webnovel

GAGAL UJIAN MASUK

"Pacar kamu?" tanya Ayah terdengar geram.

Aku mengangguk. 

"Selama empat tahun, kamu berpacaran dengan laki-laki tanpa Ayah dan Ibu tahu! Begitu!" tegas Ayah, membuatku menciut.

"Tolong, jawab jujur sekarang Nada!" 

Perlahan aku mengangguk, dibalas helaan nafas panjang oleh Ayah dan Ibu. Aku tahu mereka kecewa. 

"Ayah pikir kamu bisa menjaga amanah kami. Kepercayaan yang Ayah berikan padamu terlalu besar, tapi tega kamu khianati. Kamu satu-satunya anak kami. Ayah dan Ibu menginginkan yang terbaik buat masa depan kamu. Bukan sembarang orang seperti itu."

Ayah akhirnya menumpahkan isi hatinya. 

"Nada sudah kenal lama, Yah. Dan kami baru deket juga empat tahun ini."

"Empat tahun itu bukan waktu yang singkat. Selama itu pula kamu menaruh bara neraka di kepala Ayah. Tega kamu, Nak. Ayah mati-matian menjagamu dari perbuatan tercela, yang diharamkan agama, tapi nyatanya di belakang kamu malah berbuat begitu. Ya Allah, Ya Ghaffar, ampunilah aku."

Aku tak menyangka Ayah begitu terluka sampai menitikkan air mata. Ia menunduk dan memijit pangkal hidung sambil menghapus titik air di sudut mata. 

"Yah, Nada minta maaf, tapi Nada berani bersumpah, kami nggak melakukan apapun yang melanggar agama."

"Pacaran saja kamu sudah melanggar itu, Nak. Haram hukumnya, harusnya kamu bisa menahan diri dari melakukan perbuatan keji ini. Jangan beri kami tiket ke neraka, Nak. Jangan."

Aku sampai nggak bisa ngomong apa-apa lagi. Apapun alasannya, aku tetap salah. Ayah benar, hubungan yang kulakukan dengan Aldo sama saja memberi tiket gratis ke neraka, buat mereka. 

Tapi, aku mencintainya, dan sangat ingin Aldo menjadi suamiku. Kalau Ayah tidak memberi restu juga, bagaimana aku bisa menghentikan dosa ini. Tak ada yang lain di hati ini, hanya Aldo seorang. 

"Kamu yakin sama dia, Nak?"

Suara menenangkan Ibu mulai terdengar, ia berpindah duduk di sebelah sambil mengusap punggungku lembut. 

"Yakin, Bu. Karena itulah, Nada mau nunggu dia sampai siap buat ketemu Ayah dan Ibu." 

"Apa pekerjaannya?"

"Dia musisi, Bu, juga youtuber. Saat ini penghasilan dia bisa puluhan juta sebulan."

"Musisi?" 

Ibu mengulang lagi, tampak agak canggung dengan profesi itu. 

"Iya, Bu, dia bisa nyanyi, banyak lagu yang dia cover, konten di kanal youtubenya juga banyak viewernya. Secara materi, Nada yakin kami nggak akan kekurangan."

Ibu menghentikan usapan tangan lembutnya di punggungku. Wajahnya pun berubah muram.

"Tapi secara agama kalian akan jauh dari cukup, Nak."

Suara Ibu terdengar sendu. 

"Rumah tangga ini, semula juga dibangun berdasarkan cinta, cinta seperti yang sedang kamu alami ini. Ibu dan Ayah bersikeras menikah, meski keluarga Ibu menolak, sebab Ayah dianggap tak layak dari segi pemahaman agama. Semula semua terasa manis, hingga berganti tahun, percikkan-percikan kecil mulai mewarnai kehidupan rumah tangga kami. Sholat Ayah sering bolong, Ibu juga jadi lalai."

Ibu menghela nafas. 

"Empat tahun berlalu, begitu-begitu saja, kami sering bertengkar, cuma karena Ibu merasa Ayah tidak tahu kewajibannya dan hak Ibu sebagai Istri, sementara Ayah merasa, Ibu seringkali membangkang dan tak patuh padanya. Begitu saja terus."

Aku tatap Ibu lekat-lekat. Baru kali ini kudengar kisah lalu mereka.

"Kamu susah didapatnya, Nak. Setelah enam tahun, baru kamu hadir. Sujud syukur kami. Berkat kehadiranmu, perlahan Ayah dan Ibu mulai memperbaiki diri. Kami jadi lebih mendalami agama, Ayah pun ikut kajian-kajian. Sebab kami sudah bertekad, kelak, kamu harus menjadi anak sholehah, kunci surga buat Ayah dan Ibu. Karenanya, Ayah sangat keras mendidikmu."

Dan, kenyataan yang kuungkapkan hari ini, merupakan pukulan telak buat Ayah dan Ibu. Aku menunduk, kepala terasa berat seketika. Mata juga sudah menghangat. Kesimpulan dari semua adalah, Aldo tidak diterima di rumah ini. Ya. Aldo gagal ujian masuk untuk bisa menjadi bagian dari keluargaku. 

"Ayah dan Ibu tidak melarang kamu mencari sendiri, hanya saja, pilihlah yang memiliki ilmu agama terbaik dari yang ada."

Bagaimana pun bentuk pengucapannya, hasilnya tetap tidak akan menerima Aldo untuk menjadi suamiku. 

"Umurmu sudah dua puluh lima. Usia yang pas untuk berumah tangga. Ayah dan Ibu pun juga sudah tua, jangan biarkan kami resah memikirkanmu, Nak."

"Nada nggak punya pilihan lain, Bu," lirihku.

Aku menundukkan wajah, suaraku terdengar parau. 

"Kamu mau mempercayakan pilihan pada Ayah dan Ibu?"

Akhirnya kalimat ini kudengar juga. Bagaimana mungkin aku akan menikah dengan orang yang tak kucintai sama sekali. Dan kenapa agama Aldo harus selemah ini? 

Aku ingin dia, benar-benar sangat memimpikan bisa merajut kasih dalam ikatan suci pernikahan. Mengecap manis cinta dari hubungan yang direstui semesta. 

Sikap manis Aldo takkan dipunyai oleh siapapun. Ia sosok yang benar tulus mencintaiku. Ia peduli dan perhatian padaku. Selama empat tahun berpacaran, tak sekalipun Aldo berteriak bahkan sampai memukul. Tidak pernah sama sekali. Ia juga laki-laki bertanggung jawab. Sudah kutatap sekeliling, tak kutemukan pria yang seperti dia. Bukankah agama bisa didalami kembali, seperti Ayah dan Ibu. 

"Ayah sudah putuskan, mau tidak mau, suka tidak suka, kamu harus ikut perintah Ayah!"

Lama terdiam, Ayah justru bicara lantang seperti itu. 

Hatiku remuk redam. Ayah takkan bisa dibantah. Aku lari dan masuk ke dalam kamar, kututup pintu segera. 

Nggak bisa kutahan air mata ini. Sungguh, ini ujian cinta terberat untukku. 

Aku mau Aldo, menua bersamanya, cinta ini terlalu besar buat dia. 

Kusandarkan tubuh di pintu kamar, perlahan tubuhku menyusut ke bawah. Nggak terbayang gimana hidup ini akan kujalani bersama orang asing pilihan Ayah. Belum tentu baik menurut Ayah, bisa diterima hatiku. 

Tidak bisakah memberikan kesempatan pada Aldo untuk mempersiapkan diri lebih baik lagi. Dia pasti bisa. 

"Nada, ini demi kebaikan kamu, Nak."

Suara Ibu terdengar sambil mengetuk pintu kamar pelan. Aku nggak mau denger, kututup telinga kuat-kuat. 

Tak lama, kuraih ponsel, dan mulai mengetikkan curahan hati pada Ina. Saat ini, cuma dia yang mampu memahami segala permasalahanku. 

------------

Bab berikutnya