MOHAMMED'S WIVES (part 3)
Seorang narcisis yang diabaikan adalah seorang penyendiri. Tetapi ketika diberikan kepadanya peluang mendapatkan kekuasaan dan memiliki sejumlah pengikut maka ia akan bermetamorfosis menjadi tokoh kultus. Muhammad menekankan pentingnya ayat-ayat kitab suci yang ia klaim sebagai wahyu dari Tuhan. Ia mendorong para pengikutnya untuk menghafal dan melagukannya, seperti cara orang-orang Yahudi melantunkan kitab suci mereka.
Muhammad memulai gaya bahasa Qur'annya dalam gaya prosa ber-irama. Jenis penulisan seperti ini diyakini masyarakat pra-islam sebagai bahasa ilahiah. Sebenarnya ini adalah gaya bahasa para kahin (para peramal), dengan berisi sumpah-sumpah demi ini dan demi itu. Coba perhatikan berapa banyak ayat-ayat Qur'an dimana Allah bersumpah demi malam, demi siang, demi bintang, demi bulan, dll. Manusia bersumpah demi yang lebih tinggi darinya, tapi mungkinkah Tuhan ikut bersumpah demi yang lebih rendah dariNya, yaitu demi benda-benda langit ciptaanNya sendiri..?
Itulah sebabnya ketika Muhammad mulai mengungkapkan ayat-ayatnya, warga Mekah menudingnya sebagai seorang penyair gila atau seorang kahin. Tudingan ini disampaikannya sendiri melalui klaim firman Tuhannya;
"Apakah sesungguhnya kami harus meninggalkan sembahan-sembahan kami karena seorang penyair gila?" (QS 37:36).
"Dia adalah seorang penyair yang kami tunggu-tunggu kecelakaan menimpanya." (QS 52;30).
Kemudian tudingan tersebut menurut Muhammad dibantah oleh Allahnya;
"Dan kami tidak mengajarkan syair kepadanya (Muhammad) dan bersyair itu tidaklah layak baginya. Al-Qur'an itu tidak lain hanyalah palajaran dan kitab yang memberi penerangan.." (QS 36:69).
"Dan Al-Qur'an itu bukanlah perkataan seorang penyair. Sedikit sekali kamu beriman kepadanya.." (QS 69:41).
Gaya berbicara seperti ini telah populer dizaman itu dan dihubungkan dengan bahasa wahyu berkat para penyair dan pendongeng bardic yang berkeliling melantunkan epos Homeric. Menulis balada ke dalam ayat-ayat berirama yang ekspresif membutuhkan beberapa persiapan. Para penyair jarang berimprovisasi. Mereka merancang pekerjaan mereka secara pribadi sebelum tampil di depan umum. Hal ini diperlukan di awal-awal karena bagi nabi baru ini kata-katanya merupakan senjata satu-satunya.
Sajak-sajak dalam Qur'an-Mekah juga dapat dilihat sebagai pengaruh dari syair Zayd ibn Amr. Muhammad meninggalkan gaya penulisan berirama setelah ia berada di Madinah dan mendapati bahwa teror merupakan instrumen yang lebih ampuh untuk memperoleh kekuasaan. Sehingga ayat-ayat Madinah tidak lagi ber-irama.
Setelah memulai khotbah-khotbahnya dan memperoleh beberapa orang pengikut, inspirasinya tentang wahyu berhenti, seiring dengan penolakan pemuka-pemuka Quraish terhadap agamanya dan status kenabiannya. Berhentinya "wahyu" ini juga sulit bagi Khadijah, dimana ia telah menyatakan harapannya bahwa suaminya akan menjadi nabi bagi orang-orang Mekah. Mereka telah mengumumkan berita itu ke pelosok negeri. Mereka akan menghadapi rasa malu dan cemooh.
Untuk mengungkapkan kekecewaannya Khadijah berkata kepada Muhammad, "Aku rasa Tuhan telah membencimu." Ini pasti merupakan saat yang sulit bagi pasangan tersebut, khususnya bagi Muhammad yang menyatakan bahwa ia sampai mempertimbangkan untuk bunuh diri. Tapi Orang-orang seperti Muhammad menganggap dirinya terlalu berharga, terlalu penting untuk mati. Yang harus ia lakukan adalah mengklaim bahwa ia telah menerima wahyu baru dan semuanya akan baik-baik saja. Lagipula, ia telah menerima konfirmasi dari beberapa pengikut yang percaya bahwa ia adalah utusan Allah.
Percakapan pemberi semangat berikut mungkin merupakan salah satu dari wahyu penghibur diri setelah masa kevakuman yang dibuat Muhammad dalam menanggapi keprihatinan Khadijah;
Adh-Dhuha (QS 93;1-8):
(1) Demi waktu matahari sepenggalan naik,
(2) dan demi malam apabila telah sunyi,
(3) Tuhanmu tiada meninggalkanmu dan tiada (pula) benci kepadamu
(4) dan sesungguhnya akhir itu lebih baik bagimu dari permulaan
(5) Dan kelak Tuhanmu pasti memberikan karunia-Nya kapadamu, lalu (hati) kamu menjadi puas
(6) Bukankah Dia mendapatimu sebagai seorang yatim, lalu Dia melindungimu
(7) Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang bingung, lalu Dia memberikan petunjuk.
(8) Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang kekurangan, lalu Dia memberikan kecukupan.
Bila kita simak narasinya, sebenarnya siapakah yang berbicara dalam ayat-ayat tersebut? Ayat-ayat itu jelas menunjukan bahwa yang berbicara adalah orang (sosok) ketiga. Jika sosok ketiga itu adalah malaikat, maka al-Qur'an bukan firman Tuhan secara verbatim! Jika sosok Jibril adalah khayalan Muhammad, maka al-Qur'an adalah karangan Muhammad. Simak Ayat 1 dan 2 pada surah diatas, itu adalah kalimat pembuka yang selalu digunakan dalam gaya Bahasa para penyair dan kahin (peramal), dimana kalimatnya selalu diawali dengan sumpah-sumpah demi benda-benda langit atau alam sekitar.
"Pengumuman Kenabian Secara Terbuka"
Sekitar tiga tahun setelah Khadijah meyakinkan suaminya bahwa dia adalah seorang nabi yang dikunjungi Jibril dalam pengalaman halusinasi pertamanya di gua hira, dan sesudah memiliki segelintir pengikut. Muhammad berpikir sudah saatnya untuk mengembangkan agamanya. Untuk itu ia memanggang seekor kambing dan mengundang para kerabatnya datang ke perjamuan.
Ada sekitar empat puluh orang (paman dan sepupu, termasuk Abu Lahab) yang datang. Setelah mereka makan, Muhammad berbicara dengan mereka; "Wahai anak-anak dari Abdul Muttalib. Aku tidak kenal seorang Arab pun yang datang kepada kaumnya dengan pesan yang lebih mulia daripada aku. Aku membawakan bagimu yang terbaik dari dunia ini dan yang akan datang. Allah telah memerintahkan aku untuk memanggilmu kepada-Nya. Jadi siapa di antara kamu yang akan bekerjasama denganku dalam hal ini?" Abu Lahab berkata, "Apakah kamu mengumpulkan kami di sini hanya untuk ini?"
Muhammad ingin orang-orang percaya kepadanya tanpa ia harus memperlihatkan bukti apapun tentang klaim kenabiannya. Dan satu-satunya pesan yang pernah ia sampaikan adalah bahwa ia seorang nabi utusan Allah. Hanya klaim tersebut itulah yang sekaligus menjadi bukti dan juga pesan.
Menurut Ibnu Ishaq, ketika para tamu tidak memberikan respon maka Ali, sepupunya yang paling muda (ketika itu usianya baru sekitar 12 tahun), bangkit berdiri dan berkata; "Wahai nabi Allah, aku akan menjadi penolong anda dalam hal ini." Muhammad lalu meletakkan tangannya di punggung Ali dan berkata; "Ini adalah saudaraku, pelaksana dan penerusku di antara kamu. Dengarkan dan patuhilah dia." Orang-orang itu berdiri sambil tertawa dan mengatakan kepada Abu Thalib dengan cibiran; "Lihat, Ia telah memerintahkan kamu untuk mendengarkan dan mematuhi anakmu sendiri..!"
Kaum muslim tidak bisa menceritakan kisah tentang nabi mereka tanpa membumbuinya dengan cerita mukjizat. Sehubungan dengan kisah ini, penulis biografinya mengklaim bahwa Muhammad menyuruh Ali menyiapkan makanan bagi para tamu. Ali hanya memasak sedikit makanan saja. Ketika makanan itu disajikan, Muhammad mengambil sepotong daging kambing, menggigitnya dan melemparkannya kembali ke baki dan makanan itu menjadi berlipat ganda. Kemudian para tamu makan dari baki itu sampai kenyang, tetapi makanannya tampak seakan-akan tidak tersentuh.
Logikanya, bagaimana mungkin bagi semua orang yang menyaksikan keajaiban yang menakjubkan seperti ini tapi mereka masih tidak percaya juga pada Muhammad? Bahkan Qur'an sering mengatakan bahwa mereka yang tidak percaya adalah orang-orang bodoh yang keras kepala, sebab telah mengingkari kenabian Muhammad. Tapi menurut saya tidak demikian..! Mereka justru orang-orang waras yang tidak mudah percaya begitu saja kepada klaim orang lain tanpa alasan dan bukti yang jelas. Dan kita tidak bisa menuduh begitu saja bahwa orang-orang yang tidak percaya kepada Muhammad itu diliputi kebencian. Masalahnya bukan itu..!
Setelah pertemuan tersebut Muhammad memulai dakwahnya secara terbuka. Kemudian Muhammad berdiri di lembah dan berkata; "Wahai anak-anak Abdul Muttalib, (dan ia menyebutkan semua suku-suku dari kaum Quraish) aku memanggilmu kepada Allah, dan aku memperingatkan kamu akan hukuma-hukumNya..!"
Kaum Quraish menanggapi dengan acuh tak acuh. Pada saat itu di Mekah, baik para Pagan, Yahudi, Kristen, Hanif, dan Majusi hidup berdampingan secara harmonis. Ketidak toleranan dalam beragama dan penganiayaan terhadap penganut agama lain tidak pernah terjadi di Arabia saat itu. Banyak konflik antar suku tapi bukan konflik agama atau keyakinan. Ketidak pedulian kaum Quraish sepertinya lebih menyiksa bagi Muhammad dibandingkan jika mereka menentangnya terang-terangan.
Kenyataannya kaum Quraish tidak seburuk yang para ulama doktrinkan kepada kita. Mereka tidak suka kepada Muhammad dan kaum muslim bukan karena kepercayaan muslim kepada Islam. Tapi mereka merasa terganggu dan tersinggung karena Muhammad menghina agama leluhur mereka.
Hingga saat ini, jika ada seseorang di suatu tempat mengejek Muhammad, mereka sangat tersinggung apabila nabi mereka diremehkan. Namun mereka mengejek kepercayaan orang lain. Standar ganda ini sudah ada sejak masa awal Islam. Muhammad ingin ditanggapi dengan serius. Ia tidak peduli apakah ia disukai atau dibenci. Semuanya sama baginya. Ia ingin diperhatikan dan satu-satunya cara untuk mendapatkan perhatian itu adalah dengan menghina agama orang lain dan memprovokasi mereka atas nama Tuhan.
Al-Tabari mengatakan; "Ketika Rasulullah mengundang kaumnya ke jalan yang benar yaitu jalan Allah, mereka tidak menunjukkan sikap permusuhan dan sepertinya ada harapan bahwa mereka akan mendengarkannya. Namun ketika Rasulullah menghina berhala mereka, sekelompok pemuka kaum Quraish dari Bani Taif, mencelanya dan menghasut kaum mereka untuk mengucilkan Muhammad. Setelah itu, para pemuka kaum Quraish setuju untuk melarang anak-anak mereka, saudara-saudara dan anggota dari kaum mereka masuk Islam. Akibatnya situasi menjadi sulit bagi kaum Muslim."
Tentu saja orang-orang Quraish itu tidak suka agama leluhurnya di hina. Seperti Muhammad sendiri pasti tidak suka di hina. Seperti kaum muslim sendiri pasti tidak suka jika agama dan nabinya dihina. Menurut saya, Muhammad telah melakukan cara yang salah dalam menyerbarkan agamanya.
Lalu Ibnu Ishaq mengatakan bahwa setiap suku saat itu menyerang muslim yang ada di antara mereka, memukul mereka dan membujuk mereka agar meninggalkan agama Islam. Namun bisakah kita menyebut ini sebagai penganiayaan terhadap kaum muslim? Ibnu Ishaq telah mendramatisir dengan menjadikan muslim sebagai korban kedzaliman. Bukankah setiap orang tua akan berusaha menyelamatkan anak-anak mereka jika mereka menjadi korban ajaran yang menurut mereka sesat? Setidaknya warga Mekah menganggapnya demikian.
Sah-sah saja jika kaum Quraish mengganggap ajaran Islam sebagai agama sesat, seperti islam menganggap agama lain sesat. Di mata para warga Mekah, Muhammad mengajarkan penghujatan agama. Ia memecah belah masyarakat dan menghina agama leluhur mereka.
Dalam sebuah hadis yang dikisahkan oleh Ibn 'Umar, Muhammad mengatakan;
"Aku telah diperintahkan (oleh Allah) untuk memerangi orang-orang, sampai mereka mengaku bahwa tidak ada yang patut disembah selain Allah dan Muhammad adalah Rasul Allah, dan melakukan sembahyang dengan sempurna dan membayar zakat, sehingga jika mereka melakukan hal itu, maka selamatlah nyawa dan harta mereka dariku." [Sahih Bukhari, Vol 1, Buku 2, No 24]
Dan dalam hadis-hadis lain Muhammad menyiratkan kebenciannya terhadap kaum yang sering memperolok-oloknya;
"Rasul Allah berkata: Aku akan mengusir orang-orang Yahudi dan orang-orang Nasrani dari jazirah Arab dan tidak akan menyisakan satupun kecuali umat Muslim.." [Sahih Muslim, No 4366].
Bersambung....