"Baiklah! aku pamit ya. Ini sudah pukul 6 sore." Tsukasa menepuk pundakku lalu berlalu begitu saja.
"Hati-hati, semangat bekerjanya Tsukasa!" Aku berteriak di perempatan jalan, melambai dengan ceria ke arah Tsukasa yang sudah ada di seberang sana.
Semua orang melihat ke arahku, beberapa melihat Tsukasa. Tsukasa sendiri mendesis dengan jari telunjuk di depan mulutnya. "Kau memalukan!!" Teriak Tsukasa, lalu tertawa.
Aku meraih sepeda yang aku parkirkan di tempat penitipan dekat kedai burger tadi. Mengayuhnya menuju rumah. Hari ini sangat menyenangkan. Aku tak sabar menuju esok agar kami bisa bermain seharian.
.
.
.
Saat aku sampai di rumah. Ibuku merengut karena aku sudah makan burger, padahal ia menyiapkan banyak makanan untuk makan malam nanti.
"Aku akan makan dengan lahap meski sudah makan burger ma, tenang saja ya." rayuku padanya.
"Benar ya? lain kali kalau kau mau bermain hingga sore kirim pesan pada mama. Apa gunanya ponselmu itu."
Ibuku seorang wanita, dan bukan wanita namanya kalau merajuk tidak membahas kesalahan lawan bicaranya yang sudah-sudah. Seperti kali ini, ia sedang membahas aku yang tak menghabiskan makananku, membahas aku yang pernah merusak sepedaku dan masih banyak lainnya.
"Mama sayang, ponselku mati karena habis baterai. Aku janji akan habiskan makan malamku, aku punya cukup banyak ruang di perutku. Jadi mama tenang ya. Nanti cantiknya mama hilang kalau merajuk tak sudah-sudah."
Aku menggunakan cara ayahku untuk merayunya agar tak lagi marah. Kalau ia tak kunjung berhenti mengomel, aku tak akan bisa naik ke kamarku untuk istirahat.
Akhirnya setelah berjanji ini itu, aku bisa menuju kamarku. Meletakkan ranselku di atas meja belajar, membuka jaketku, menggantungnya di sudut ruangan. Lalu membaringkan diri di atas kasur.
Saat ini aku sedang menikmati rasa nyaman yang menjalar ke seluruh tubuh. Setelah sekian jam di luar rumah dan banyak bercanda serta menghabiskan energi untuk bermain game dengan Tsukasa.
Ponselku aku charge. Saat aku turun dari kamar ayahku sudah ada di pintu depan. Dia baru saja pulang.
"Selamat datang pa." Sapaku.
"Aku pulang. Mamamu mana?" Papaku celingukan.
Aku juga tak tahu sebenarnya, aku turun untuk mandi. Dan ternyata papa sudah ada di sana..
"Kurasa mama pergi untuk membeli bumbu yang kehabisan pa." Aku hanya menebak.
.
.
.
Sudah pukul 9 malam. Pesanku pada Tsukasa tak di balas. Setelah membuka buku pelajaran aku fokus pada ponselku.
Membuka galeri dan menemukan foto-foto obat-obatan yang Tsukasa bawa tadi siang. Sebuah foto terakhir menarik perhatianku.
Sebuah benda berbentuk tube dengan isi seperti gel berwarna biru kehijauan. Aku meraih membuka laptopku dan mengetikan nama yang tertera di wadahnya pada forum pencarian. Begitu banyak result muncul.
Aku membacanya. Dan aku tak bisa mempercayainya.
Benda itu, sesuatu yang berbentuk tube itu adalah gel pelumas. Aku awam soal ini, Sehingga awalnya aku tak memahami maksudnya. Tapi setelah membaca lebih jauh lagi dan cara pakainya. Aku menjadi semakin tak mengerti.
Bukan tak mengerti apa fungsi benda itu. Tapi tak mengerti kenapa Tsukasa memilikinya?! untuk apa?!
Beberapa kali aku mengusap wajahku dengan kasar di depan layar laptop.
Pelumas itu gunanya untuk mempermudah kegiatan sexual bukan?! apakah Tsukasa pemuda semacam itu?!
Tidak! Dia bahkan tak akan pernah menonton video porno! aku yakin! Tsukasa sahabatku tak akan melakukan hal kotor seperti itu kan?
"Tunggu!"
Ada yang salah. Aku bangkit dan turun ke bawah, ingin menemui orang tuaku dan bertanya, tapi akal sehatku melarangnya.
Jika aku bertanya hal semacam itu, mungkin saja ayah dan ibuku justru akan curiga padaku dan mengawasiku lebih ketat.
Akhirnya aku memilih untuk kembali mencarinya di internet.
Aku mendapatkan informasi yang aku inginkan. Jika pria tak ingin wanitanya hamil, seharusnya yang ia pakai adalah pengaman, semacam kondom atau entahlah.
Tapi Tsukasa.. sebuah pelumas itu! bukankah itu sangat mencurigakan?! Aku mengusak rambutku hingga tak lagi berbentuk. Begitu acak-acakan.
Bukan sebuah kebingungan yang membuatku kalut, justru kemungkinan yang terlintas di kepalaku itu yang aku takutkan.
Tsukasa.. Homo?!
Lalu dengan siapa?!
***
17 Desember tiba. Aku tak tidur.
Memikirkan pertanyaan apa yang sekiranya bisa memancing Tsukasa untuk jujur padaku. Aku bahkan mengawasi dari jendela. Menunggu sosok Tsukasa datang dan menjemputku.
Benar, berselang 10 menit Tsukasa datang dari arah timur. Ia memakai pakaian yang lebih tebal dari jaket kemarin. Tampak seperti baru, karena aku juga tak pernah melihatnya memakai setelan itu.
Bel rumahku berbunyi. Aku turun tanpa mandi dan membersihkan diri.
Wajahku pucat, kantung mata yang hitam menghiasi mataku. Bagaimana aku tahu? tentu saja dari cermin berjalan di rumah ini. Ibuku.
Tepat saat kakiku sudah menyentuh permukaan anak tangga terakhir, ibuku menggambarkan wajahku dengan detail, lalu bertanya "apa kau bermain game semalaman?!"
Untuk mempersingkat waktu, aku menjawab iya. Ibuku hanya mendengus mengingat ini adalah hari Minggu. "Ada Tsukasa."
"Aku tahu."
Tsukasa ada di ruang keluarga dengan ayahku. Wajahnya terlihat ceria dan merona. Seakan bukan habis bekerja sambilan semalaman. Seakan semalam dia tidur dengan baik.
Argh! aku tak bisa melepaskan pikiran kotor dari kepalaku!
"Lho?! kenapa wajahmu pucat begitu?" Suara ayahku berhasil membuatku melompat karena terkejut.
"Aku tak tidur pa."
"Bagus! jika kau lakukan lagi nanti malam, aku akan menjual perangkat game dan segala alat elektronik di kamarmu."
"Tidak akan. Hanya hari ini, bukankah aku bisa melakukannya jika malam Minggu?"
"Beri tahu dia, Tsukasa!" ayahku menunjuk padaku tapi menoleh pada Tsukasa.
Tsukasa tertawa lalu melirikku. Tawa yang sangat natural. Jika bukan aku, pasti tertipu dengan tawanya saat ini.
Ia juga mengetahui kalau aku menyadarinya. Wajahku saat ini sama sekali tak tersenyum melihatnya atau bahkan antusias seperti biasanya.
Aku tak bisa menyembunyikan ketidaksukaanku pada sesuatu. Itulah buruknya aku.
Ayahku meninggalkan kami di ruang tengah.
"Kau sudah sarapan?" tanyaku sebelum aku duduk di sisinya. Tsukasa yang berdiri, menyusulku duduk. Menatap bingung ke arahku.
"Ada apa? kau tak enak badan?" Tanyanya tanpa memperdulikan pertanyaanku sebelumnya.
"Apa kau sudah sarapan?" aku mengulangi pertanyaanku. Dari sini, Tsukasa yakin bahwa aku sedang merasa tak senang.
"Sudah." jawabnya pelan. Ia melirik padaku takut-takut.
"Syukurlah, aku ingin bicara tapi tidak mungkin di rumahku. Bagaimana kalau di rumahmu?"
"Eh? Aku harus balik lagi ke rumahku, kalau begitu." dia terkekeh.
"Kau seharusnya dari tempat kerja kan? kau datang dari arah timur. Rumahmu di arah barat."
Tsukasa berbohong.
Seharusnya Tsukasa tak membawa baju salin. Atau mungkin di tempat kerjanya dia menyimpan pakaian ganti. Aku tak tahu. Karena saat ini pakaiannya berbeda.
Dia tak akan sempat pulang, lagi pula seperti yang aku katakan. Dia datang dari arah yang berlawanan dengan rumahnya.
Tak ada jalan tikus apa pun dari arah timur menuju rumahnya, itu setahuku. Kecuali dia lewat rel kereta.
Seperti orang tuaku. Aku tak suka dibohongi.
Tsukasa mulai terlihat terganggu. "Bagaimana kalau di taman biasa. Aku akan mentraktirmu es krim?"
Es krim, di musim dingin, Tsukasa?
Saking gugupnya, orang cerdas seperti Tsukasa menjadi tak bisa memberi alasan yang bagus.
Dia tak mau membawaku ke rumahnya, karena pasti akan sangat ketahuan bahwa dia belum pulang hari ini.
Tsukasa, kenapa berbohong?
***