webnovel

Don't Cry

Tsukasa menangis.

tidak, jangan menangis. Aku tak suka melihat Tsukasa yang manis itu menangis. Apalagi karena aku.

"Jangan nangis.." lirihku. Melirik pada Tsukasa.

Seito menghentikan tinjunya ketika mendengarku mulai bersuara. "Hah?" Ia mendekatkan telinganya padaku.

Kesempatan! Aku mendekap erat kepalanya, mengunci tubuhnya dengan kakiku. Seito meronta-ronta, ketika ia mulai sesak nafas. Aku belajar dari seniorku tentang mengunci tubuh lawan, dan tanganku yang melingkar kuat pada leher Seito, membuat oksigen tak bisa mengalir ke paru-parunya.

"Lepaskan dia! Kau mau membunuhnya?!" Kato dan Maru menarik tubuhku, berusaha melepaskan kawannya yang wajahnya terlihat Semerah tomat.

Ya, kalau aku bisa!

Akhirnya aku melepaskannya. Bangkit lalu perlahan mendekat pada Tsukasa yang masih menangis, matanya yang berkilauan karena air mata, menatap cemas padaku.

Dari matanya, aku bisa melihat seberapa buruk luka di wajahku. Mengerikan dan tentu saja sakit.

Meludahkan darah yang ada di dalam salivaku. Berbalik menatap kawanan cecunguk itu.

Yang paling di andalkan dan paling kuat dari mereka hanya Seito. Selebihnya hanya bocah manja banyak uang yang sukanya usil dengan kehidupan orang lain.

"Jika kalian menyentuh Tsukasa lagi. Aku benar-benar akan membunuh kalian satu persatu." Untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku mengancam orang lain sedemikan rupa.

Seito yang masih terlihat menstabilkan nafas, bangkit lalu pergi. Di susul kawanannya yang sesekali menoleh padaku.

"Jangan nangis." nafasku masih tersengal-sengal. Tsukasa sendiri masih terus menunduk, belum juga berhenti menangis. Aku membersihkan rambutnya yang kotor karena abu rokok. Wajahnya yang manis terlihat belepotan karena debu dan air mata yang membasahinya.

"Wajahmu jelek sekali kalau menangis." aku mencoba tersenyum meski rasanya tak karuan, ketika kulit wajahku tertarik garis senyum, beberapa luka dan bagian memar di pipiku terasa begitu sakit dan berdenyut.

Tsukasa menatapku, "Jangan sok kuat!"

Aku mengulurkan tangan agar Tsukasa bisa bangun. Tangannya masih bergetar ketika meraih uluran tanganku.

"Sudahlah jangan menangis. Nanti orang-orang pikir kau dicampakkan olehku." Aku cekikikan, tertawa karena ucapakanku sendiri.

"Kau ini bisa serius tidak! Lihat luka-luka di wajahmu itu, apa kau tidak kesakitan?!" tangis Tsukasa kembali pecah, ia menyentuh wajahku. Tangan kirinya meraih kain sapu tangan di sakunya lalu membersihkan darah di beberapa luka yang terbuka.

Aku tidak tahu apa yang harus aku katakan padanya. Tsukasa merasakan sakit melebihi yang aku alami saat ini. Padahal aku yang terluka.

"Ini akan sembuh dalam 3 hari. jadi tenang saja."

"Berjanjilah padaku, kau tak akan pernah berkelahi lagi. Kita bisa melapor pada guru tentang perundungan ini."

Entahlah.. Aku tidak yakin hal ini akan ditindak lanjuti oleh pihak sekolah. Apalagi Maru adalah anak anggota dewan sekolah.

"Ayo pulang!" Aku tak menggubris permintaan Tsukasa. Aku tak bisa berjanji, bagaimana jika suatu hari sampah seperti mereka kembali menganggu Tsukasa.

"Hei!! berjanjilah padaku dulu!" Tsukasa menjejakkan kakinya ke tanah. Dan tetap berdiri di tempatnya.

Tsukasa yang merepotkan telah kembali! aku harus pintar merayu makhluk Tuhan satu ini.

"Yess ma queen!" candaku, Tsukasa meledak lalu mengejarku.

***

"Selamat datang." Ibuku menyapa dengan riang.

Aku masih melongo di depan pintu rumahku. Wajahku yang babak belur ini cukup menarik perhatian, seharusnya.

Tapi ibuku seakan tak terganggu dengan hal itu. Wanita yang sukanya panik dengan hal kecil ini, tak terganggu melihat wajah tampan putranya jadi tak berbentuk karena bengkak dan memar?!

Aku segera melepaskan sepatuku tanpa meletakkanya di dalam rak. berlari menuju dapur dan mendekat pada ibuku yang sedang asik dengan puding mangga.

"Ma?!" suaraku keras hampir memekik, membuat ibuku terkejut, padahal hanya tinggal beberapa senti lagi sendok puding masuk ke rongga mulutnya.

"Apa? ini puding mama. Pudingmu ada di dalam lemari pendingin!" Ibuku terlihat terganggu, sambil menunjuk lemari pendingin di belakangnya.

"Bukan! ini tentang wajahku!" Aku menunjuk wajahku yang masih berdenyut-denyut di beberapa bagian.

"Ah ya! anak laki-laki memang suka begitu! jangan ulangi lagi ya!" katanya santai sekali.

Selama beberapa detik aku melongo. Ibuku memang aneh.

.

.

.

Kamarku sekarang remang-remang. Hanya mengandalkan cahaya lampu tidur di sisi ranjang, dan cahaya bulan yang masuk lewat jendela. Aku membuka jendela, angin malam yang dingin memainkan kordyn hingga bergerak-gerak. Aku sendiri masih asik berbaring, sesekali memegangi wajahku yang terasa sekali bengkaknya.

Ayahku saat pulang dari bekerja hanya menatap wajahku dan bertanya 'apa yang terjadi'. Tidak terlalu panik atau bahkan terkejut. Bukan berarti aku ingin orang tuaku cemas. Tapi, bukankah ini pertama kalinya aku terlihat babak belur dan itu artinya pertama kalinya aku berkelahi dalam hidupku, seharusnya orangtuaku terkejut, atau penasaran terhadap alasan di balik sesuatu yang terjadi kan?

Ah sudahlah!

Aku memejamkan mata. Sudah pukul 10 malam, aku sangat tak sabar agar hari cepat berganti. Besok adalah tanggal 16. Hari Sabtu, karena hari Sabtu kegiatan sekolah tidak terlalu padat. Aku bisa mengajak Tsukasa pergi ke game center atau semacamnya.

Atau.. aku akan main ke rumahnya, membuatkan makanan, bermain, belajar bersama sekaligus mencari sesuatu yang bisa jadi petunjuk bagiku.

Berbagai rencana sudah tersusun di otakku. Aku bahkan membuatkan rencana B dan C sebagai jaga-jaga.

Bertemu lagi dengan Tsukasa yang sebenarnya sudah meninggal, membuatku ingin terus bersamanya. Aku tak mau melepaskannya hingga tanggal 23 terlewati. Hari dimana si bodoh itu memutuskan untuk mati dengan cara yang menyakitkan.

Sejujurnya, aku merasa Tsukasa yang cengeng itu adalah pemuda yang kuat. Dia hidup sendirian selama ini. Menyaksikan keluarga kecilnya hancur dan menyebar kesana-sini. Di usianya yang amat sangat muda, ia harus bekerja demi memenuhi kebutuhannya dan tetap bersekolah meski kelelahan.

Ia berjuang begitu keras, berbanding terbalik dengan pemuda seumurannya seperti aku. Yang lebih suka menghabiskan waktu luang dengan bermain game. Tsukasa bahkan tidak punya waktu luang.

Aku sangat ingin tahu. Sebelum-sebelumnya, apakah aku sudah sangat membantu Tsukasa?

Apakah keluargaku sudah cukup membuatnya nyaman?

Sekarang-sekarang ini, Tsukasa terlihat baik-baik saja. Tapi, setelah beberapa minggu mengulang hari akhirnya aku sadar. Tsukasa pandai menyembunyikan kesedihannya.

Dia berusaha terlihat baik-baik saja. Saat di toko buku tanggal 20. saat itu, pertahannya mulai runtuh..

Tanggal 14, dia menangis di ruang kepala sekolah. Setidaknya itu yang aku tebak.

Besok aku akan bersamanya dari pagi hingga malam, itu rencanaku. Aku tak keberatan bahkan jika harus menginap dan melewatkan waktuku untuk bermain game semalaman di malam Minggu.

Yah... Ibuku hanya mengijinkan aku bermain game lebih dari satu jam, hanya di malam Minggu. Karena besoknya libur sekolah.

Sekarang ini.. Aku kembali pada hari Sabtu malam Minggu, bukan untuk bermain game!

***

Bab berikutnya