webnovel

Sidang Ala Gio

-Moirai Valentine-

Nasib punya sepupu bar-bar itu kadang nguntungin, dan kadang kala nyebelin. Persis kaya Gio.

---------------------------------

Kaadan kelas F, mulai terlihat lebih kondosif dalam kata normal, terlalu normal untuk mereka sendiri.

Jika anak-anak lain, mereka akan membahas jadwal ujian atau paling tidak cita-cita mereka yang beragam. Maka tidak mau kalah, kelas F, asrama Libra juga membahas perihal yang sama.

Jauh di pojok ruangan, anak laki-laki bergerombol membahas tentang ujian, strategi kelulusan dan cita-cita masa depan.

"Tahun ini jangan kaya tahun dulu-dulu, kita harus berubah menggapai target untuk setidaknya lulus." Kevin, si ketua kelas sudah memberikan wajenang kebesarannya.

Maura yang tadinya menyandarkan tubuhnya ke kursi langsung menoleh, saat mendengar kata-kata bijak yang keluar dari mulut tukar buat onar, seperti sepupunya Gio.

Alisnya mengerut bingung. 'Itu si Kevin tadi pagi habis keracunan atau apa? Kenapa menjadi bijak mendadak, eh?' guman Maura dalam hati.

"Tidak perlu nilai bagus, karana Gua paling paham kemampuan otak kalian yang hanya nyangkut sedikit, yang penting kalian lulus! Kasian duit orangtua habis gak ada hasil," lanjutnya.

"Kita gak masalah tentang itu Vin. Sebenarnya tujuan kita sekolah bukan untuk lulus, ya gak teman-teman?" Rio berteriak mencari dukungan.

Yang lainnya menganggu membenarkan. "Lulus atau enggaknya itu gak penting, yang penting itu kita di terima di kementrian, punya mobil dinas sekaligus rumah mewah."

Kampret!!

'Itu sama aja dodol!'

Maura mendenggus, rasa kagumnya kembali dia tarik. Ternyata anak-anak di kelasnya tidak berubah sedikitpun, pikiran sedarhananya sudah mendarah daging.

Maura kembali menarik dirinya. Meninggalkan anak laki-laki yang tertawa terbahak-bahak.

Pemikiran anak laki-laki berbeda jauh dengan anak perempuan. Jika si ketua kelas dan buntut-buntutnya sedang membahas masa depan, maka kumpulan anak perempuan yang tak jauh dari mejanya juga tengah membahas ujian.

Hanya saja bukan hari ujiannya yang mereka bahas tetapi setelah hari ujian, alias hari liburnya, kampret!

Luna dan Mira sedang membahas rencana liburan kelur negri demi mengejar tour konser idola mereka.

"Lun, emang Lo punya duit buat keluar negri?"

kalo Maura jadi Luna, dia ogah buang-buang duit untuk hal seperti itu. Bukan karena dia sayang, kalo bisa Maura juga mau, tapi dia lebih takut ancaman Mamanya yang akan mencoretnya dari daftar kartu keluarga.

"Punya dong, kita-kita dapat teket gratis. Tinggal nyari penginapan aja sama ongkos pulang pergi."

Maura memayunkan bibirnya, merasa iri tapi tak sampai. "Belajar dulu sana, ujian belum mulai malah mikirin liburannya." ketus Maura.

"Lo gak bosan, Ra. Belajar sepanjang tahun juga gak bakalan mengubah nilai D jadi A plus. Jadi percuma aja, apalagi kita-kita yang sudah di takdirkan untuk memiliki nilai D." Luna berseru.

Mira mengangguk mengiyakan, "Gua kasian lo sama si D, kalau bukan kita-kita yang memilikinya siapa lagi, orang-orang lebih memilih nilai A plus di bandingkan nilai D."

"Hm … kasian dia dijauhi."

Kampret!

Maura tidak tau harus mengatakan apa lagi. Lidahnya sudah kelut, membeku seketika.

'Susah memang kalo ngomong sama orang yang otaknya sebatas jengkal.'

Sebodoh-bodohnya Maura, dia masih dua tingkat dari Luna dan Mira.

'Rengkeng tiga dari bawah.'

Pada saat yang bersamaan, salah satu anak laki-laki di kelasnya berteriak-teriak, menyebut nama Maura. Ia berlari dan masuk ke dalam kelas dengan napas terenggah-enggah.

"MAURA!! LO HARUS LIAT INI, ITU … DI KAFETERIA, ERLANG SAMA SEPUPU LO, GIO-"

Mendengar nama Gio dan Erlang, Maura langsung bereaksi. Ia bangkit, "Kenapa dengan mereka? Apa mereka berantem?" ucapnya dnegan cepat.

Pria itu mengeling, ia meletakkan tangannya kelulut sambil mengatur napasnya yang hampir putus-putus.

"Gak tau!! Pokoknya mereka sedang dalam sidang pribadi."

Degh..

"Bangkit Ra, kakak Lo pasti lagi introgasi si Erlang, kemaren lo kencan sama dia bukan?" tanpa menunggu reaksi dan respon Maura, Luna langsung menarikanya untuk berlari ke Kafeteria.

"Gio kampret!!" gerutu Maura.

---------Moirai Valentine--------

Kafetria lebih sunyi dari biasanya. Bukan kerena tidak ada yang berkunjung. Lebih banyak malahan, hanya saja mereka lebih memilih diam mendengarkan tanpa berani bicara sepetah kata pun.

Erlang tidak tau apa yang membawanya duduk bersama segerombolan 'kuda bersayap' ini. Yang sialnya lagi tanpa Gilang dan Bintang yang tidak tau rimbanya.

Erlang menghela napas pelan, ia meraih minuman yang tadi dia pesan, meminumnya sampai habis setangah. Iris kelabunya menatap keadaan sekitar yang memiliki suasana berbeda, tengang dan sunyi.

Di tengah-tengah, ada Gio Abraham yang Erlang kenali sebagai sepupunya Maura, ia masih mengenakan kaos futsalnya. Keringat di pelipis masih belum di sapu.

Di kiri dan kanannya juga terdapat anak-anak asrama Pegasus lainya yang menenakan kaos tim yang sama.

Damn it!! Apa dia sedang di keroyok?

"Jadi, Lo benaren kencan sama adikku semalam?" tanya Gio mencoba mengintimidasi.

Hanya saja itu tidak berarti apapun untuk seorang Erlangga Lorenzo. Pria itu mengangguk membenarkan.

Dilihat dari situasinya saat ini mungkin saja seupupunya Maura itu ingin mengintrogasinyaa habis-habisan, sebagai seorang kaka, yang adiknya sedang dikencani pria asing.

Apa dia juga akan di pukuli?

Erlang terkekeh saat banyangan itu terlintas di dalam pikirannya. Erlang kembali meminum minumannya, mencoba mengatasi rasa canggung dengan pikirannya tadi.

"Kau serius berkencan dengan gadis pemalas itu, lo gak di pelet kan sama Maura?"

"Uhukk!!"

Erlang melotot, tidak percaya. Ini sunguh di luar perkiraan. Mana ada saudara yang tidak memepercayai saudaranya sendiri, malah terkesan mencurigai.

'Keluarga unik.'

Erlang ingin tertawa tapi dia urungkan, "Kenapa sampai ngira gua di pelet?"

Gio mengendurkan posisinya, alisnya terangkat tinggi, "Aneh Lo kalo cowo kaya Lo naksir sama Maura, kalian tuh beda kaya bumi sama langit, Lo itu langit dan Maura itu semut di bumi."

Jauh bangat..

"Seluruh sekolah sudah heboh sama surat Lo dulu. Anak perempuan semuanya frustasi."

"Mungkin mereka akan mati bunuh diri besok saat mengetahui kalian benar-benar berkencan." lanjut Gio menyuarakan pendapatnya. "Jadi apa yang bikin Lo suka sama Maura?"

Erlang terkekeh samar. Pria itu tampak berpikir sejenak. "Dia unik." ucapnya santai.

Sidang mereka ditunda beberapa detik saat pesanan mereka datang. Gio yang sedar tadi sudah memasang raut garang, jadi tambah garang karena teman-temannya berebut minuman dingin.

Erlang memperhatikannya. Dia tidak terlalu tertarik dengan klub manapun di sekolah ini. Padahal dulu dia juga menyukai futsal.

Hanya saja itu tidak akan berpengaruh pada keadaannya.

Tuh pada akhirnya dia akan tetap ditarik ke kementrian apapun yang terjadi, karana itulah takdirnya.

Beda dengan anak-anak dari asrama Pegasus. Mereka bebas menentukan apa ikut di kementrian sebagai staf atau memiliki jalan karir sendiri seperti olahraga misalnya.

Gio berdaham, membuat Erlang membuyarkan lamuananya.

"Jadi, hanya karena dia unik, Lo tertarik sama dia?"

"Ya … kurang lebih seperti itu."

Erlang juga merasa nyaman dalam beberapa hari ini semenjak mengenal Maura. Dia terlihat lebih santai walaupun tekanan terus menghimpitnya.

"Sepertinya Lo juga unik, makanya masuk karekteria Maura, kaya Bara. Apa Maura pernah cerita kalo dia tergila-gila sama Bara?" tanya Gio santai.

Erlang menyipitkan matanya, "Bara siapa?"

Bersambung..

Bab berikutnya