Dua tuan Luperto datang menghalau semua jalur keluar bagi Elia, membuat Ketakutan gadis itu semakin membesar. Bahkan Spirit Kind yang mendiami tubuhnya tak mampu menenangkan gadis itu sama sekali.
Di tengah kepanikannya, si Pirang seakan menegaskan kalau riwayat Elia akan tamat detik ini juga. Tak ada lagi hal positif yang dapat gadis itu bayangkan, yang ada dalam angannya hanyalah kematian.
"Elia!"
Suara melengking itu mengejutkan si Pirang dan rekan-rekannya. Elia mendongak, melihat sesosok berkepala hitam dengan warna kulit merah mengkilap bak darah melumuri tubuhnya. Pupil matanya lenyap. Sementara tangan serta kaki sosok itu panjang secara abnormal.
"Pemecah inti!" Meneriakkan kemampuannya, sosok itu menghujamkan sebuah tombak ke kepala si Pirang.
Namun sebelum dia sempat mendaratkan serangan tersebut Luperto memblokirnya dengan jaring-jaring miliknya. Tapi, alangkah terkejutnya kera itu ketika jaring miliknya luruh kemudian terurai menjadi debu.
"Bagaimana bisa?" Bingung, kera itu termenung.
Sosok merah itu menatapnya dan melancarkan sebuah tendangan ke wajah Luperto, mengirimnya terbang beberapa meter ke belakang sebelum berhenti mendarat di sebuah tong sampah.
"Woah! Keren!" Si Pirang antusias, berbeda reaksi dengan temannya si Berpenutup kepala.
"Tch, siapa dia?"
Pria itu menekan garis alisnya, kerut di dahinya menyimpulkan dirinya yang tengah berpikir keras. Barulah dia sadari identitas sosok itu selepas melihat tombak yang dipegangnya.
"Ini perubahan wujud pilar romantika. Menjijikan sekali," balas si Berpenutup kepala.
"Bukankah semua pilar seperti itu? Setiap perubahannya terlihat sangat menjijikan," timpal si Pirang.
Seluruh pilar perasaan memiliki kemampuan untuk berubah wujud, pada momen itu lah kekuatan sejati mereka akan muncul. Syarat aktivasi perubahan tersebut pun berbeda-beda tergantung individu masing-masing. Untuk Tika, perubahannya terpicu ketika dia merasakan keinginan untuk melindungi seseorang yang telah dicintainya.
"Kalian akan mati di sini ...." Tika mengacungkan tombaknya. "Atas segala yang kalian perbuat malam ini. Aku akan mengabaikan titah yang diperintahkan kepadaku dan menghabisi ancaman seperti kalian!"
"Uuuuu! Ngeri!"
Si Pirang malah bertambah girang, dia pasang kuda-kuda bertarung dengan kebahagiaan yang tak terbendung sedikitpun.
"Kalau begitu ayo tunjukkan kekuatanmu, Pilar Romansa! Lawanlah aku!"
Mendecih, Tika tampilkan rasa tersinggungnya. "Jangan menyebutku dengan nama lain ... selain Tika!"
Tapak kaki si Pirang dan Tika bersiap menjejak tanah untuk melesat dan saling berbenturan dengan satu sama lain. Mereka sudah siap saling bunuh. Tak ada keraguan dalam raut wajah satu sama lain, hanya perasaan yang membedakan.
Ketika keduanya hendak melesat, tiba-tiba muncul seseorang di sebelah Tika–menenangkannya dalam sekejap sebab pria itu langsung memegang pundaknya erat.
"Apa aku terlambat?"
Ada perasaan aman yang merebak dalam dada Tika karena kedatangannya, membuat gadis itu melepas perubahan wujudnya.
"K–kau datang tepat waktu, senior!" Elia sedikit lebih tenang meski masih gagap karena gemetaran.
"Maafkan aku sebelumnya, ya? Kukira kalian bisa menyelesaikan misi ini sendirian. Tapi, sepertinya yang muncul malah di luar dugaanku." Akito menyenyumi si Pirang dan si Berpenutup kepala.
Keduanya sanggup merasakan tekanan energi astral milik Akito jauh melebihi keduanya. Mereka seketika segan dan menelan ludah meski si Pirang merasa ingin menghadapi Akito. Tetapi, keduanya sadar diri bila melawan pria itu sama saja mati bagi mereka.
"Yap, kukira sampai di sini saja pertemuan kita."
Ucapan si Pirang membuat Akito mengernyit heran. "Huh? Ada apa?"
"Kami sudah cukup bersenang-senang, terima kasih sudah menghibur kami."
"Apa maksudmu?"
Si Pirang tak berniat memberitahu Akito. Dia angkat tangannya ke angkasa dan menghujamkannya sambil menembakkan dua ujung runcing dari buku-buku jarinya. Tanah pecah dalam radius yang luas, bangunan-bangunan gugur masuk ke tanah, itu memaksa Akito bersama Elia dan Tika menyingkir ke tempat aman.
Si Pirang bersama si Berpenutup kepala hilang dalam kekacauan itu, Luperto pun tak dapat ditemukan oleh ketiga agen biro keamanan tersebut.
***
"Kakak!"
Teriakan Rachel membuat pria itu sadar dari bunga tidurnya. Gunawan mengaduk-aduk matanya yang masih digantungi setan kantuk sebelum melirik ke arah adiknya dengan kesadaran yang masih setengah-setengah.
"Apa yang terjadi?"
Rachel mendecih, dia jejalkan botol minum ke bibir kakaknya untuk membasuh sisa alkohol yang masih ada di mulutnya.
"Oh, terima kasih ... jam berapa sekarang?"
Rachel mendecih, dia tuding ke arah jam di dinding menegaskan kalau kakaknya itu telah bangun di kala hari telah cukup cerah. Bunyi detik berjalan mengisi lengang di pikiran Gunawan yang kosong dan berusaha mengolah memorinya tadi malam yang samar-samar timbul.
"Kau mabuk lagi semalam, aku menemukanmu di depan pintu sudah terkapar. Bukankah kau sudah janji padaku untuk tidak mabuk lagi? Apa kau tidak mau mendengarkanku?!"
"Ishhh, pagi-pagi sudah berisik. Bisakah kau turunkan volume suaramu?"
"Kau sudah berjanji ratusan kali, Kak! Ini bukan hanya soal kepedulianku padamu. Jangan jadi orang yang tidak bisa dipercaya!"
"Ah, iya, iya. Sudahlah, tidak usah pikirkan ... itu bukan urusanmu—"
Rachel menusuk lubang hidung Gunawan, cukup membuatnya terperanjat dan meloncat naik.
"Apa-apaan, oi!" keluhnya.
"Kalau kau katakan itu sekali lagi maka bukan hanya lubang hidungmu yang kutusuk! Kakak sudah berjanji menjadi pria yang lebih baik demi aku ... dan keponakanmu! Mana buktinya sekarang? Kau belum menepati janjimu!"
"Y–ya, aku tahu itu. Tidak usah sedramatis itu. Kau pikir aku tidak berusaha? Aku telah berjuang keras untuk mengurangi kecanduanku."
Rachel tak percaya sedikit pun ucapan kakaknya tersebut. Tidak ada yang bisa menjaminnya kalau Gunawan telah mencoba berhenti minum-minum. Perempuan itu anggap semua ucapan Gunawan tadi hanya sebuah kilah, yang tak lebih dari sekedar dusta di permukaan.
"Pokoknya, kalau kau tak berubah sedikit pun sampai aku melahirkan kau tidak akan kuijinkan menyentuh Raiz!"
Pergi dari hadapan Gunawan, Rachel meninggalkan beberapa buah pertanyaan pada benak pria itu.
"Tunggu, Raiz? Siapa dia? Apa dia nama yang kau pikirkan untuk jagoan kecilku?"
Rachel membanting pintu, bungkam sudah lisan Gunawan untuk menuturkan lebih banyak perkataan. Sebuah desah keluar dari mulutnya bersama segenap penyesalan dan kekecewaan dari lubuk batin terdalamnya.
"Passionku menyesatkan," sesal Gunawan.
Wajah pria itu pun tenggelam dalam muram.