webnovel

13 Siapa Dia

"Aku tak mau nikah sama kamu!!" dampratku tanpa malu dan tanpa ragu.

"Aku sudah punya pacar dan aku hanya nikah sama dia," tukasku dengan tegas mengawali percakapan yang sejak tadi sunyi sepi diantara aku dan dia ditengah keriuhan sekitaran. Duduk di depanku pria tak kukenal, tak kenal tidak membuat aku sungkan dan tak pandang bulu mengindahkan situasi pertemuan pertama kami ini.

Anehnya, sungguh tak membuat bergeming pria berdasi ini. Berpenampilan parlente duduk dihadapanku yang berbanding terbalik dengan penampilan biasaku. Wajah kusam tak bermake up ini, baju yang kupakai standart dan bukan baju yang aku suka bahkan bisa kubilang lawas, untuk apa? Dia bukan orang spesial dan aku sengaja ingin meninggalkan kesan buruk dimatanya. Entah telinganya mendengar atau tidak dia hanya memainkan tangannya pada sendok yang sudah tertata rapi pada piring diatas meja.

Tersorot oleh kilauan lampu sebuah sudut ruang yang setengah remang namun cukup cahaya dihiasi dinding-dinding bergambar abstrak disertai tulisan-tulisan milenial yang kurang masuk akal tapi viral__aku tak membaca atau perdulikannya, menjadi pemikat kaula muda untuk bertandang bersama pasangan atau sekedar nongki dengan teman-teman berbaurnya. Bisa dinamakan Cafe anak muda dan mudi ini sedang ramai penuh pengunjung penikmat hidangan ala bintang sekian sekian yang kian malam kian hingar bingar dan berdatangan. Sudut ruang itu, di meja nomor empat itu, duduk dua orang berhadap-hadapan tanpa bertatap-tatapan, meskipun bukan pasangan, bukan pula sahabat, bahkan kenal saja tidak. Lelaki berjas abu muda dengan dasi berwarna coklat tua duduk tenang dengan santainya, satu tangan diatas meja, satu tangan ditaruh diatas jenjang kakinya. Duduk seakan menonjolkan kemachoannya. Celana setelan berwarna senada atasan, menempel pada kakinya. Wajahnya  maskulin dan bisa dibilang tampan terawat, namun takkan mampu membuat aku terpikat! Tidak akan pernah!

"Aku sangat mencintainya. Aku tak bisa hidup tanpanya, kita harus hentikan perjodohan ini," aturku pada lelaki yang sedari tadi tak mengeluarkan sepatah katapun dari bibirnya.

"Aku, aku juga sama, sangat mencintainya." Mulai mulai ia membuka mulut dan berkata-kata secercap yang membikin diri ini sontak menatapnya.

"Kalau begitu tunggu apa lagi? Kamu pria, punya power untuk menentang, beda dengan aku yang perempuan," tambahku kepadanya berdesir semangat seolah ada harapan yang aku sangka pudar.

"Tapi ... Semua telah berakhir. Dia meninggalkanku menikah dengan pria lain," ungkapnya yang akhirnya meluluhkan pula seberkas harapan sekian menit tadi. Dongkolnya aku nasib dia sepertinya sedang patah arah. Mana mungkin orang patah hati diajak diskusi? Yang ada gak bakal nyambung hanya bikin sedih ... Hadeeeh!

"Ya, kamu kan laki-laki? Kamu punya segalanya. Paling enggak! Tebar pesona tunjukin ke dia kamu dapat gantinya? Gak bakal lama deh, kamu juga kaya kan? Pasti banyak wanita yang mengejarmu. Jangan lunglai begini! Masak jadi cowok cemen sih?" Makin menjadi-jadi saja kekesalanku ini, lihat pria macam ini yang dipilih ayah untukku?___ Loyo!

"Aku sudah coba. Tiga bulan mencoba bangkit, yang ada aku makin kacau dan semua sudah hancur tak bersisa." Sorot mata pria itu menerawang nan jauh keatas langit seakan-akan tak ada harapan lagi untuk ditapakinya.

"Itulah yang akan kamu lakukan pada kami. Hidupku dan pacarku akan hancur oleh keputusanmu. Aku dipaksa putus oleh Ayah karena kamu," pintaku bernada sedikit merendah. Nada yang tidak setinggi awal mengumpat tadi.

"Sekarang aku tak lagi percaya pilihanku. Aku hanya yakin akan pilihan orang tuaku." Kata yang diutarakannya menusuk hatiku ini.

"What?! Kok enggak ada girhah sama sekali sih? Nih cowok apa cewek sih? Kamu enggak banget bagiku," teriakku yang menyaingi alunan lagu yang sejak tadi mengiringi para penikmat jamuan malam, yang entah lagu apa? penyanyi aslinya siapa? pelakon bandnya juga siapa? Sama sekali tak aku toleh sejak kedatanganku, karena fokusku pada masalahku dan orang ini.

"Sudahlah Nez, terima saja keadaan ini. Kalau sudah takdirnya mau apa? Kita sama-sama mulai lembaran baru." Titik lidahnya ringan sekali mengucap itu.

Menggeleng-geleng kepala aku dan wajahku mulai memerah menghadapinya. Dia tetap mengatakan dan mengatakan terus agar aku berusaha menerimanya serta menerima keadaan ini. Aku tangkupkan kedua tanganku menutup wajahku.

"Percayalah pada orang tua kita. Pasti pilihan orang tua tak akan keliru, aku butuh seseorang untuk mengobati lukaku, tenang saja aku akan membahagiakanmu, tak akan mengecewakanmu, kita akan lalui semua bersama." Eh siapa kamu sok-sok an membahagiakanku? Kenal aku saja tidak.

"Hah?!" Kubuka mata dan tertawa kecil menyeringai.

"Kamu saja tidak bisa mengobati kamu sendiri, lihatlah dirimu menyedihkan begini. Mana bisa bahagiakan orang lain? Kamu gak lucu!" cengiranku yang berbobot dan bernada ejekan kuharap menjadikan dia mentok.

"Ayahku hanya suka hartamu dan aku wanita yang lihat sendiri bukan wanita lembut dan manis. Aku suka berontak dan kamu lihat sendiri aku seperti ini, pasti kamu salah bila memilihku." Kugerakkan tanganku kekanan dan kekiri agar dilihatnya dengan jelas.

"Aku tak perduli. Aku hanya yakin pada orang tuaku," balasnya singkat.

Aku pikir tak akan ada artinya aku berlama-lama disini, yang ada makin dongkol makin bengol. Pria ini sama sekali tak ada apa-apanya dibanding Arman. Aku ingin segera pergi tapi aku juga tak ingin kembali kerumah. Aku geser tempat dudukku ke belakang bersiap bangkit dan kuangkat tasku dengan segera.

"Aku sudah selesai! Aku mau pulang!" Kupalingkan muka dan badanku, menjauh lantas melangkah meninggalkannya. Kesan pertama sungguh buruk dan menorehkan bekas kegeraman dihatiku.

"Inez tunggu, janganlah terburu-buru. Makan malam kita belum lagi disentuh," ulasnya berusaha mencegahku untuk meninggalkannya. Siapa dia? Tanpa izinku memanggil namaku, ishhh ... Aku tetap berlalu.

"Inez, bahkan kamu tidak menanyakan namaku? Mau tak mau aku calon suamimu," tambahnya yang memang berhasil menghentikan langkahku,

"aku Royan, Diego Royan Pradipta."

"Maaf, aku enggak tanya namamu." Kutolehkan wajahku perlahan.

"Bahkan Ayahku__orang yang menjodohkanmu sekalipun tak pernah menyebut namamu dihadapanku." Kutinggalkan dia dengan segera. Aku sudah tak tahan menahan beriak air mata yang sudah berkaca-kaca. Kulari-lari kecil segera ingin menjauh dari sini, dari orang menyebalkan itu. Memang kudengar dia berteriak memanggil-manggil namaku, menawarkan mengantarku, sayangnya aku tak tertarik sama sekali, yang ada makin kencang dan makin lebar langkahku. Kupanggil taxi yang memang berada di dekat parkiran Cafe, aku mau pergi. Aku tak tahu kemana dan aku tak mau pulang. Tangisanku yang tertahan mengalir pula untuk yang kesekian kali.

Nihil tak ada hasil pertemuanku dengannya. Aku kira dia akan mundur dan tak akan menyukaiku. Semoga dia memikirkan lagi keputusan ini. Semoga ada keajaiban di esok hari. Dia menolak perjodohan ini dan pergi jauh dariku serta keluargaku. Sikap keras kepala juga angkuhku yang aku suguhkan tadi, tak akan mungkin membuat para lelaki untuk sudi meminangnya.

Pak supir taxi yang sedari tadi menanyaiku juga tak aku gubris sama sekali, tetiba telinga ini mendengung keras tak mendengar sekitar lagi. Cara terakhir yang aku tunggu kabar baiknya, ternyata berakhir seperti ini.

Bab berikutnya