"Mas … aku benar-benar ingin cerai darimu," ucap Ratih menundukkan kepalanya.
Hartoyo yang sedang menikmati seruput kopi, tersedak mendengarnya. Tidak menyangka, bahwa istrinya bernama Ratih berani berkata seperti itu. Padahal dia telah mengarungi bahtera rumah tangga bersamanya kurang lebih 10 tahun. Kedua orang tua Hartoyo tidak mempermasalahkan hubungan kami, mengingat rumah tangga kita harmonis. Ketika saudara dia bernama Melinda melahirkan, Ratih dengan sigap membantu proses persalinan. Bahkan biayanya berasal uang pribadi.
Terlihat air mata Ratih, mengalir begitu saja. Hartoyo menaruh secangkir kopi, mencoba menenangkan sikap gundahnya akibat kesedihan yang mendalam.
"Ada apa toh, dek? Kenapa adek berkata seperti itu?" tanya Hartoyo mengelus pipinya.
Namun tidak ada jawaban darinya. Yang ada hanyalah tangisan yang terus menjadi-jadi. Tangan Ratih terus berusaha mengusapnya. Tetapi air matanya tidak mampu menahan tangisan lagi. Dia tiba-tiba memeluk Hartoyo lebih erat. Seakan-akan tidak mau melepaskannya begitu saja.
"Mas, tadi aku berkunjung ke dokter kandungan. Dokter bilang, aku mandul,"
Petir menyambar dari dalam diri Hartoyo. Sekujur tubuh pria itu dilanda shock mendengarnya. Indera pendengarannya tidak salah. Istrinya Ratih mengatakan mandul di depannya. Dia berharap dirinya salah dengar atas perkataan barusan. Dan berharap itu hanyalah mimpi belaka. Sayangnya, itu bukanlah mimpi. Wajahnya terus pucat disertai gemetaran, bingung harus mencari solusi ke siapa lagi.
"Maafkan aku, mas. Aku tidak bisa hidup bersamamu kalau tidak memiliki momongan. Apalagi banyak tetangga bilang bahwa mereka terus membanggakan diri anak-anaknya. Sejujurnya, mas aku ingin sekali mendapatkan momongan. Bahkan, aku terus berdoa kepada Allah supaya diberikan momongan, tapi—" belum selesai dia bicara, Hartoyo memeluk erat Ratih sembari mengusap-usap.
Suami Ratih coba menguatkan diri bersama dengannya. Hartoyo memeluknya hingga dia merasa tenang dan baikan.
"Dek, meski pun adek atau mas mandul, mas tetap sayang sama kamu. Tidak perlu pedulikan omongan orang lain. Yang ada malah dijadikan beban olehmu. Lebih baik adek sholat dulu dan berdoa lagi kepada Allah. Mas yakin, Allah pasti akan mendengarkan doa yang sungguh-sungguh," ucapku mencoba bersikap tegar.
Akhirnya, Ratih ke kamar mandi untuk menunaikan sholat maghrib dan istikharah. Hartoyo pun duduk sambil merenung. Sejujurnya, ada rasa kesal, kecewa dan marah terhadap diri sendiri. Bisa bayangkan, kehidupan mereka berdua selalu harmonis, damai dan tenang. Pertengkaran kecil dapat diatasi dengan mudah. Akan tetapi, karena pernyataan Ratih yang mengatakan mandul, dia kini tidak tahu harus berbuat apa. Jika Hartoyo menceraikan Ratih, terus bagaimana dengan nasibnya? Apalagi keluarga Ratih barusan sedang dilanda musibah akibat perusahaannya mengalami kebakaran. Sehingga mau tidak mau dia harus mengganti rugi semuanya. Total yang diganti mencapai puluhan milyar.
Beberapa menit kemudian, istrinya selesai mengambil air wudhu, memasangkan mukena untuk menunaikan sholat. Hartoyo langsung menyusul ke kamar mandi. Di saat mengambil wudhu, terlihat sebuah lingkaran putih dari dinding.
"Mas, mas! Itu apaan—"
Seorang laki-laki terlempar dari dinding. Disusul dengan perempuan berambut merah muda. Laki-laki itu terkena tumpukan darinya.
"Sakurachi! Berapa kali harus kubilang! Kalau menggunakan multiverse earth, sebaiknya memutar tuas warna biru!"
"Mau gimana lagi? Yuka dan Suzune tidak pernah mengajariku cara kemudi yang baik dan benar!"
"Bilang saja kau itu malas untuk belajar. Sudah kuduga kau hanya mengandalkan ototmu saja!"
"Apa katamu barusan, orang yang suka konsumsi sereal coklat?" cibir perempuan berambut merah muda.
"Lagi-lagi kau korban iklan, kah? Menyebalkan."
Baik Ratih maupun Hartoyo saling memandang. Keduanya tidak mengerti kata asing tersebut. Multiverse earth? Cara kemudi Apa yang mereka bicarakan? Ucap Hartoyo kaget dalam hati. Dia bergegas mengambil sapu lidi, langsung mengarahkan ke laki-laki dan perempuan bernama Sakurachi.
"Kalian siapa! Bagaimana kalian bisa masuk ke kamar?" kata Hartoyo dengan bernada tinggi.
Namun laki-laki itu tidak merespon. Kemudian, Sakurachi membuka jaket yang ada di dalamnya. Ketika membuka resleting jaket, terlihat anak bayi perempuan sedang tertawa gembira.
"Syukurlah bayinya baik-baik saja,"
"Ya. Kurasa bumi ini aman untuk ditinggali seorang bayi,"
"Tunggu! Apa maksud kalian?"
Wajah Goro merengut. Tiba-tiba ekspresi pemuda itu menatap tajam kepada mereka berdua. Ratih yang ada di sampingnya, langsung memeluk Hartoyo dari belakang. Wajah dan tubuhnya ketakutan. Sakurachi memberikan anak bayi kepada suami istri itu. Secara spontan, Ratih menggendongnya selayaknya anak mereka sendiri. Suara tangisan bayi pecah. Berusaha ditenangkan oleh Ratih yang memiliki naluri sebagai seorang ibu.
"Istrimu sedang mandul kan? Kebetulan sekali. Aku ingin kau merawatnya seperti anakmu," katanya tanpa ada rasa bersalah sama sekali.
"Berani sekali kau mengatakan seperti itu di depan istriku! Kau pikir kau siapa huh!" bentak Hartoyo disertai nada mengancam.
"Mas, jangan teriak-teriak! Nanti bayinya menangis lho!" ucap Ratih mengingatkan.
"Maaf, maaf." Jawab Hartoyo, Goro dan Sakurachi mengiyakan.
Lalu, ketika Hartoyo mengambil pisau dapur, tangan kanan Goro mencengkramnya. Sayangnya, dia kalah cepat karena benda tajam itu sudah didapat duluan. Menebasnya kepada laki-laki brengsek itu dan perempuan tidak tahu diri itu.
"Sekali lagi kau bilang istriku mandul, akan kubunuh kau sekarang juga!"
"Mas, hentikan!"
Namun bukannya takut, Goro malah semakin berani. Tatapannya semakin tajam, membuat bulu kuduknya berdiri. Perempuan itu menghela napas. Sakurachi menepuk pundak laki-laki itu.
"Goro … kalau Kapten Gufron mendengar hal itu, bisa-bisa kau dicincang olehnya. Ditambah lagi, mereka berdua pantas mendapatkan momongan," ujar Sakurachi.
"Entah kenapa, mendengar darimu membuatku kesal. Tapi baiklah."
Keringat dingin membasahi pipi Hartoyo. Tidak menyangka tekanannya begitu tinggi. Seolah-olah mereka merupakan tentara yang dikirimkan untuk merawat bayi itu. Hartoyo menarik napas dalam-dalam, bersikap tegas dan melindungi keluarganya dari ancaman misterius. Jika dipikir-pikir, kedua pemuda itu bukanlah pasangan suami istri. Hartoyo ragu jika tidak ada jari manis pada jemarinya.
"Maafkan aku menyela. Tapi kenapa kami? Bukankah kalian pantas merawat bayi ini?" tanya Hartoyo.
"Kalau kami merawatnya, apa kau ingin bayi yang kau gendong ikut berperang melawan pasukan Titan? Seharusnya kalian bersyukur Tuhan kalian memberikan mukjizat berupa munculnya bayi di rumah kalian. Tapi bagi kami, eksistensi kami berawal dari ciptaan Prometheus. Bisa dibilang, kami hanyalah pelayan bertugas membantu Dewa-Dewi kami yang sudah punah," kata Goro menjelaskan.
Mendengar penjelasan dari Goro membuat Hartoyo dan Ratih pusing tujuh keliling. Mereka mengimani adanya Tuhan Maha Pencipta. Lagipula, dia meragukan eksistensi asal usul Dewa Dewi itu sendiri.
"Kami bukan Dewa atau Tuhan. Tapi jika aku jadi kau, kuterima saja pemberian bayi ini. Dia masih suci. Orang tuanya tewas saat melindungi dari serangan monster. Dan kapten kami, Gufron merasa terpukul atas kejadian itu. Jadi ..."
"Kami berharap dengan adanya bayi ini, kalian tidak perlu khawatir soal masa depan. Yang harus kalian lakukan adalah merawatnya hingga sudah besar nanti. Seandainya kapten kami datang untuk berkunjung, Izinkan dia untuk melatih anak kalian. Supaya bisa dibekali rasa tanggung jawab dan lebih baik."
Akhirnya, suami istri menarik napas lega. Ratih terus menenangkan bayi tersebut sambil tersenyum. Sedangkan Hartoyo mencolek kedua pipinya. Goro dan Sakurachi memasang wajah serupa. Melihat kebahagiaan mereka yang tidak terduga.
"Begitu ya. Begini saja. Anggap kejadian ini kami lupakan dengan syarat, kami ingin mengadopsi bayi ini." Usul Ratih memantapkan diri.
"Sayang, apa yang kau bicarakan?"
"Ok, done! Kita pergi, Sakurachi," jawab Goro singkat. Sakurachi melongo melihatnya.
"Namanya Aisyah Marwadhani ... beritahu sama kapten kalian," ucap Ratih tersenyum.
Sebuah lingkaran muncul dari atas. Dengan kecepatan tinggi, lingkaran tersebut melenyapkan kedua orang itu. Tanpa mempertimbangkan dari Hartoyo. Pada akhirnya, mereka tidak menjelaskan secara kronologisnya. Ya sudahlah karena mereka mempercayai kami, Katanya dalam hati.
"Mas, haruskah kita percaya kepadanya? Kok rasanya mereka berdua susah dipercaya," celetuk Ratih meninabobokan bayi angkat mereka.
"Biarin saja dek. Toh kita sudah bersyukur telah mengadopsi bayi perempuan."
"Tapi kenapa mereka bilang perang? Bukannya perang sudah berakhir ya?"
"Entahlah. Aku sendiri tidak tahu," akui Hartoyo mengangkat kedua bahunya.
Dalam hati kecil Hartoyo, apa yang dikatakan istrinya memang benar. Mulailah terlintas ribuan pertanyaan daripada pernyataan dari Goro dan Sakurachi. Untuk saat ini, mereka saling sepakat dalam satu hal. Istrinya sudah mulai tenang pasca ada bayi di rumah mereka. Meski mukjizat yang diturunkan benar-benar aneh, setidaknya Hartoyo selalu mengucapkan rasa syukur kepada Tuhan. Hartoyo ke kamar mandi lagi untuk berwudhu, melaksanakan sholat secara berjamaah di rumah.
"Tapi beruntung sih mereka tidak banyak tanya. Kalau mereka lebih bertanya mengenai jati diri kita, bisa-bisa kita bakalan dimarahi oleh Gufron. Membayangkan marahnya dia saja membuatku bergidik!" kata Sakurachi tidak mampu membayangkan apabila hal itu terjadi.
Namun Goro setidaknya mengerti perasaan orang tuanya, di mana mereka menginginkan momongan yang tidak kunjung hamil.
Goro meminum teh hangat yang tersisa. Melihat Sakurachi dengan rasa iba. Wajar sikap gadis berambut pink berbeda dari saat bertemu pertama kali. Kali ini, isinya menggerutu dan mengeluh tidak ada habisnya.
"Tapi apa yang disampaikan oleh Gufron ada benarnya. Dunia ini terlalu damai sekali!"
Laki-laki berkacamata mengamini perkataannya. Dia berharap keputusan menyelamatkan Aisyah waktu itu sudah tepat. Kini tinggal menunggu waktu untuk menemui Gufron setelah dia terbebas dari kurungan menara.
Sesampainya di hotel, Jimmy membuka satu persatu file dokumen dari Goro Tsukishima. Dia tertarik dengan nama-nama yang sudah diberikan. Dimulai dari Aisyah Marwadhani, Florensia Sihombing, Rachel Kangean Nababan, Miranti Indah Lestari dan Fanesya Nurianti. Kemudian, ada nama Ivan Nurhadi Purnama pada list tersebut. Menuangkan teko berisi teh hangat, lalu menuangkan ke dalam cangkir. Lalu menyeruput sambil memperhatikan masing-masing latar belakangnya. Tidak ada yang menarik karena tidak ada hal yang luar biasa. Terlebih dia sudah mengetahui relasi Miranti dengan Florensia. Keduanya sama-sama menganut Katolik di Gereja Vatikan. Tinggal menunggu waktu untuk beradu pedang dengannya. Walau demikian, yang masih mengganggu adalah Aisyah serta relasi dengan Florensia. Memang, keduanya satu sekolah sekaligus bertarung secara kebetulan melawan Vega. Namun bukan itu saja. Kekuatan Aisyah masih perlu diasah kembali. Begitu juga dengan anggota-anggota lainnya. Masing-masing dari mereka memiliki kemampuan yang unik.
Jimmy bangkit berdiri dari kursi, menatap jendela hotel sambil menikmati pemandangan udara sejuk. Dia meregangkan pergelangan kedua tangannya sambil menarik napas cepat.
"Ini akan menjadi menarik."
Chapter ini sudah kurombak karena mengusung POV 1. Sekarang, aku telah menggunakan POV 3. Selain itu, nama pemberian Aisyah di sini sudah kusebutkan. Jadi tidak perlu bingung lagi.
Creation is hard, cheer me up!
Your gift is the motivation for my creation. Give me more motivation!