Perasaanku benar-benar kacau dan tidak mengenakkan. Rasanya apa yang dijawab oleh Ambu tadi benar-benar membuat hatiku teriris. Posisiku sebagai menantu, seolah-olah tidak begitu bermakna, jika dibandingkan dengan Yani, yang seakan sudah begitu akrab dengan keluarga suamiku ini.
Wanita itu datang karena rindu dengan Ambu juga Rena, sebab sudah lama ia tak berkunjung. Kesimpulan yang kuambil dari penuturan singkat Ambu adalah, bahwa Yani cukup berarti bagi keluarga mereka.
Aku dan Alan telah berada di perjalanan menuju entah ke mana. Saat dia bertanya kepadaku mengenai tujuan yang akan ditempuh, sama sekali tak ada jawaban dariku. Pikiran ini masih dipenuhi oleh prasangka-prasangka kurang bagus atas kejadian tadi.
"Nada. Kamu lagi mikirin apa?" Alan membuatku kembali beralih pandang kepadanya.
Lagi, tak kujawab, hanya diam saja kemudian sibuk dengan pikiran sendiri.
Bagaimana jika seandainya, Yani itu ternyata adalah istrinya yang terabaikan? Ya Allah, aku pelakor dong. Mungkinkah kisah masa lalunya ini terlupakan oleh Ayah, atau tak terselidiki.
Apa yang harus kulakukan, kalau ternyata memang benar begitu adanya?
"A', kita pulang aja. Kepalaku sakit."
Saat ini, kepalaku memang mulai berdenyut. Pikiran-pikiran buruk telah menguasai isi kepala.
"Apa sakit banget?" Alan menatap sekilas, saat arah pandangku juga tertuju kepadanya.
"Iya," jawabku sambil menyandarkan kepala di jok.
Aku tidak mungkin bisa menerima kenyataan, kalau ternyata dia telah berbohong dan menyembunyikan identitasnya. Tidak sanggup juga rasanya, jika julukan 'pelakor' disematkan kepadaku.
Kepalaku kian berdenyut saja, aku bahkan sampai mengurutnya dengan jemari.
Sesampainya di rumah, Ibu tampak khawatir melihat keadaanku.
"Nada, kamu kenapa, Nak?" tanya Ibu sambil meraih wajahku.
"Nada sakit kepala, Bu, rasanya mual, mau ke kamar dulu."
Kupikir Ibu akan khawatir mendengar jawaban ini, ternyata ia justru malah tersenyum lebar.
"Alhamdulillah, akhirnya sebentar lagi Ibu dapat cucu," ucap Ibu sambil menepukkan tangan di depan dadanya, dengan senyuman yang kian lebar saja.
Bagaimana bisa dapat cucu, Bu? Melakukan apa pun saja belum. Ya sudah, biarkan Ibu dengan pemikirannya sendiri, kepalaku sudah semakin sakit tak terkendali. Perasaan ingin mengeluarkan isi perut pun juga kian terasa.
Aku segera berlari ke dalam kamar, dan memuntahkan cairan kuning yang terasa asam. Ini jeruk, tadi sempat makan buah itu di rumah Ambu.
Setelah muntah, kondisi kepalaku sedikit membaik. Aku sempat terkejut saat melihat Alan sudah berada di ambang pintu kamar mandi. Wajahnya menyiratkan kekhawatiran teramat sangat.
Baru kali ini aku merasakan sesuatu yang menyesakkan dada, bahkan sampai membuat kepalaku sakit, hingga muntah-muntah.
"Kamu nggak apa-apa?" tanyanya meraih lenganku untuk membantu menuntun menuju tempat tidur.
"Aku bisa sendiri." Kutepis tangannya, sebelum menyentuh lengan ini.
Sejenak Alan terpaku di tempat ia berdiri, membiarkanku melewatinya begitu saja. Aku memang bisa melakukannya sendiri. Berjalan hingga tempat tidur saja apa susahnya, dekat kok.
Ketika aku telah berbaring di atas kasur, Alan kembali mendekati. Ia hendak meraba keningku, tapi kutepis kembali.
"Jangan sentuh aku, A'. Aku nggak apa-apa, kok." Aku berujar ketus kepadanya.
"Apa kepalanya masih sakit?" tanyanya tak patah arang.
"Iya, karena itu, Aa' pergi aja sana. Biarin aku sendiri. Mau istirahat."
Entahlah bagaimana ekspresinya menerima jawaban ini? Aku hanya ingin memejamkan mata, tidur dan tidak mempedulikan apa pun lagi, untuk saat ini.
Tanganku terasa dipegang, aku terkejut, seketika menariknya dengan kuat. Namun, yang memegang justru lebih bertenaga.
"A', aku bilang jangan ganggu aku dulu!" ujarku dengan intonasi suara yang sedikit meninggi.
***
NB : maaf ya kakak2, lama banget aku nggak up.. tak kasih 2 bab tiap hari deh..