"Ssst... tenang dulu, Pak," kata Kiai Nasiruddin sembari menepuk bahu Gaman. "Bagaimana kalau kita masuk lagi dan membicarakan ini baik-baik dulu, hm?"
Gaman justru mengepalkan tangan diam-diam. "Tapi, Yai—"
"Sudah ndak papa..." sela Kiai Nasiruddin. "Nanti Geni biar sekalian nyusul. Kebetulan sekali saya mau ngomong beberapa hal juga dengan kalian."
Meski mendengus, Gaman pun mengangguk juga pada akhirnya. "Nggih, Yai..."
Kiai Nasiruddin tersenyum tipis. "Bagus..." pujinya senang. "Kalau begitu mari, Pak." Tambahnya ke Gaman. Namun pria tempramental itu tetap mendesis ke Geni sebelum berlalu.
"Nyantri itu yang bener..." katanya tegas. "Susah-susah Bapak kerja. Memang kamu mau jadi seperti Bapak, hah?!"
Membuat para santri yang lain ikut-ikutan heboh. Dan mulai berkerumun di sekitarnya untuk melihat. Untuk berbisik. Untuk memuaskan rasa penasaran masing-masing atas kehadirannya di pesantren yang masih dianggap suatu hal fenomenal.
Bagaimana tidak?
Gaman yang terkenal itu justru memutuskan nasib Geni di pesantren setelah sang istri bunuh diri.
Ya, bunuh diri. Sebab lama-lama wanita bernama Marni itu merasa lelah. Menghadapi Gaman yang sempat berhenti judi, ngombe, malak, berkelahi, dan segalanya... justru malah melakukannya lagi secara diam-diam.
Melahirkan hutang segudang. Beban batin. Tanggung jawab besar. Dan semua itu tak mungkin bisa cepat diselesaikan.
Ah, drama. Sayangnya drama ini terlalu realistis untuk diabaikan begitu saja.
"Hei, lihat!"
"Wuaaahhh! Bukankah dia adalah Gaman Patih yang itu?"
"Maksudmu si Berandal Gondrong yang suka kasar itu, kan?"
Begitulah bisik-bisik yang sering Geni dengar sejak mulai nyantri. Baik dari mulut orang kampung. Atau para santri yang kurang suka padanya. Namun, setelah seminggu bertahan disini, semua itu tak lagi berpengaruh padanya.
Dengan tenang Geni berjalan melewati mereka, menaruh belanjaan di dapur kantin, bersih-bersih sebentar, baru kemudian menuju ke ruang tamu Ndalem.
"Assalamualaikum..."
Geni berdiri di ambang pintu dengan sandal baru. Dia menundukkan kepala kala Kiai Nasiruddin menoleh.
"Waalaikumsalam.." jawab Kiai Nasiruddin dengan senyuman. Pria arif itu duduk di sebuah sofa panjang dan menepuk tempat kosong di sebelahnya. "Sini, Cong. Duduk di samping Abah, hm?"
Gaman yang duduk di seberang Kiai Nasiruddin tampak kaget. "Apa?"
"Ngapunten, Abah?" tanya Geni ikut bingung.
Gaman pun segera menanggapi. "Biar saja, Yai. Anak itu tak perlu dihalusi samasekali," katanya. "Dia itu nakal. Kalau tak diatur bisa-bisa nanti rusak seperti saya."
Senyum Kiai Nasiruddin justru melebar. "Ndak papa," katanya. "Sini, Cong. Abah kepengen duduk sama kamu, hm?" ulangnya. Membuat Gaman terperangah seketika.
Geni sendiri melirik ragu ke ayahnya itu. Sebelum kemudian sendiko dawuh ke Kiai Nasiruddin.
"Nggih, Abah," kata Geni. Lalu duduk di sisi Kiai Nasiruddin dan merasakan rangkulan kasihnya.
"Sekali lagi, Pak. Geni itu sudah saya anggap anak sendiri, hm?" kata Kiai Nasiruddin sembari menoleh ke Gaman. "Jadi anak njenengan adalah anak saya juga. Dia pun menjadi tanggung jawab kita bersama mulai sekarang."
"Yang bener saja, Yai..." kata Gaman heran. Dia memandang Geni yang hanya menundukkan kepala selama disana. "Tapi anak itu benar-benar suka berkelahi seperti saya. Lihat saja luka-lukanya. Baru seminggu saya tinggal, sudah begitu lagi rupanya."
"Oh, ini..." kata Kiai Nasiruddin. Lalu baru sengaja memperhatikan kondisi Geni yang tak karuan. Sebab ada bayak luka baru di tubuhnya. Mulai pelipis, sudut bibir, siku tangan, buku-buku jari, hingga kemudian kakinya yang paling parah.
Darah segar bahkan merembes kembali dari tumitnya meski baru dicuci bersih. Dan satu lagi... itu pun yang terlihat. Namun Geni sendiri terlihat biasa dan tak menahan sakit samasekali.
"Kenapa ndak kita dengar dulu asal-usulnya?" tanya Kiai Nasiruddin.
"Maksud Yai?" bingung Gaman.