webnovel

44 Dia Lagi

Liza tetiba muncul setelah aku selesai merapikan semuanya pada tempatnya seperti semula. Aku duduk dan mulai mengoperasikan komputerku. Aku nyalakan dan aku duduk termangu. Liza datang dengan langkah gontai dan masuk ruangan admin masih dengan mulut membisu. Aku yang tahu kedatangannya itu tak urung membuatku ingin segera berlutut meminta maaf atas kelakuanku yang sedikit kurang ajar kepadanya itu (ah tidak! tidak, bukan sedikit! Tapi banyak kurang ajar itu). Aku sambut kehadirannya dengan bertekuk lutut dihadapannya seketika tanganku memohon, wajahku memelas.

"Liza, maafkan aku, aku berjanji tidak akan mengulanginya. Aku tidak ada maksud jahat. Lagian mana tahu kalau kalian berjodoh? Dia dan kamu sama-sama kaya raya kan?" mohonku kepadanya seraya mebinarkan tatapan yang paling pedih penuh ratapan selayaknya kepada Ibu tiri.

"Dah lah, Nez. Percuma kamu tuh selalu begitu. Mengulangi kesalahan dan meminta maaf lagi, begitu seterusnya. Memang begitulah karaktermu. Tak akan ada yang bisa merubahnya. Seenaknya sendiri dan semaunya sendiri." Dia memarahiku dengan ketusnya.

Aku segera memeluk dirinya. Apalagi? Ya aku hanya mengandalkan tangisan untuk aku bisa lebih meyakinkan dia bahwa aku sudah menyesal.

"Kamu selalu begini terus, mana bisa kamu dewasa. Mana pernah kamu enggak repotin orang?" imbuhnya dengan wajah sinis.

Liza masih tak mau menatapku. meskipun begitu dia tak menyuruhku atau memaksaku melepaskan pelukanku. Aku masih terus memeluknya dengan erat.

"Liz, lalu bagaimana menurutmu pria itu?"

"Aku mana tahu? Ketemu saja baru sekali."

"Ya, kan kesan pertama bagaimana penilaianmu?" jelasku padanya.

"Mungkin dia memang jodohmu, biar kamu di empu sama lelaki yang lebih dewasa, biar ikut jadi dewasa. Berapa umur dia?" tanya Liza selanjutnya.

"Aku enggak tahu pasti, tapi Ayah bilang umurnya sekitar 29 tahun, selisih lima tahun sama aku." Aku segera duduk di kursiku.

"Iya, dia berarti lebih dewasa dan itu cocok sama kamu."

"Ah, jangan gitu Liz, aku tuh nanya kesan kamu ketemu dia? Bukan kesan dia kepada aku. Apa kamu enggak ada minat sama dia? Aku comblangin gitu."

"Sembarangan!!! Aku gak se-putus asa itu keles." Liza sedikit sewot sedangkan aku terkekeh karena melihat ekspresinya.

"Dia ganteng sih, putih ya mulus juga untuk ukuran cowok. Kaya juga kan dia? Sebenarnya kamu bisa dibilang beruntung lho, tapi kalau aku? Sayangnya bukan kriteria aku. Lagian dia sepertinya ada guratan-guratan playboy ya?" analisa nya menduga-duga. Sepertinya iya karena orang tuanya saja pernah bilang dia pacaran melulu masa remajanya.

SEPULANG KERJA ...

Aku seperti biasa, menyapa Arman dan mengajaknya ke parkiran bareng, tapi ternyata Arman masih ada tugas hendak bertemu costumer Perusahaan kami. Aku ya lanjut saja berpamitan kepadanya untuk pulang duluan saja. Sangat kaget aku dibuatnya saat aku hendak melajukan motorku, sampai di pintu gerbang kantor kami, sudah ada mobil yang terparkir di depannya tepat. Ketika aku semakin mendekat ke arah pintu gerbang, dia semakin ikut maju. Begitu mobil itu seterusnya sehingga membuat motorku semakin tak bisa keluar karena lama-lama mobil itu menghadang motorku. Hei tunggu, ini mobil tidak asing. Ada merknya terpampang nyata aku baca A*d*s delapan? warna silver berkilau memantulkan cahaya matahari benar-benar menyilaukan mata.

Sesaat menyurut rasa marah dan keinginanku melabraknya tadi. Turunlah sesosok pria dari dalam mobilnya, ia berkaca mata hitam dan memakai jas berdasi yang lengkap seperti orang yang sama denganku, pulang dari kerja.

"Nez, kamu hutang sesuatu sama aku! Ayo turun! Kamu harus kasih aku penjelasan tentang kejadian kemarin itu," ujarnya kepadaku. Lelaki ini ternyata Royan. Dia mendatangiku kesini tanpa memberitahu aku.

"Eh, tidak ada yang perlu di jelaskan. Aku mau pulang," timpalku masih menaiki motorku.

"Kamu akan pulang dengan aku, taruh motormu disini. Naiklah ke mobilku. Aku mau kau jelaskan sesuatu!" Suruhnya itu sambil menarik-narik lenganku.

"Iiiih, apaan sih. Sakit tahu!" bentakku saat itu.

Kulihat dia membuka ponselnya dan menelefon seseorang.

"Assalamu'alaikum, halo Ayah? Inez pulang bareng aku, Yah. Aku sekarang sudah jemput dia. Ini Inez mau ngomomg sama Ayah."

What?! Dia menelefon Ayahku? Segitunya banget membuat aku ini harus ikut dengannya. Dia menyodorkan ponselnya kepadaku. Aku melotot dan berwajah kecut meraih pula ponsel itu pada akhirnya.

"Apaan sih, pake ngadu-ngadu segala, Hallo ... Ayah. Ada apa, Yah?"

"Hallo, Inez ... Ya, tidak apa kamu bareng sama Royan. Ayah malah senang kalau kamu makin dekat. Karena satu minggu lagi acara pertunanganmu, kan?!" sahut Ayah dari sana.

Aku sangat lesu dengan hal itu. Aku sudah lupa malah Ayah ingatkan lagi, kurang satu minggu. Hummm sampai saat ini aku belum memberi tahu siapapun. Aku tak tahu harus berlaku apa?

"Iya Ayah, sampai ketemu di rumah.

Assalamu'alaikum," sahutku lesu. Aku berlalu dan kembali ke tempat parkir untuk meletakkan motorku lagi. Kini diriku dengan gontai melangkahkan kaki. Kemarin aku bahagia karena pulang bareng dengan Arman. Sekarang aku seperti terbalik dan tersungkur dengan paksaan ikut dengan Royan.

Dia berlari-lari kecil membukakan pintu mobilnya untukku. Aku berjalan menundukkan wajahku. Tak pelak aku memasuki mobilnya juga. Dia pun segera melajukan mobil melesat menuju tempat yang aku juga tak tahu kemana.

"Aku menagih janjimu untuk dinner bersamaku, kemarin kau mengajakku tapi kau tinggalkan kami. Jadi aku minta gantinya hari ini," paparnya kepadaku. Aku hanya diam.

"Jangan sedih, Sayang. Aku takkan marah kepadamu atas kejadian kemarin. Lupakanlah semua, ya? Sekarang aku hanya ingin makan bersamamu," imbuhnya, tapi aku tetap tak bersuara.

"Jeng treng treng ... Jeng tring tring ...." tiba-tiba ada suara panggilan dari ponselku. Wah dia Arman? Membangkitkan senyum di hatiku seketika.

"Ya, hallo sayang." Aku sengaja bermanis-manis dengan Arman di hadapannya agar dia tahu aku masih belum berpisah dan masih berpacaran dengan kekasihku.

"Kamu dimana? Motormu sendirian disini, aku kira ke Benny, ternyata enggak ada," suaranya terdengar mencemaskan diriku.

"Aku taruh motorku disana dulu, karena ... Ehm ... Aku dijemput oleh dia, atas kemauan Ayah, tadi aku di telefon." Aku menjawabnya sambil menahan rasaku. Aku yakin Arman sedih dan cemburu seperti aku yang melihat Ayu bersamanya.

"Ooh, iya sudah. Tidak apa-apa, kamu baik-baik ya. Jaga diri dan kalau sudah di rumah telefon aku," pungkasnya mengakhiri komunikasi kami sore ini, aku mengiyakan dan ku akhiri dengan ucapan salam.

Royan nampak cuek sambil terus fokus menyetir mobilnya, kulirik dia sambil bersiul-siul menikmati musik yang ada di mobilnya. Dia tak menanyakan atau menatap aku. Biasanya kalau aku bicara lewat telefon dengan Arman, dia akan langsung menanyakannya. Tapi Ah, masa bodoh aku tak harus memikirkan perasaan dia. Dia juga sudah tahu aku tak terpisahkan dengan Arman.

TP* Plaza Surabaya? Tempat ini lagi? Humm ... Ngapaim kesini lagi? Aku tak selera. Sungguh! Dia membelok dan masuk ke arena parkir Mall Surabaya ini. Dia mengajakku untuk dinner disini. Selepas itu dia dan aku (dengan terpaksa) memasuki pintu masuk Mall yang besar seperti kemarin aku kesini.

Bab berikutnya