webnovel

The Dangerous Love Zone - 25

Goshi yang melihat rintikan hujan yang turun membasahi kota Yokohama melalui jendela ruang kerjanya, menghela nafas panjang. Hampir empat hari ini, dirinya merasa suasana di rumah sedikit berubah. Tidak seramai dan seceria biasanya

Juza yang melihat Goshi sedang menatap kearah jendela dengan tatapan kosong, mengerutkan dahinya heran.

"Niisan.." Panggil Goshi pada Juza dengan tatapan mata masih mengarah pada jendela ruang kerjanya.

Juza yang dipanggil oleh Goshi pun berdeham untuk merespon panggilan adiknyatersebut.

"Apa niisan merasakan perubahaan suasana dirumah kita beberapa hari ini?" Tanya Goshi tanpa menolehkan kepalanya kepada Juza.

Juza menaikan sebelah alisnya. "Tidak. Aku merasa suasana dirumah biasa-biasa saja."

Gohi menghela nafas panjang. Kakaknya ini benar-benar sangat tidak peka sekali terhadap lingkungan sekitar.

"Buk-

Brak!

"Juza! Goshi! Gawat! Azami akan pergi keluar negeri!" Seru Naoki sambil mendobrak pintu ruang kerja Juza dan Goshi yang sontak membuat kedua pria itu terkejut.

"A-apa? Luar negeri?" Tanya Goshi yang langsung respon anggukan kepala cepat oleh Naoki.

"Saat ini Yuri sedang menangis dilantai bawah, meminta Azami agar tidak jadi pergi keluar negeri."

Goshi dan Juza saling melemparkan tatapan pada satu sama lain.

"Baik, kita akan turun kebawah." Ucap Juza yang langsung berjalan keluar dari ruang kerjanya menuju lantai satu, Goshi dan Naoki pun berjalan mengikutinya.

Saat baru saja keluar dari ruangan kerja, Juza, Goshi dan Naoki sudah dapat mendengar suara isak tangis Yuri yang terdengar begitu memilukan.

"Huwaaaa, Niichan! Hiks, hiks, hiks, Niichan tidak boleh pergi keluar negeri. Hiks, hiks."

Azami yang dipeluk begitu erat oleh Yuri yang tengah terisak pun berusaha untuk menahan isak tangisnya.

Sedangkan itu para anggota gangster lain tengah berbicara dengan para pelanggan. Beruntung hari ini pelanggan yang datang tidak terlalu ramai karena hujan yang turun membasahi kota Yokohama sejak pagi.

"Yu-chan, niichan tidak akan pergi keluar negeri. Berhentilah menangis." Ucap Azami sambil mengusap punggung Yuri yang bergetar.

"Hiks, hiks, bohong! A-aku, hiks, hiks, mendengar pembicaraan, hiks, niichan dengan kakek dan paman Renji, hiks, hiks, hiks."

Azami terdiam membeku ditempatnya, mendengar perkataan Yuri disela-sela isak tangisnya.

"Aku tahu, hiks, hiks, kakek menyuruh niichan untuk, hiks, pergi keluar negeri! Hiks, hiks, jika niichan tidak pergi keluar negeri, hiks, para paman dan bibi akan mencelakai, hiks, hiks, niichan. Seperti yang mereka hiks, hiks, lakukan pada ayah! Hiks, hiks, hiks."

Azami kembali mengusap-ngusap punggung Yuri yang bergetar. Sesekali Azami juga mengecup puncak kepala Yuri.

Sedangkan itu, para anggota gangster, Juza dan Goshi yang mendengar perkataan Yuri disela-sela isakannya membulatkan mata mereka terkejut.

"Aku, hiks, tidak mau niichan pergi keluar negeri. Hiks, hiks, hiks, aku yang hiks, akan menjaga niichan, hiks, hiks, hiks, agar para paman dan hiks, hiks, bibi, tidak bisa mencelakai niichan. Hiks, hiks niichan tidak boleh pergi."

Yuri semakin mengeratkan pelukannya pada Azami dan semakin terisak.

"Ssssshh, Yu-chan. Jika kau terus menangis, nanti kepala mu bisa sakit." Gumam Azami mencoba untuk menenangkan Yuri.

Namun Yuri yang masih memeluk erat tubuh Azami, menggelengkan kepalanya.

"Niichan tidak boleh pergi! Hiks, hiks, aku tidak mau sendirian, hiks, hiks."

Azami menghela nafas dalam, saat air mata yang sedari tadi dirinya tahan berhasil lolos membasahi wajahnya.

"Ya, niichan tidak akan pergi keluar negeri, Yu-chan. Niichan akan tetap disini bersama mu." Ucap Azami sambil memejamkan kedua matanya.

"Sekarang berhentilah menangis, Yu-chan. Kau tidak ingin membuat ayah dan ibu sedih bukan? Mereka pasti akan sedih melihat kita menangis seperti ini." Ujar Azami dengan nada sedikit bergetar karena menahan tangisnya.

Beberapa anggota gangster yang tidak kuasa melihat Yuri dan Azami menangis pun, ikut menitihkan air mata melihat kedua kakak beradik yang sudah mereka anggap seperti keluarga sendiri, terisak di depan mereka.

Yuri yang sudah tidak terlalu terisak pun, sedikit menjauhkan dirinya dari Azami dan mengangkat kepalanya untuk menatap wajah Azami.

Azami yang melihat mata Yuri begitu sembab pun, mengulurkan kedua tangannya untuk mengusap jejak air mata diwajah chubby sang adik bungsu.

"Niichan, niichan harus berjanji untuk tidak pergi meninggalkan aku." Ucap Yuri yang mengulurkan jari kelingking pada Azami.

Azami yang melihat Yuri mengajaknya untuk melakukan janji jari kelingking pun terkekeh. Namun dirinya tidak urung untuk melingkarkan jari kelingkingnya pada jari kelingking Yuri.

"Ya, niichan berjanji."

Suara sorak sorai dari para anggota gangster membuat Azami dan Yuri tersentak kaget. Kedua kakak beradik itu pun menolehkan kepala mereka dan betapa terkejutnya mereka melihat para anggota gangster berdiri tidak jauh dari mereka.

Yuri yang tiba-tiba saja merasa malu karena di perhatikan oleh para anggota gangster pun kembali memeluk tubuh Azami erat.

Para anggota gangster yang melihat Yuri kembali memeluk erat tubuh Azami karena merasa malu pun terkekeh. Begitu juga dengan Azami yang ikut terkekeh.

Juza yang melihat Azami ikut terkekeh bersama dengan para anggota gangster yang lain pun mengulaskan senyum kecil diwajahnya.

***

Azami yang sedang berdiri menatap langit malam yang dipenuhi bintang-bintang, tersentak kaget saat menyadari sebuah mantel sudah tersampir di bahunya.

"Apa kau tidak merasa dingin?"

Azami menolehkan kepalanya keasal suara dan mendapati sosok Juza sudah berdiri disampingnya sambil membawa cangkir kopi.

"Tidak terlalu."

Juza hanya berdeham merespon jawaban Azami. Dirinya tertarik melihat sebuah kertas yang sedang di pegang oleh Azami.

"Apa malam ini kau tidak memiliki rencana pergi menemui klien, Juza-san?" Tanya Azami tanpa menolehkan kepalanya kepada Juza.

"Seharusnya ada, tetapi klien itu tiba-tiba saja merubah ulang jadwal pertemuan."

Juza dapat mendengar Azami menghela nafasnya sambil mengeratkan mantel yang dirinya sampirkan pada bahu pemuda itu.

"Apa kau ingin meminum kopi ini? Mungkin kau akan merasa sedikit hangat." Ucap Juza mengulurkan cangkir kopi yang dirinya bawa kehadapan Azami.

Azami menundukan kepalanya melihat kearah cangkir kopi yang diulurkan oleh Juza.

"Aku tidak terlalu suka kopi, Juza-san. Maaf."

Juza menarik kembali uluran cangkir kopinya dari hadapan Azami. "Ah, begitu. Kalau begitu apa kau ingin aku buatkan cokelat panas?"

Kedua bola mata Azami membulat terkejut. Dirinya pun dengan cepat menggelengkan kepalanya. "Tidak perlu, kau tidak perlu repot-repot untuk membuatkan ku cokelat panas, Juza-san."

"Baiklah, jika kau tidak mau." Balas Juza yang kini mulai menyeruput kopi miliknya.

Azami kembali menolehkan kepalanya untuk melihat langit malam. Juza yang beridiri disamping Azami pun menolehkan kepalanya kearah pemuda itu. Memperhatikan ekspresi wajah Azami yang di terpa oleh sinar rembulan.

"Juza-san." Panggil Azami yang kini sudah menolehkan kepalanya kearah Juza yang masih menatap kearahnya.

Juza yang baru menyadari jika Azami kini sedang melihat kearahnya pun, berdeham pelan.

"Mungkin ini akan terdengar aneh. Tapi, apakah kau mau mendengarkan sedikit cerita ku?" Tanya Azami pada Juza yang masih memilih diam belum menjawab.

"Jika kau tidak mau tidak apa-apa." Tambah Azami saat belum juga mendapat jawaban dari Juza yang masih memilih terdiam.

Greb.

Azami mengerjapkan mataya beberapa kali, lalu menolehkan kepalanya kearah jari-jemarinya yang kini sudah di genggam oleh Juza.

"Aku akan mendengarkan cerita mu. Tapi, kau ikutlah dengan ku terlebih dulu."

Azami mengerutkan dahinya heran saat Juza membawa dirinya berjalan menjauhi bangunan rumah dan juga bangunan mension anggota gangster yang lain.

"Duduklah."

Azami menuruti saja perintah Juza yang menyuruhnya untuk duduk diatas sebuah ayunan kayu yang berada dibawah sebuah pohon rindang.

Dalam hatinya, Azami berdecak kagum, selama dua bulan dirinnya tinggal dirumah Juza, dirinya baru mengetahui jika rumah pria yang sedang duduk disampingnya saat ini begitu luas. Bahkan rumahnya pun mungkin kalah besar dengan rumah milik Juza.

"Kau bisa menceritakan semuanya disini. Karena para anggota gangster yang lain, jarang sekali mengawasi sampai sini." Ucap Juza yang direspon anggukan kepala oleh Azami.

"Baiklah, kalau begitu aku akan mulai bercerita padamu."

Setelahnya Azami pun mulai menceritakan kepada Juza, tentang alasan mengapa dirinya dan Yuri bisa berada di Yokohama. Namun Azami tetap menyembunyikan nama keluarganya serta jenis perusahaan yang dimiliki oleh mendiang kedua orang tuanya dan saat ini sedang diambil alih sementara oleh pamannya.

"Dan hari minggu kemarin, saat kami pergi ke Tokyo. Kakek baru memberitahu ku jika rekan mendiang ayah ku yang tinggal di kota ini sudah meninggal dunia."

Azami mengambil jeda sesaat.

"Kakek berniat mempertemukan ku degan putra dari mendiang rekan ayah tersebut dan aku harus memikirkan apa yang akan aku katakan kepada putranya itu."

Juza memilih untuk diam, belum merespon perkataan Azami. Meski saat ini dirinya merasa geram.

"Selain itu, kakek juga bertanya perihal pendidikan ku selanjutnya. Dia menyuruhku untuk melanjutkan pendidikan di luar negeri, karena takut para paman dan bibi akan mencelakai ku demi dapat mengambil alih perusahaan sepenuhnya."

Azami menghela nafasnya. "Aku tidak menyangka jika kemarin Yuri mendengar percakapan kami."

"Menurut ku, Yuri mendengar percakapan kalian kemarin, merupakan hal yang baik." Ujar Juza yang membuat Azami langsung menolehkan kepala kearahnya.

"Jika saja Yuri tidak mendengar percakapan kalian, dia pasti akan lebih merasa sedih jika secara tiba-tiba mengetahui kau akan menuruti perkataan kakek mu, untuk pergi keluar negeri."

Azami membulatkan kedua matanya mendengar perkataan Juza. "Meskipun Yuri tidak mendengar percakapan kami, aku juga pasti tidak akan menuruti perintah kakek ku. Aku tidak akan pernah meninggalkan Yuri sendirian."

Juza mengulurkan sebelah tangannya untuk menepuk-nepuk puncak kepala Azami.

"Aku mengizinkan mu untuk melanjutkan pendidikan bisnis di kota ini. Kau tidak perlu memikirkan perihal pekerjaan mu di kafe."

Azami melayanglkan tatapan tidak setuju kepada Juza. "Tidak bisa aku tidak memikirkan pekerjaan di kafe. Jika aku tidak tetap bekerja, bagaimana aku bisa melunasi hutang ku pada mu?"

Juza menghentikan pergerakan tangannya untuk menepuk-nepuk puncak kepala Azami. Namun sebelah tangannya masih berada diatas puncak kepala Azami.

"Jika kau masih bersikeras ingin bekerja di kafe, kau bisa menjadi pegawai partime untuk membayar kembali uang ku yang kau sebut sebagai hutang itu."

Kedua bola mata Azami berbinar, mendengar perkataan Juza. "Benarkah?"

Juza menganggukan kepalanya pelan. "Tentu."

Sebelah tangan Juza yang berada diatas puncak kepala Azami, kini mendekatkan kepala pemuda itu agar bersandar pada pundaknya dan dengan perlahan Juza kembali menepuk-nepuk puncak kepala Azami.

"Dan juga, kau tidak perlu khawatir dengan para paman dan bibi yang akan mencelakai mu. Karena kau saat ini sudah menjadi anggota keluarga kelompok gangster ternama di Yokohama. Mereka tidak akan bisa menyentuh mu dan tidak akan pernah ku izinkan untuk menyuntuh mu maupun Yuri."

Azami merasa terharu mendengar perkataan Juza. Belum lagi kini Juza juga sedang menepuk-nepuk pelan puncak kepalanya yang sedang bersandar pada bahu tegap pria itu. Membuat Azami merasakan perasaan nyaman.

Ya nyaman.

Hampir saja Azami memejamkan kedua matanya, jika dirinya tidak benar-benar tersadar dengan posisi tubuhnya saat ini dengan Juza dan kini kedua bola mata Azami membulat terkejut.

"Eeeehh?!"

Bab berikutnya