhammad bisa berkomunilasi kepada Tuhan atau kepada Malaikat lewat wahyu tentang ketidakbersalahan Aisyah. Kenapa Muhammad harus bertanya kepada Ali, Usama bin Zayd dan bertanya kepada budak perempuan Aisyah?]
Inilah ayat-ayatnya, (An-Nuur, 24 ;11-16):
11. Sesungguhnya orang-orang yang membawa berita bohong itu adalah dari golongan kamu juga. Janganlah kamu kira berita bohong itu buruk bagi kamu. Tiap-tiap seseorang dari mereka mendapat balasan dari dosa yang dikerjakannya. Dan siapa diantara mereka yang mengambil bahagian yang terbesar dalam menyiarkan berita bohong itu, baginya azab yang besar.
12. Mengapa diwaktu kamu mendengar berita bohong itu orang-orang mu'minin dan mu'minat tidak bersangka baik terhadap diri mereka sendiri, dan (mengapa tidak) berkata ; "Ini adalah suatu berita bohong yang nyata."
13. Mengapa mereka (yang menuduh itu) tidak mendatangkan empat orang saksi atas berita bohong itu? Oleh karena mereka tidak mendatangkan saksi-saksi maka mereka itulah pada sisi Allah orang-orang yang dusta.
14. Sekiranya tidak ada karunia Allah dan rahmat-Nya kepada kamu semua di dunia dan di akhirat, niscaya kamu ditimpa azab yang besar, karena pembicaraan kamu tentang berita bohong itu.
15. (ingatlah!) di waktu kamu menerima berita bohong itu dari mulut ke mulut dan kamu katakan dengan mulutmu apa yang tidak kamu ketahui sedikit juga, dan kamu menganggapnya suatu yang ringan saja. Padahal dia pada sisi Allah adalah besar.
16. Dan mengapa kamu tidak berkata di waktu mendengar berita bohong itu: "Sekali-kali tidaklah pantas bagi kita memperkatakan ini. Maha Suci Engkau (Ya Tuhan kami), ini adalah dusta yang besar."
Konsekwensi dari kisah ini:
Konsekuensi logis bagi yang mengedepankan akal sehat, menimbulkan banyak pertanyaan. Tentu saja Muhammad mencintai Aisyah, dan Aisyah benar-benar lega ketika wahyu mengenai ketidakbersalahannya tertuang dalam Al-Qur'an. Tapi di sini, seperti juga dalam kasus Zaynab dan Maria Quptiyah, nampaknya seakan-akan Allah mengkhususkan Qur'an untuk kepentingan dan kehidupan pribadi Nabi-Nya, termasuk masalah keluarga dan kehidupan seksualnya (ketika mengawini Zaynab dan menyetubuhi Maria).
Selayaknya kitab suci itu adalah berita universal yang dapat diaplikasikan oleh semua orang pada segala zaman, waktu dan tempat, tanpa pengecualian demi kepentingan orang per orang, termasuk kepentingan subjective nabi. Bahkan membuat Aisyah sendiri terheran-heran:
"Tetapi demi Allah, aku tidak mengira kalau Allah, (akan menyatakan ketidakbersalahanku), menurunkan Wahyu ilahi yang kemudian dibacakan, karena aku menganggap diriku sangat tidak penting untuk dibicarakan Allah melalui Wahyu ilahi yang dibacakan, tapi aku berharap bahwa Rasulullah mendapatkan mimpi yang melaluinya Allah menyatakan ketidak bersalahanku."
[Sahih Bukhari, vol 9, buku 97, no 7500]
Sudah tentu, banyak orang lain juga terheran-heran mengenai hal ini selama berabad-abad. Dan tentu saja dalam kasus ini, seperti juga kasus Zaynab, ada pembenaran yang telah ditetapkan melampaui hasrat Muhammad; Orang-orang Islam diperbolehkan melalui kisah Zaynab bahwa seorang pria muslim dapat menikahi janda cerai dari anak angkatnya – tak peduli betapa janggalnya hal itu sehingga diperlukan adanya pengesahan mengenai perkara ini kapan saja karena masuk dalam Qur'an.
Konsekuensi dari kisah Zaynab adalah melemahnya adopsi dalam budaya Arab khususnya Islam setelah itu (padahal mengadopsi anak yatim dan dijadikan seperti anak sendiri adalah suatu perbuatan yang sangat baik). Oleh sebab Muhammad ingin menikahi Zaynab, maka Zayd tidak lagi dikenal sebagai "Zayd bin Muhammad", tapi sebagai Zayd bin Haritha, yaitu nama dari ayah kandungnya. Untuk itu Muhammad mempersiapkan ayatnya;
"Panggillah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka; itulah yang lebih adil pada sisi Allah..." (Al-Ahzab, 33 ; 5).
Tuduhan-tuduhan terhadap Aisyah memunculkan persyaratan bahwa 4 saksi pria muslim harus dihadirkan untuk menentukan sebuah kejahatan perzinahan. Dalam kasus tingkah-laku seksual yang tidak pantas, 4 saksi pria wajib dihadirkan – berdasakan wahyu yang katanya datang kepada Muhammad untuk membebaskan dari tuduhan terhadap istrinya yang masih muda. Dan oleh karena perkataan Aisyah tidak berarti apa-apa untuk menentukan kepalsuan tuduhan-tuduhan padanya, demikian pula hingga hari ini hukum Islam meremehkan validasi kesaksian seorang wanita terutama dalam kasus-kasus yang melibatkan immoralitas seksual.
Lucunya Qur'an juga berkata:
"...Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki di antaramu. Jika tak ada dua orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridai, supaya jika seorang lupa maka seorang yang lain mengingatkannya..." (QS. 2: 282).
Ini ayat-ayat yang kontradiktif. Dalam QS, 24:13 disebutkan bahwa saksinya adalah 4 orang, tapi dalam ayat QS, 2:282 berbeda lagi. Jadi sebenarnya harus menghadirkan saksi berapa orang? 2, 3, 4? Adakah ketentuan tergantung kasusnya..?
Juga para pakar teori hukum fikih Islam telah meremehkan kesaksian wanita bahkan lebih jauh lagi hingga membatasinya, seperti dalam kalimat sebuah buku panduan hukum seorang Muslim, "kasus-kasus yang melibatkan properti, atau transaksi-transaksi berkenaan dengan properti, seperti penjualan. Selain daripada itu hanya pria yang boleh bersaksi". [Ahmed Ibn Naqib al-misri, Reliance of the Traveller ('Umdat al-Salik): A Classic Manual of Islamic Sacred Law. Amana Publications, 1999, o24.8]
Akibatnya, hingga saat ini sangat tidak mungkin untuk membuktikan kasus pemerkosaan di negeri yang mengikuti hukum syariah. Pria mana saja dapat melakukan pemerkosaan dan lolos dari jerat hukum: jika mereka menyangkali tuduhan itu dan tidak ada saksi, mereka dapat melenggang bebas, karena penuturan si korban tidak dianggap. Lebih buruk lagi, jika seorang wanita menuduh seorang pria telah melakukan pemerkosaan, akhirnya dialah yang bisa dituduh sebagai penjahatnya bila tidak ada saksi pria yang dapat dihadirkan. Gugatan si korban tentang perkosaan akan berubah menjadi kasus perzinahan. Ini menegaskan kenyataan menyedihkan yaitu sebanyak kasus di penjara wanita-Pakistan, mereka dipenjarakan karena telah melakukan kejahatan yaitu; menjadi korban perkosaan.
[Sisters in Islam, "Rape, Zina, and Incest," April 6, 2000/muslimtent/sisterinislam]
Beberapa kasus besar di Nigeria juga berkisar pada tuduhan perkosaan yang diputarbalikkan oleh pihak otoritas menjadi tuduhan percabulan, yang menghasilkan hukuman mati, yang baru kemudian dimodifikasi setelah adanya tekanan dunia internasional. Lebih jauh lagi, pelecehan semacam itu sangatlah resistan terhadap kritik dan human right, tetapi anomali terhadap sunnah yang berdasarkan pada teladan Nabi, yang katanya teladan sempurna bagi tingkah-laku manusia sepanjang masa.
4. HINDUN BINT ABU UMAYAH (Umm Salamah)
Hindun adalah janda dari Abu Salamah yang memiliki 4 orang anak. Abu Salamah sendiri meninggal di tahun 4 H. Setelah menjanda banyak pria yang ingin meminang Hindun diantaranya adalah Abu Bakar dan Umar. Namun pinangan kedua pria ini ditolak oleh Hindun. Kemudian barulah Muhammad mengajukan pinangan yang diterima oleh Hindun. Pernikahan dilaksanakan bulan syawal tahun 4 H. Hindun meninggal sekitar tahun 59 H dalam usia 84 tahun. Namun sumber Encyclopedia Wikipedia menyebutkan bahwa Hindun lahir sekitar tahun 596 M.
Sumber: wikipedia. Hind bint Abi Umayya (c. 596 - 680), also called as Umm Salama (Mother of Salama).
Jika ini benar berarti saat dinikahi Muhammad ditahun 4 H, Hindun berusia; 626 – 596 = 30 tahun. Jadi dia berumur 30 tahun (bukan berumur 36 tahun, menurut banyak riwayat) dan Muhammad berusia 56 tahun ketika mereka menikah. Fakta bahwa banyak pria ingin menikahi Hindun adalah karena dia wanita yang cantik.
Menurut Abbas Jamal, hal 47; Ummu Salamah ini disamping cantik, cerdas orangnya, cekatan dalam banyak hal, berwibawa dan mempunyai wawasan berpikir yang luas. Makanya tidak heran kalau Abu Bakar, Umar dan Muhammad pun ngiler melihat kecantikan Hindun. Dia berumur lebih panjang dari semua istri-istri Muhammad. Meninggal diumur 84 tahun.
Bersambung.....