webnovel

Aku Ingin Pulang

Audrey mendongak. Jantungnya berpacu cepat ketakutan. Pikirannya sudah melalang buana entah ke mana.

Jangan-jangan, apa yang dikatakan setiap rakyat itu benar. Kalau maid adalah simpanan raja dan pangeran?

Kalau begitu, ia akan dibantai, hari ini juga? Pantas saja mereka memberikan Audrey berenda hitam itu.

Bahkan, bisa saja lelaki ini membayangkan apa yang tengah dipakainya?

Audrey memandangi wajah tegas Rhysand. Lelaki membungkuk, ia mengeksplor seluruh wajah Audrey dengan mata gelapnya.

Audrey mendorong tubuh Rhysand ke belakang. Meskipun tubuh lelaki itu begitu keras dan kokoh. Sampai-sampai, kaki lelaki itu tidak bergerak. Hanya tubuh melengkungnya sudah berubah posisi.

Ia berubah berdiri tegak.

Kaki jenjang Rhysand mundur beberapa langkah ke belakang.

"Audrey, ternyata kau begitu lemah."

"Tidak. Saya tidak lemah. Saya menjunjung tinggi kehormatan saya."

"Kehormatan? Bahkan, para maid yang sudah kubeli, masih memiliki harga diri?" ujarnya meremehkan.

"Kau pikir, seluruh maid di istana ini, tunduk padamu? Tidak, Pangeran. Mereka hanya menjalankan kewajiban untuk dibayar. Sudah. Kami juga tidak berhak diperlakukan semena-mena olehmu."

Rhysand mendengus. Tubuh lelaki itu sudah duduk di atas meja. Tangannya melipat di dada.

"Ucapanmu itu terlampau besar untuk mulut mungilmu, Audrey."

"Lalu bagaimana dengan dirimu, Pangeran? Bukankah ucapan Pangeran selalu berisikan omong kosong yang tidak berguna?" sergah Audrey.

Raut Rhysand berubah drastis. Wajahnya menunjukkan kedengkian di sana.

Tiba-tiba, dada Audrey bergemuruh.

Ucapan Barsha mengelilingi otaknya. Bagaimana jika, ia pulang hanya tinggal kepala? Bagaimana jika ia dipancung karena lidahnya yang tidak bertulang?

Biadab! Lidahnya ini begitu biadab!

Audrey menggigit lidahnya sendiri dengan pelan. Tidak sampai melukai, tetapi cukup efektif untuk membuatnya berhenti bertutur kata.

Rhysand mendengus. "Kau belum mengerti aku. Dan kupikir, kau tidak sepadan untuk kumarahi. Bibirku begitu mahal untukmu. Pergilah ke dapur, buatkan aku kudapan saja, rakyat jelata."

Audrey kembali menunduk dalam. Pertanda dia akan pergi dari hadapan Rhysand.

"Oh, iya, Audrey."

Langkah Audrey terhenti. Ia setengah berbalik menghadap Rhysand.

"Omong-omong, kau terlalu menunduk. Kau hanya perlu menunduk 30 derajat. Kalau kau menunduk 45 derajat, tandanya kau sedang meminta maaf padaku."

Audrey mengulum bibirnya. Sialan. Dia tidak tahu tata krama kerajaan sama sekali.

"Bukankah, dari omonganmu saja sudah menunjukkan, kalau kau termasuk dalam kategori orang yang banyak omong kosong tanpa mengetahui ilmunya?"

"Aku pamit permisi dulu, Tuanku Pangeran."

Hanya itu kalimat yang diucapkan Audrey. Ia jelas kalah telak dalam perseteruan pertamanya dengan Pangeran Rhysand.

*

Lagi-lagi Audrey merutuk. Ia tidak tahu, kapan dirinya akan terbiasa dengan istana yang megah ini.

Semua ruangan Pangeran Rhysand berada di lantai lima. Dapur, ruang tamu, gudang, dan ruang penyimpanan berada di lantai dasar.

Sementara, ruang para pelayan ada di lantai bawah tanah.

Jadi, Audrey harus naik turun lantai, hanya untuk memberikan kudapan.

Kenapa, dari semua tugas yang ada di istana ini, ia mengurus si bayi besar yang pemalas itu? Mengapa, ia tidak mengurus kebersihan lantai satu saja? Kenapa harus Rhysand?

Rasanya, Audrey ingin menjerit. Tetapi, jeritannya itu dilumatnya dalam diam.

"Permisi, saya hendak meminta kudapan untuk Pangeran Rhysand," ujar Audrey dengan napas patah-patah.

Ia akhirnya sampai juga ke dapur.

Kepala koki dan maid senior memandanginya. Mereka sedang membuat kudapan, mengulen adonan.

"Dia siapa, meminta kudapan?" tanya maid senior kepada maid yang lain.

"Tidak tahu, mungkin Tuan Mallory tahu?" maid itu mengalihkan pandangannya kepada Kepala Koki.

Tuan Mallory itu menggeleng, "Dia pasti maid baru di sini, siapa gerangan namamu, Nak?"

Audrey menundukkan tubuhnya dan mengangkat ujung roknya. Gaya khas kerajaan untuk memperkenalkan diri.

"Dia Audrey Frankie, pelayan khusus Pangeran Rhysand."

Sebuah suara muncul dari belakang. Mademoiselle Edeva berjalan dengan begitu anggun.

"Kau pasti belum membaca buku itu, ya?" tuding Edeva padanya.

Audrey mengerjap. Ketika ia datang, ia harus langsung menemui si bayi besar itu, sehingga ia tidak ada waktu untuk membaca.

Lagi pula, ia juga buta aksara. Jadi, percuma saja ia diberi buku setebal itu.

"Kau tidak mengerti sedikitpun tentang tugas dan kewajibanmu, ternyata. Aku kecewa padamu, Frankie. Padahal, Pangeran Rhysand sendiri yang memilihmu." tegas Edeva padanya.

"Kau seharusnya mengerti tentang ikhtisar peraturan, tugas, dan kewajibanmu di kerajaan ini. " terang Edeva masih dengan nada angkuhnya.

"Mademoiselle, berarti maid baru ini, dia tidak mengerti tentang tugasnya?" komentar seorang maid senior yang cukup tua.

Mademoiselle Edeva meneliti tubuhnya, dari atas hingga bawah, dari bawah hingga ke atas lagi. "Sudah jelas, dari caranya berdiri saja, dia belum mengetahui apa pun mengenai tata krama kerajaan. Apalagi, tentang peraturan, tugas, dan kewajiban?" jawab Edeva meremehkan.

Audrey menunduk dalam. Ia memang tidak mengerti semua itu! Salah siapa istana mengadakan pemilihan maid buta, sehingga dokumen keterampilannya itu bisa lolos! Padahal, tubuhnya saja penuh luka gores akibat berladang!

Salah siapa?!

Audrey menyerukan itu dalam batinnya. Namun, bibirnya tetap terkunci rapat.

Mademoiselle Edeva menguarkan aura yang begitu menakutkan, jauh menakutkan dari Rhysand.

Kalau berani menjawab, sudah pasti, nyawa taruhannya.

"Kalau kau tidak mengerti, tugasmu adalah melayani Pangeran Rhysand. Dari beliau bangun sampai beliau tertidur. Kau juga harus mencicipi makanan utamanya. Setiap pukul tujuh, dua belas, dan enam malam. Tanpa boleh terlambat. Kemudian, untuk kudapan, setiap maid membuatnya sendiri. Tanpa adanya campur tangan Tuan Mallory. Sebab, para maid yang ditugaskan di dapur, sudah begitu banyak tugas sehingga tidak bisa membuat kudapan bagi Pangeran Rhysand."

Audrey mendongak. Wajahnya terangkat sempurna. "A-apa? Membuat kudapan sendiri?"

"Itu sudah dilakukan oleh maid sebelummu. Dan turun temurun sejak dulu."

"Bagaimana bisa aku membuat kudapan untuk Sang Pangeran, apabila aku harus melayani kebutuhannya dari bangun sampai tidur? Kapan aku beristirahat?" keluh Audrey tanpa disadari. Seperti biasa, mulutnya ini sering kehilangan kendali.

Mendengar keluhan Audrey, Mademoiselle Edeva memberikan tatapan tajam padanya. "Jam kerja pelayan istana adalah dua puluh empat jam. Apakah kau tidak mengerti itu? Berani-beraninya kau mendaftar ke sini, jika kau mengeluhkan peraturan itu?"

Audrey terhenyak. Dua puluh empat jam. Dan hanya diberikan libur dalam jangka waktu lima tahun?

Dadanya begitu sesak. Apakah ia bisa hidup apabila seperti ini? Bagaimana jika ia mati di tengah tugas karena kelelahan?

Belum sempat menjawab, Edeva kembali berujar, "Menjadi maid, berarti mengabdikan seluruh hidupnya kepada Kerajaan Atalaric."

Mata Audrey membulat sempurna.

"Kau mengerti, Frankie?" Edeva melemparkan pertanyaan tajam itu padanya.

Audrey mengangguk pelan.

"Cepat bekerja. Buatkan kudapan untuk Pangeran Rhysand. Dia sudah menunggu terlalu lama."

Ia ingin pulang. Ia ingin pulang!!!

Ia ingin melarikan diri saat itu juga!

Bersambung....

*

Selamat! Kalian sudah menyelesaikan bab ini! Jangan lupa subs dan review! Bye-bye!

*

Bab berikutnya