"Somewhere in the rain, there will always be an abandoned dog that prevents you from being happy."
ーAldous Huxley
☂ ☂ ☂
Malam ini hujan turun lagi. Gadis bersurai hitam legam di sana masih berharap bahwa hujan hanya menghantar dingin, tanpa sesapkan ketenangan. Pupil matanya membentur dan menetap di jendela mobil yang buram dipagari embun. Sedikit-sedikit rintik hujan ikut melempar diri di sana dan mengalir pasrah menjamahi kaca jendela. Sesekali si gadis komat-kamit gumamkan senandung mengikuti irama radio mobil yang merenggut sunyi.
Kala mobil melaju di bawah kemudi lelaki di sisinya, senandung gadis yang belum disebutkan namanya mendominasi dimensi. Cukup berhasil menarik garis bibir seseorang yang sibuk menyorotkan atensi terhadap jalan. "Kau tidak mau kuliah di kampusku, Rin? Bisa ambil jurusan musik di sana."
Pemuda itu bertanya. Jawaban dari Rinーnama gadis itu, cuma jeda sejenak. Mulutnya bungkam dan membiarkan musik di radio mengalun sebagai penengah di antara dua insan yang serupa tapi tak sama. "Tidak mau."
"Kenapa?"
"Ayah pasti marah, Jim."
Jimーdialah Jimin, cermin yang memantulkan bagaimana Rin dalam wujud pria. Pria itu agak melebarkan senyum dan mendenguskan derai tawa, sejukkan dada Rin yang masih kelu diterpa aroma hujan. Bahkan sampai sekarang Rin masih bingung bagaimana merangkai senyum sesejuk itu, padahal mereka notabene saudara kembar resmi keluarga Park.
Memang Rin saja yang dilarang meneruskan pendidikan oleh ayah. Alasannya perempuan tidak lebih dari seorang pelayan suami dan berkecimpung dengan rempah-rempah. Kalau saja diizinkan, Rin sangat ingin pergi ke kampus bersama Jimin, makan siang bersama di kantin, dan berkenalan dengan teman-teman Jimin.
Sementara kata ibu, Rin terlalu lemah berkumpul di keramaian murid-murid kampus. Biasanya Rin akan memberontak untuk tidak bertemu banyak orang. Karena itu, Rin hanya diperbolehkan bekerja di kafe Luxury Lush yang sepi dan dekat dari rumah.
Meski jarak dari kafe ke rumah cukup dekat bukan berarti tidak masalah Rin jalan kaki seorang diri sampai rumah. Heran apa yang membuat keluarga Park begitu posesif terhadap Rin, khususnya Jimin. Meski Jimin pernah bilang semua karena Rin mengalami kecelakaan satu kali, di lima tahun yang lalu.
Andai saja kecelakaan lima tahun lalu tidak menimpa Rin, apa mungkin Rin bisa mengenyam kehidupan normal selayaknya gadis lain?
"Oh, bungeoppang," celetuk Rin memicu tapak sepatu Jimin untuk menginjak rem tiba-tiba.
Mobil berdecit di permukaan jalan yang terguyur tangisan langit. Mana Jimin tahu, alisnya kini mengerung hanya untuk mencari-cari objek yang dimaksud Rin. "Di mana?"
"Itu." Jari telunjuk Rin mengarah ke seberang jalan setelah jemari lainnya mengusap-usap embun yang menghadang pemandangan.
"Baiklah, tunggu di sini. Aku belikan untuk kita." Jimin sebentar mengambil payung di dasbor dan mulai membuka pintu mobil. Bisa dirasakan semilir angin dingin merasuki sebelah tungkainya yang telah melongok keluar. Rintik-rintik hujan langsung menyerang. Jimin acuh, raganya tetap gemas untuk berbalik menghadap Rin barang sejenak. "Ingat, jangan keluar dari mobil maupun sekadar buka pintu, dan jangan buka-buka jendela. Anginnya sedang buruk."
Hingga sepenuhnya Jimin lenyap dibalik pintu mobil yang kembali tertutup. Derau hujan berhenti meraung di telinga Rin. Ia termangu. Lantas memusatkan pandangan pada sosok yang berjalan cepat di bawah naungan payung untuk menyeberangi jalan.
"Demi sebuah bungeoppang?" Rin bergumam, tepi mulut itu menggariskan senyuman geli. Dalam berjuta-juta perihal yang mesti disyukuri, Rin sangat lega memiliki kakak kembar seperti Jimin.
Rasa syukur yang terkadang membuas jadi sebuah keegoisan berdalih Jimin mungkin tidak butuh pendamping hidup. Cukup berada di sisi Rin dan selalu melindungi.
Egois? Memang.
Tangan Rin jahil. Jemarinya memijit tombol pembuka jendela. Maksudnya memanggil Jimin di seberang sana. Dia penasaran tentang lucunya muka marah Jimin yang diraup akomodasi mata Rin. Seorang Jimin memang teguh akan perawakan dewasa. Walaupun terkadang bisa sangat menggoda Rin melalui tingkah infatil. Si korban Rin tidak mampu berkata jujur dan berujung mencak-mencak. Memang, tidak sama artinya bahwa Jimin tidak baik dalam bersikap imut. Dia sangat menggemaskan ketika gusar karena Rin membangkang segala titahnya. "Jimー"
"Pergilah. Aku tidak membutuhkan payungmu."
Ocehan lain masuk tiba-tiba menuju saluran pendengaran Rin. Tegur sapa untuk Jimin berhenti berkehendak. Sorot mata Rin teralihkan pada dua sosok di trotoar jalan dekat mobil yang diparkir Jimin.
Sepasang kaum Adam dan Hawa dengan aura tidak menenangkan. Keturunan Adam di sana berwajah berang. Tatapannya menyalang tajam enggan meletakkan atensi terhadap lawan bicara. Sementara Hawa hanya bisa diam berupaya menyembunyikan getir. Pertengkaran kekasih?
Pasalnya, memang hujan kerap hantarkan duka bagi orang-orang. Bukan membenci hujan, tapi hal yang sama dirasakan oleh Rin. Seiring hujan turun, seolah dada Rin tercabik-cabik oleh sesuatu yang bahkan ia tidak tahu asal muasalnya.
Sesak.
"Jangan tolak ini, nanti kamu sakit."
Pemuda itu menepis juluran tangan perempuannya. Ini seolah timbul efek domino bagi Rin. Jantung Rin terasa mencelos satu kali pria itu bersikap tidak sepantasnya.
"Sudah kubilang, pergilah. Jangan dekati aku cuma karena kesepakatan keparat mereka. Enyahlah."
Kepala Rin terasa berdenyut. Desisan hujan terlalu kejam untuk mendorong Rin semakin jatuh ke dalam lubang imaji. Pandangannya menggelap.
'Sudah kubilang...'
"Sudah kubilang jangan buka-buka jendela, 'kan, Rin?"
Rin tersentak.
Detik yang teramat berharga selalu terletak di momen saat seseorang menjadi ksatria, kembali menyeret Rin pada realitaーPark Jimin. Rin mampu kembali mewarnai matanya yang sekejap kosong. Jimin menanti dibalik pintu mobil yang menjadi saksi atas sekujur tubuh Rin yang seakan kaku.
Cerminannya bersidekap dengan wajah yang telah memerahーentah karena pantulan warna dari payung merah dalam kempitan lengannya atau kita sedang membicarakan seorang Jimin yang sedang coba-coba meredam emosi.
Jimin menghela napas sejenak dan menekukkan tepi mulutnya ke bawah. Ekspresi yang ditunggu-tunggu Rin lantas hadir. Jimin kesal, tapi masih menimbulkan kesan imut menurut Rin.
Merajuk, pria di sana mengangkat dagu satu kali. Tanpa diuraikan Rin paham itu bentuk perintah Jimin untuk menutup kembali jendela mobil. Rin menuruti dengan kedua alis yang saling menaut, masih menuntun pikirannya untuk terbang ke mana-mana.
Jimin baru saja mengambil alih kursi kemudi yang sejak tadi dibiarkan kosong dan memberi salah satu bungeoppang kacang merah pada Rin. Rin suka kacang merah, beda dengan Jimin yang lebih suka cokelat. Alasan Jimin suka cokelat pun cukup sederhana.
Karena cokelat itu manis, dan menggambarkan kembali tiap helai kenangan yang berpengaruh terhadap sosok Jimin.
☂ ☂ ☂
To be continued.
Halo, aku Misa! Selamat menikmati cerita Park Jimin dengan saudara kembarnya, Park Soorin. It's gonna long ride, prepare yourself! Thank you for reading!