webnovel

Sebuah Rantai

Bimo berdiri disana dengan tampang yang ketakutan. Ia mengernyitkan gigi saat punggungnya menempel lemari obat kaca. Pandangannya berulang kali menatap pintu di belakangku. Ia sudah kupastikan tidak akan bisa lolos.

"Serahkan kunci itu dan akan kujamin keselamatanmu dari ruangan ini!" perintahku berusaha tenang.

Tangannya mencoba melepaskan salah satu kunci dalam keadaan panik. Lalu dialungkannya padaku dengan tangan gemetar. "Ini kunci untuk sel teman-temanmu. Sekarang boleh kau pergi dari sini?"

"Tidak bisa!" teriakku masih berdiri sekokoh patung.

"Kau ingin semua kunci ini? Kau ingin membebaskan orang-orang yang bahkan kau tidak kenal? Kenapa?" teriaknya dengan wajah berkeringat.

"Kegilaan yang disebabkan oleh Sang Penyelamat harus berakhir di detik ini! Apa yang sebenarnya diinginkannya dengan orang-orang ini?"

"Ia tidak seperti kita yang biasa saja dalam menghadapi percobaan ini. Udara disini merupakan racun bagi tubuhnya. Makanya ia berniat menggunakan sel-sel orang-orang ini untuk memutar balikkan efeknya sebelum mematikan."

Jantungku tiba-tiba berhenti berdetak. "Mematikan? Jadi selama ini ia sedang sekarat?"

Bimo mengangguk mulai tenang. "Kalau dirinya tidak sembuh segera, Sang Penyelamat ingin menghancurkan tempat ini sebelum ajal menjemputnya."

Kata-kata Melodi tadi terngiang-ngiang jelas di otakku. 'Sudah tidak ada masa depan bagiku'. Jadi ini masa depan yang akan menantinya? Apakah ini pantas? Sementara semesta melawannya satu-persatu, apakah aku akan ikut melawannya? Penderitaannya sama sekali tidak bisa kubayangkan. Tapi suatu saat akan kugapai tangannya di bawah sana meskipun aku masih belum paham betul apa saja yang menariknya menuju lubang kegelapan itu.

"Kenapa tatapan dan raut wajahmu seperti itu? Apa kau masih punya empati pada orang yang telah menipumu untuk datang kesini?" perlahan-lahan rasa gemetarnya hilang. Kedua alis tipisnya mengkerut seolah sedang menatap tajam diriku.

"Tahu darimana kau?"

"Wajahnya … seperti ada yang mengikatnya pada dunia kabut ini. Tanda-tanda seperti itu mengarahkanku pada rahasia di balik lubuk hatinya. Bukan hanya berhenti sampai disitu, aku yang repot-repot mengirimkannya ke kompleks kalian."

Kata-katanya sulit dipercaya. "Bagaimana mungkin? mereka dapat melihat dan membidikmu sebelum kau dapat melihat wajah penjaga disana."

"Sang Penyelamat menyediakan jalan bagiku agar tidak terlihat penjaga kalian di luar. Setelah masuk, menyelinap bersama kalian bukan hal yang sulit bagiku, akan kupastikan kalian tidak memperhatikanku meskipun kalian ingin sekali mencobanya. Matikan kekuatan matamu itu dulu biar kuperlihatkan!"

"Kenapa ia menulis surat itu? Apa yang sebenarnya ia pikirkan tentangku ketika menulisnya?"

"Suatu malam ia memberiku seorang, tanpa Via disana mengetahuinya. Ia bilang 'Berikan sekeping surat ini pada orang yang tertuju namanya, setidaknya aku ingin dia mengetahui bahwa aku masih hidup. Aku mengandalkanmu Bimo!' Dan saat itu juga aku mengetahui bahwa kau adalah rantai yang menariknya pada dunia kabut ini. Bukan aku dan Via sebagai pengikut utamanya sejak lama. Kenapa begitu ya?"

Aku hanya diam. Pesan yang diutarakan ke Bimo terdengar akurat dan tidak terdengar dikarang. Seolah itu adalah kata-kata terpenting yang diutarakan Melodi kepadanya. Ia tidak mengatakan jati diriku pada orang kepercayaannya sendiri.

"Sang Penyelamat harus melaksanakan misinya untuk menghancurkan dunia kabut ini namun di saat bersamaan berpaling ke belakang melihat sesuatu yang ditinggalkannya. Namun ia tahu bahwa kedua hal itu berjalan berlawanan, jadi salah satu harus dikorbankan jika kau mengerti maksudku," telunjuknya menunjuk ke arahku.

Aku mulai melangkah ke arahnya. "Serahkan kunci itu padaku!"

"Kubilang mundur!" tangannya mengeluarkan pistol dari belakang celananya. "Aku tidak takut menggunakan senjata ini padamu!" ia berusaha menyembunyikan ketakutan tapi kedua kakinya masih bergetar.

Usahanya untuk menakutiku tidak mempan. Seiring langkah kulakukan, tangannya ikutan gemetar yang menandakan ketakutannya pada lawan bahkan pada senjatanya sendiri. Sekilas tidak ada ciri-ciri dari kelakuannya yang menandakan dia pernah ikut militer atau lembaga terkait dari informasi yang ia dapatkan dengan terus-menerus mengatakan wajah, membuatku yakin bahwa latar belakangnya adalah yang berhubungan dengan psikologi. Perbedaan pengalaman seperti itu yang membuatku cukup yakin melawannya. Akan tetapi aksi dari orang yang terlihat panik dapat dikatakan tak terduga. Tangannya dapat tanpa sengaja menekan pelatuk jika kepanikan tidak dapat dihentikan.

Sudah berapa lama tangan kananku menggenggam sebuah benda di belakang punggungku tanpa ia menyadarinya? Semoga prediksiku benar. Aku dengan cepat melemparkan 'benda' di belakang. Matanya sekejap melirik 'benda' tersebut, berusaha mencarinya ketika dilemparkan. Lalu dengan cepat kutendang pistol itu ke tanah. Hasil akhir itu membuatnya meringkuk menahan kepalanya dengan kedua tangan.

"Kuncinya!" perintahku mengulurkan tangan di dekat kepalanya.

Tangannya memberikan kunci itu padaku dengan tangan gemetar. "Sebelum kau pergi aku ingin bertanya, apa William yang memberikan mata itu padamu?"

"Betul!" jawabku singkat.

"Apa kau tidak penasaran apa yang memicu lonceng di luar berbunyi?"

Aku terdiam.

"Tidak apa, kau bisa membungkamku jika kau takut aku akan menyerangmu nanti. Asal jangan sampai ia melihatku berbicara dan memberikanmu kunci begitu saja."

Aku mendatanginya. Warna pada matanya mendadak berubah menjadi normal. Kelopak matanya terkantuk-kantuk lalu menutup rapat. Tidak akan kubopong tubuhnya untuk menghormati perlawanan yang ia berikan padaku.

Diriku langsung duduk pada salah satu kursi di depan lemari kaca. Sebuah layar berwarna hijau langsung tampil di hadapan wajahku memperlihatkan berbagai fitur-fitur yang masih belum familiar. Tanganku mengarahkan kursor semu pada layar ke arah map lalu mengarahkannya pada lokasi dekat tepi kabut di bagian barat kota. Lalu tanganku mengklik sebuah tombol semu bertuliskan 'tampilkan'.

Seketika pemandangan berganti menjadi sebuah pemandangan kabut. Namun ada sesuatu di bawah sana. Sebuah adegan baku tembak antara Pasukan Aliansi yang melindungi kota di belakangnya, dengan … makhluk aneh. Sebuah makhluk yang membuat bulu kudukku merinding, pernapasanku tidak beraturan.

Namun sekarang sosok mereka keluar dari kabut, dengan sosok masih dikerubungi oleh awan misterius. Tapi dengan jenis makhluk yang berbeda dari yang kulihat sebelumnya. Ada yang seperti humanoid lalu ada yang mengambang seperti awan di langit bahkan ada pula yang menempel di tanah seperti merangkak.

Wajah pada prajurit Pasukan Aliansi menggambarkan ketakutan yang tak pernah terkira. Sembari melihat semua peluru yang masuk ke dalam pelindung awan itu. Humanoid yang paling banyak disini dan berperilaku layaknya prajurit yang menembak dengan senjata tak terlihat dari balik gumpalan awan, tapi rubuh jika ditembak peluru beberapa kali namun berbeda dengan 2 varian lainnya.

Varian yang mengambang dapat bergerak cepat dan mengubah ketinggiannya yang membuatnya dapat menghindari kejaran peluru. Aku dapat melihat varian ini menyambar dengan kecepatan mengerikan salah satu prajurit itu.

Sementara varian yang merangkak di tanah meskipun lambat, peluru para penembak pada mental ke segala arah. Varian ini dapat mengeluarkan api dari mulutnya. Sebuah ledakan dapat melumpuhkan varian yang merangkak namun tidak lama kemudian mereka bangkit lagi lalu menyemburkan api.

Semua prajurit menembak dari sisi yang aman kecuali satu orang yang tetap berdiri tegap menatap semua mimpi buruk di hadapannya. Melodi yang dengan tangan kosong mencoba menahan tekad dari prajurit di belakangnya. Tidak ada yang mundur lebih jauh saat melihat sosoknya di depan seorang diri.

Tangannya kemudian bergerak kecil, seperti aksi yang digunakan untuk membuka layar semu namun tanpa layar itu berada di hadapannya. Peluru yang berasal dari makhluk humanoid terpental begitu saja dari hadapan Melodi. Varian awan terbang menyambar sosoknya namun tidak bisa menyentuh pada sehelai rambutnya sekalipun.

Api yang keluar dari mulut awan merangkak membuat lintasan sendiri seperti membelah diri sebelum mengenai Melodi telak. Semua orang terbelalak dengan Sang Penyelamat yang mencoba untuk mengamankan kota ini dari serangan makhluk misterius.

Bab berikutnya