webnovel

GARA-GARA AIR WUDHU

Ngapain sih, lama banget dia di sini. Sengaja pasti dilelet-leletin, nukar tiga puluh unit aja sampe berhari-hari. 

Sekarang, baru megang lantai tiga. Dan hari ini aku dibikin nganggur. Ya udah deh, duduk di nursery room, mumpung nggak ada para-para busui yang mau pumping. 

Aku mainin HP aja dari tadi, Cici sibuk di lantai dua, konsultasi masalah laporan yang dia buat sama bagian pencairan. Empat ADM lainnya, juga nggak tahu kemana, ke kantin kayaknya, di sebelah kantor. 

Aku nggak laper. Padahal bentar lagi jadwal makan siang. Ya udah deh, telpon Aldo aja. 

"Hai."

Dia jawabnya selalu gitu, setiap ketemu, angkat telpon atau apalah. 

"Hei. Kamu baru bangun?"

Setelah kejadian malam itu, aku sama Aldo hubungannya jadi rada kikuk. Jujur aja, sebenarnya aku dilema. Nggak bisa mutusin dia. Bayangin aja, empat tahun proses saling kenal, dia selalu perhatian, apa yang aku inginkan senantiasa ia usahakan. Kelembutan tutur katanya, yang bikin siapapun adem dengarnya. 

Bagaimana bisa aku minta putus. Meskipun Ayah udah bilang nggak boleh, tapi hubungan itu tetap kujalani diam-diam. Aldo tetap selalu jemput, dan kembali menurunkanku di ujung gang. Walau hati rasanya tidak ingin, tapi, untuk berpisah pun nggak sanggup. 

"Kenapa? jelas banget ya suara baru bangunnya?" 

Aldo terdengar tertawa kecil. 

"Iya." 

Aku juga tertawa kecil. 

"Eh, gimana, nanti sore aku jemput lagi kan?"

"Iya," jawabku singkat. 

Aku pengen Aldo belajar ilmu agama, biar bisa ketemu Ayah lagi. 

"Kenapa Nad? ada masalah?" 

Aldo membuyarkan lamunanku. Sejak malam itu, rasanya masalah selalu aja ada, ditambah kehadiran cowok ini di kantor. Aku belum cerita ke Aldo, malas aja. Ngapain cerita soal yang nggak penting gini. 

"Nad, kamu coba deh lihat konten terbaru aku, baru upload tadi. Ekspresi cewek itu lucu," tukas Aldo sambil tertawa. 

Hatiku selalu panas setiap kali dia bikin konten sama cewek-cewek. Bikin mereka klepek-klepek sama suara emasnya itu. 

"Oh ya, apa judulnya?" tanyaku agak malas.

"Mbak Cantik Baper Sendiri."

Aldo ketawa, tapi aku nggak. Mana bisa itu dibilang lucu. 'Mbak Cantik Baper Sendiri', siapapun ceweknya, kalau udah urusan sama wanita lain, nggak bakal mau nerima ini. Cowok sendiri puji wanita lain, trus diupload dan disebar luaskan. Sementara aku, nggak pernah tu divideoin, dibikin baper dan masuk kanal youtube dia. 

"Kamu lihat deh, Nad. Kamu bakal ketawa nanti lihat ekspresi dia."

Aku bakal ketawa? Ha ha ha, selucu apapun jangan harap itu semua terjadi. 

"Ya udah deh, udah Zuhur, aku mau sholat dulu."

"Lho bukannya kamu katanya haid, kemaren ditanyain sholat jawabnya, lagi nggak."

"Oh, udah bersih lagi. Baru hari ini. Dah ya, Al, bye."

Nggak nunggu lama, aku matiin aja telponnya.

Sebentar lagi emang adzan, dari pada menung-menung nggak jelas sendiri di sini, mending ke musholla aja, nunggu sampe adzan. Aku turun dengan langkah gontai, musholla di lantai bawah. 

"Ci, yuk."

Kulihat Cici udah selesai urusan sama tim di lantai dua, dia lagi mencet-mencet HP sambil berdiri di depan meja staf pencairan. 

Cici noleh, trus ikut deh sama aku ke bawah. 

"Ngapain sih lama banget urusannya?" tanyaku penasaran. 

"Nggak tahu, kan kita dapat data laporan dari bank pelapor, trus di data kita kan diinputin lagi, pas gue periksa bener-bener laporan dari mereka salah, kayaknya lupa nukar nomor sertifikatnya deh. Ya udah, pas mereka mau klaim, guenya yang lupa ngedit. Tadi lama karena rundingin itu. Sampe kita nelpon pihak banknya, minta kirimin data perbaikan."

Cici ngomong panjang lebar. Aku dengerin semuanya. 

"Seharusnya pas tahu nomor sertifikatnya salah, loe langsung hubungi banknya lah. Kalau kayak gini kan, lo sendiri yang kerepotan."

"Iya." 

Cici cengengesan. 

Kami duduk di bagian syaf wanita, dan mukena juga sudah kami ambil. Sambil menunggu waktu sholat masuk kami mengobrol sejenak. 

"Itu teknisi komputer, yang nggak pake seragam, lo liatkan?"

Kenapa sih, kebanyakan kaum hawa di kantor ini selalu ngebahas dia. Pasti dia kan, si Alan. Kali ini aku akan menyebut namanya baik-baik. 

"Yang mana? nggak pake seragam kan dua." 

Kelihatan banget aku lagi males nanggapin.

"Yang agak tinggi, yang bentuk matanya dalam."

Sementara Cici terlihat sangat semangat.

"Gue nggak tahu jenis-jenis mata, jadi tolong lo sebutin aja yang mana?"

Dua orang itu, sama-sama memakai kemeja berwarna biru tua. Sepertinya memang seragamnya deh. 

Cici lalu menyenggolku. 

"Gaya lo, dia aja kenal kok sama lo. Buktinya tadi manggil lo, cuma lo kayak jual mahal gitu."

Nggak nyangka gue, Cici peratian sampai segitunya. 

"Siapa dia?"

Aku menoleh ke arahnya, "Lo beneran mau tahu?" 

Dengan sigap Cici mengangguk. "Iya dong."

"Inget gue kecelakaan waktu itu?"

Cici mengangguk.

"Cowok sialan yang udah nabrak gue itu, ya dia. Si Alan."

"Ah, nggak mungkin ah!"

Tu kan, dibilangin, dia nggak percaya. Ya udah. 

Melihat aku cuma diam, Cici udah ancang-ancang mau nanya lagi, tapi keburu muadzin kantor udah adzan. Kami pun berdiri dan siap-siap mau ke toilet, abis tu wudhu.

Langkah-langkah kaki udah banyak yang berjalan ke arah musholla, yang didominasi kaum ibu-ibu. Antara toilet dan tempat wudhu letaknya juga berbeda. 

"Nad, gue duluan wudhu ya."

Cici teriak dari luar, aku iyain aja. 

Nggak lama aku juga keluar, baru buka pintu, udah banyak aja Ibu-ibu yang antri. Senyam-senyum deh sapa mereka. Trus aku langsung menuju tempat wudhu. 

Selesai wudhu, aku jalan ke mushola, sambil rapi-rapiin jilbab biar nggak keliatan rambut. Pas mau nginjak teras, nggak sengaja noleh ke kiri. Semriwing, seperti lihat pemandangan yang menyegarkan. 

Aku sadar dia siapa, tapi entah kenapa bola mataku nggak bisa berpindah ke yang lain. Air wudhu yang membasahi wajahnya itu, bikin adem seketika. Sampe masuk pun aku masih meratiin dia. Ya Allah, kenapa harus dia yang membuat mata ini terpana?

Sampai di dalem, aku sengaja berdiri lama-lama biar bisa ngintip-ngintip ke depan melalui celah-celah tirai yang kebuka. Pas banget langsung kelihatan, dia lagi sholat sunat. 

Gerakan sholatnya sempurna. Lihat dari belakang ini aja rasanya bikin nyesek. Kenapa dia musti kelihatan perfect gini, di saat rasa sakit hati gue belum ilang. 

Cici menarik-narik mukenaku, sampai bikin kepalaku miring-miring.

"Apa sih, Ci?"

Gondok kan jadinya. 

"Lo ngapain berdiri aja dari tadi, sholat sunat juga kagak. Modus lo ya, liatin cowok itu kan?"

Cici pakai nunjuk-nunjuk sambil ketawa geli lagi. Langsung aja, sekitar liatin aku. 

"Hust." 

Aku suruh dia diem. Enak aja nuduh-nuduh. 

------------

Anehnya, abis sholat, aku jadi curi-curi pandang gitu ke dia. Meratiin dari balik pembatas, kalau-kalau sosok dia muncul, aku juga bakal buru-buru selesai dan keluar. 

Sepuluh menit kemudian, sosok yang kutunggu-tunggu itu muncul juga. Pas dia noleh ke arahku, segera aja deh buang muka, pura-pura ngomong sama Cici, yang udah nangkap basah kelakuan absurdku kali ini. 

"Yuk."

Bukan aku yang ngajakkin keluar, tapi Cici. 

"Kita ke kantin yuk." 

Perutku dah laper, kuajak aja Cici keluar. Dan langsung diiyain sobat karibku di kantor ini. 

Entah harus kubilang ini sebuah kemalangan atau keberuntungan, si Alan sama temennya juga teknisi-teknisi komputer makan di tempat yang sama.  Cici terlihat melambai-lambai ke arah Alan dan temennya, pokoknya ke semua orang itu deh. 

Aku?

Ngapain? 

Nggak ada, malah sibuk milih-milih sambal. Aduh, kok jadi terkesan sombong gini, cuma gara-gara satu orang itu aja. Huft!

Malah meja yang kosong nggak ada lagi. Akhirnya kita berdiri aja, sampe dua orang teknisi di meja Alan berdiri. 

"Ci, Nad, sini."

Temen Alan, yang bernama Zylan manggil aku sama Cici. Berasa udah akrab aja deh. 

Cici semangat banget nyamperin, sampe narik-narik tangan aku yang lagi pegang piring. 

"Wah, makasih udah ajak gabung," ucap Cici riang ke arah Zylan dan Alan. 

"Iya, santai aja, nggak mungkin makan sambil berdiri juga kan!" 

Zylan menimpali. 

"Iya bener, nggak baik buat kesehatan."

Ih, Cici juga sok akrab lagi sama mereka. Sementara aku, diam-diam aja sambil senyum-senyum kecil, nggak ke Alan lho ya. Tapi, ke diri sendiri aja. Alan, juga nggak banyak respon, dia fokus makan dari tadi. 

"Ini hari terakhir kalian masang ya?" 

Cici emang suka ngomong, makanya ada aja yang jadi bahan pertanyaan sama dia. 

"Iya. Komputer kalian udah beres, tinggal ruang pimpinan aja lagi. Selesai sama yang dua tadi tu."

Harusnya aku seneng kan? Tapi kok rasanya nyesek, nggak bisa lihat dia sholat lago dong. Hmmm, moga-moga Ashar masih di sini. 

Wei, sadar Nad! Kesambet apa? Huft!

------------

Bab berikutnya