webnovel

Kekuatan Tuk Merubah Segalanya

"Tiket … kebebasan?"

"Tapi tunggu dulu, aku ingin memeriksa satu hal padamu!"

Matanya menyala seperti Melodi, tetapi aku tidak merasakan sakit atau hal yang salah pada pikiranku. Ia menelusuri tubuhku dari kepala hingga kaki.

"Menarik," Bibirnya tersenyum lebar seolah ia menemukan suatu terobosan pada suatu masalah. Tidak lama kemudian matanya menjadi seperti semula. "Apa teman-teman kompleksmu sama seperti dirimu?"

"Hah? Apa maksudmu?"

"Tidak, tidak jadi!" ia menggeleng sejenak. Sesuatu seperti tertinggal dalam ucapannya tadi. "Baiklah, aku akan memintamu untuk … menyembuhkan orang-orang di Kota Ciragam itu."

"Tidak, pokoknya tidak mau! Kau lihat apa yang akan Pasukan Elang itu lakukan padaku?" teriakku masih teringat soal kasus Leo yang terakhir kali mencoba membunuhku karena penyamaran mereka terbongkar. "Lalu apa maksudmu aku menyembuhkan? Aku tidak punya latar belakang dokter ataupun semacamnya."

"Mereka pasti akan berterimakasih padamu, kau lihat apa yang terjadi kan pada layar yang ditampilkan Melodi? Sama seperti Bandung sebelum kedatangan Melodi, orang-orang di Ciragam juga butuh Sang Penyelamat, tapi Sang Penyelamat yang sesungguhnya, mereka butuh mukji-"

"Stop! Hentikan." Aku berusaha untuk tidak terpancing omong kosongnya.

"Marahlah Silahkan! Untuk saat ini aku sedang senang dengan apa yang kudapatkan darimu", ia tertawa sejadi-jadinya.

Namun yang diucapkannya malah membuatku bertanya-tanya. "Apa yang kau lakukan padaku tadi?"

"Selamat! Kau adalah hasil akhir percobaan yang sudah sukses. Semua sel, dalam darahmu bisa menyembuhkan orang sakit."

"Kau bercanda kan?" mataku mulai meraba seluruh pergelangan tanganku. Jariku mencubit daging dibalik kulit ini. Aku tidak merasakan perbedaan apa-apa.

"Diamlah disitu! Aku akan mengambil sedikit cairan itu untuk misimu yang sekarang," tangannya membawa serta sebuah jarum suntik kosong dari tas bawaannya di sofa. Aku langsung melaju ke arah pintu. Kenopnya kutekan, namun tidak mau terbuka. Terkunci?

"Kenapa takut? Ini tidak akan sakit kok," ia mulai mendatangiku.

"Dasar monster, menjauhlah dariku!" hal yang paling kutakutkan bukan betapa tajam dan besarnya diameter ujung jarum itu. Tapi siapa yang memegangnya, seorang ilmuwan gila yang bisa membuat organku menghilang dengan sekali sentuh. Ia perlahan-lahan mendatangiku, namun tidak jalan bagiku untuk pergi. Apa dia akan membunuhku? Tidak, bagi dia aku adalah 'spesimen' berharganya.

Aku menutup mata, mencoba menarik segala jenis udara dalam ruangan ini. Sesuatu menggenggam tanganku. Saat aku membuka mata, ia sudah berada beberapa senti dari batang hidungku. Tangannya menggenggam erat pergelangan tangan kiriku. Anehnya tidak ada kehangatan yang dipancarkan oleh telapak tangannya sama sekali. Seolah-olah aku berbicara pada sebuah boneka manekin.

"Tetap tenang dan jangan menjerit!" ujung jarum mulai ditusuknya pada lenganku. Suntiknya terlihat besar dengan tabung gelas dan pernak-pernik antik, seperti pada jaman dulu. Sensasi dingin mulai menjalar dari tempat jarum disuntikkan. Tidak begitu sakit setelah sensasi dingin itu terjadi. Tak lama kemudian jempol pria di depanku mulai menarik cairan seperti jarum suntik biasa. Tapi cairan di dalamnya tidak seperti yang kupikirkan. Mataku hanya dapat memelototi cairan berwarna bening seperti air minum yang mulai mengisi tabung pada tubuh suntikan. Dimana warna merah gelap yang membuatku seram dulu sekali? Apa yang terjadi pada darahku?

Tidak lama setelah tubuh tabung mulai terisi penuh, ia mencabutnya perlahan lalu memandangi isi 'air' itu. "Ini untukmu," tangannya menyerahkan seluruh jarum suntik itu.

"Cairan apa ini?" tanyaku terus memandanginya.

"Ini salah satu komposisi yang telah bercampur dengan darahmu. Jarum ini dapat mengambil komposisi cairan berdasarkan kekentalannya. Jaga benda ini baik-baik!"

Mengambil cairan berdasarkan kekentalan? Aku baru mendengar teknologi ini. Seperti alat penyaring namun tanpa mesin besar dan tanpa waktu lama untuk menyaringnya. "Teknologi macam apa ini?" tanyaku keceplosan.

"Ini masih sepersepuluh dari teknologi yang dipakai pada proyek ini," tawanya kecil. "Seluruh teknologi dunia dipertaruhkan hanya untuk proyek ini sukses. Jadi kau belum melihat semuanya."

Aku hanya terdiam. Kalau begitu betapa banyaknya negara yang membantu dalam penyelesaian proyek ini? Bagi mereka, apalah kita ini? Apa yang terjadi padaku kalau lolos dari tempat ini hidup-hidup? Tidak, aku tidak akan menanyakan pertanyaan itu kepadanya. Ia pasti tidak akan membiarkanku keluar dengan mudah.

"Bagaimana aku dapat mengetahui yang mana yang sakit dengan orang-orang tanpa gejala dengan mudah?" tanyaku tidak yakin.

"Ah benar juga! Akan kupinjamkan sebuah alat yang akan membantu pada perjalanan selanjutnya. Kau pasti pernah beberapa kali berpapasan dengan teknologi ini." Tangannya menggopoh kembali tas di atas sofa itu. Sekarang ia mengeluarkan sebuah kotak kecil dengan lambang aneh. Gambar bulatan dengan siluet perkotaan yang pernah kulihat sebelumnya. Bangunan-bangun tinggi yang tampak familiar. Lalu diatasnya terdapat sebuah mata satu yang menyinari bangunan-bangunan tersebut.

"Akan kupinjamkan salah satu alat yang dapat membantumu menyelesaikan tugas ini," ia mulai membuka box itu, "Benda ini adalah, 'Kerajaan langit'. Digunakan untuk mengawasi segala sesuatu yang berada di bawah naungan langit ini."

Sebuah lensa transparan dengan nyala cahaya aneh di sekeliling pupilnya. Sepasang benda ini yang telah membuat Clara dan lainnya sengsara. Tanganku lalu menggenggam 2 benda yang nyaris tak berbobot ini.

"Kau akan membutuhkan itu bukan hanya untuk menyelesaikan wabah ini, aku ingin kau membereskan seseorang. Dan hanya dengan benda ini kau akan seimbang melawannya," jelasnya dengan nada yang berbeda dari sebelumnya. Sekarang ia lebih serius.

"Membereskan seseorang? Maksudmu …"

"Betul, bereskan Melodi Amartapura dan kau akan memperoleh kebebasanmu, akan kujamin dengan nyawaku!"

"Apa aku harus kembali lagi ke kota ini untuk melakukannya?" tanyaku.

"Kalau kau menyelesaikan wabah itu, ia akan datang ke tempatmu pada akhirnya. Kau harus siap!" ia mulai membereskan barang bawaannya di sofa. "Pakailah dulu benda itu, mumpung masih ada aku disini jika sesuatu ada yang salah."

"Tunggu, kenapa tidak kau sendiri yang menyembuhkan mereka dan sekalian membereskan Melodi?" tanyaku heran dengan kemampuan yang orang ini bisa lakukan untuk membereskan semuanya dengan sekejap.

"Sudah ketentuannya kalau orang sepertiku tidak bisa mencampuri urusan lapangan secara langsung. Tapi bisa jika menunjuk seseorang yang ada kaitan langsung dengan proyek ini," jelasnya tersenyum padaku. "Tapi berbeda dengan masalah Melodi. Ia lebih lihai dari yang kami kira. Wanita itu adalah sebuah anomali yang muncul karena keteledoran kami mengurus para pekerja kami di lapangan," ia menghembuskan nafas panjang.

"Ceritakan apa yang terjadi padanya!" balasku ingin tahu.

Ia mengecek jam yang ada di tangannya. "Itu nanti saja kuberitahu, waktuku hampir habis di tempat ini. Cepat pakai lensa itu!"

Cih, tidak ada pilihan. Jari tanganku langsung mencolok kedua lensa itu pada kornea. Semua tampak buram lalu perasaan dingin menjalar sampai ke otak, seperti dingin saat meminum es krim namun lebih sejuk. Perlahan-lahan sebuah layar hijau menampakkan wujudnya dihadapanku. "Memindai", "Autentifikasi selesai", "Selamat datang "Amirda Husein Renata". Penglihatanku kemudian kembali seperti semula.

Pria dihadapanku bertepuk tangan. "Selamat bergabung dengan kami Amir!"

"Hentikan omong kosongmu, ajari aku cara memakai benda ini supaya aku dapat melepaskannya segera."

Ia tersenyum sambil tertawa kecil. "Kau pasti nanti akan berharap untuk tidak melepaskan benda itu, kujamin! Meskipun kedua bola matamu kucabut sekalian demi usahamu mempertahankan benda ini."

Aku menelan ludah. Perjanjian kita semata-mata hanya transaksi. Akan kubuat dirinya menyesal telah melakukan proyek gila ini. Tidak akan kubiarkan dunia mengarah pada jalur aneh ini. Akan kulakukan segala upaya untuk mengembalikannya, meskipun menjadi musuh dunia sekalipun.

"Sekarang ikuti instruksi yang kuberikan! Kau harus tahu apa yang akan kau lakukan nantinya." Ia mulai memberi arahan padaku tentang apa saja yang harus dilakukan. Tidak ada tombol apapun dalam lensa ini, hanya ada arahan dengan penglihatan mata dan perintah dengan kedipan. Setelah beberapa lama aku mulai mengerti sebagian besar fitur yang ditawarkan pada benda ini.

"Kau sudah mengetahui apa yang kau butuhkan untuk menyelesaikan misi ini," ujarnya tersenyum sopan.

"Tunggu dulu, aku ingin menyelamatkan teman-temanku yang dipenjara di bawah, kami tidak bisa begitu saja keluar dari tempat ini hidup-hidup, terutama dalam pengawasan Melodi," jawabku panik.

"Selalu bersama terhadap orang-orang yang kau khianati ya … baiklah akan kuurus masalah pelarian dari tempat ini," ia menjentikkan jarinya di udara. Tidak lama kemudian, lonceng keras berbunyi dari luar jendela ruangan ini. Orang-orang berlalu-lalang berlari. Sebagian besar prajurit Pasukan Aliansi berlari menuju kiri jalan. Sedangkan warga sipil berlari ke arah berlainan.

"Apa yang telah kau-," pria tadi menghilang begitu saja. Tanpa ada suara pintu yang terbuka. Tanganku meraih pintu satu-satunya. Terbuka! Kudongakkan kepala keluar, tidak ada siapa-siapa melainkan koridor kosong.

Bab berikutnya