webnovel

MSL - BAB 14

Aku terbangun dengan kepala sangat berat, oh sial, umpatku dalam hati, aku benar-benar tidak pernah mabuk sebelumnya.

Aku beringsut sambil memegangi kepalaku dan merasakan keanehan, apa ini bagian dari halusinasi saat seseorang mabuk karena alcohol? Kuterbarkan pandangaku dan ini jelas bukan kamar dorm-ku atau kamar Ze, ini tempat asing. Oh . . . tidak, aku seperti pernah melihatnya. Aku memutar tubuhku untuk melihat sisi lain ruangan ini dan mataku membulat hampir lepas dari kerongkongannya saat kulihat seseorang duduk menatap ke arahku dengan wajah marah.

Aku menelan ludah, kujernihkan pandangan dan menatap ke arah itu lagi, pria itu bangkit dari tempatnya duduk dan menghampiriku.

"Minum ini." Katanya sambil menyodorkan air mineral didalam gelas dan juga sebutir aspirin. Aku meraihnya dan meminumnya, aku benar-benar kacau saat ini.

"Kenapa aku ada di sini?" Tanyaku, itu pertanyaan paling bodoh yang dilontarkan seorang gadis ketika tiba-tiba dia berada di suatu tempat tanpa dia sadari. Entah apa yang mungkin terjadi padaku semalam.

"Kau pergi ke club dan mabuk bersama teman-temanmu." Ujarnya kesal, dia benar-benar terlihat sangat marah.

"Sorry . . . tapi itu kehidupan pribadiku." Aku mencoba turun dari tempat tidur, tapi rasanya semua berputar seketika, dan membuatku terhuyung jatuh.

"Tetap berbaring." Dia membantuku kembali berbaring di ranjang.

"Maaf, aku tidak pernah mabuk sebelumnya." Ujarku sambil terus memegangi kepalaku yang terasa berat ini.

"Lalu kenapa kau nekat minum?" Dia duduk di sisi ranjang, pertanyaan yang dia lontarkan bernada interogasi dan aku bisa menerima kemarahannya itu.

"Temanku Justin ulang tahun, dan aku diajak."

"Dan kau tidak tahu sampai dimana batasmu?!" Kali ini nadanya benar-benar terdengar kesal.

"Dia terus menuang bir didalam gelasku." Jelasku.

"Dan kau bisa bayangkan jika aku tidak datang menjemputmu, apa yang bisa dia lakukan padamu tanpa kau sadari?!" Bentaknya, kali ini dia benar-benar marah, dia bahkan berdiri dan melipat tangannya didada seolah tak sudi melihatku lagi.

Meski saat ini aku masih merasa pusing, tapi aku bisa mencerna maksud kalimatnya. Dia marah karena mungkin saja Justin akan menyeretku ke apartmentnya dan meniduriku begitu saja sementara aku tidak sadarkan diri. Tapi jika itu terjadi lalu apa? Mengapa dia sangat marah?

"Mengapa anda sangat marah Mr. Hudson?" Tanyaku kemudian. Aku harus tahu alasan dia sangat marah padaku sekarang ini.

"Pria brengsek itu bahkan hampir menciummu saat aku datang." Katanya ketus.

"Oh ya?" Aku bahkan tidak mengingatnya sama sekali.

"Oh ya? Kau masih bisa bertanya hah?!" Dia berbalik ke arahku dan mencengkeram lenganku dengan keras. Aku merasakan amarah yang besar dibalik kerasnya cengkeraman tangan itu, dan aku melihat lenganku memerah karenanya.

"Kau menyakitiku." Kataku lirih sambil menatapnya dan dia melepaskan cengkeramannya dengan menghempaskan lenganku.

"Listen!" Dia duduk di sisi ranjang dan dengan tidak sabar meraih wajahku kemudian membuatku menatapnya.

"Jangan pernah mengulainya lagi!" Tegasnya, dan entah mengapa mataku menjadi berair, wajahku memanas, kurasa aku menangis sekarang ini.

"Aku tidak tahu mengapa kau semarah ini." Ujarku lirih, sementara air mataku berjatuhan.

"Bagaimana jika tangan kotor pria itu menyentuhmu?! Apa jadinya jika aku terlambat beberapa menit saja?!"

"Sorry." Aku mennutup wajahku karena merasa sangat buruk berada di sini dibawah kemarahannya yang begitu besar karena kecerobohanku.

"Anda akan melaporkanku pada ibu asrama?" Tanyaku.

"Persetan dengan asrama, aku akan menemuinya langsung dan mengatakan bahwa mulai detik ini kau tidak akan tinggal di asrama lagi."

"Kumohon, tempat itu satu-satunya tempat yang bisa kutinggali saat ini. Jika anda membuatku dikeluarkan dari asrama, aku harus tinggal dimana?" Aku merengek tak karuhan, aku benar-benar kalut sekarang. "Aku berjanji tidak akan mengulanginya lagi, tapi jangan biarkan aku kehilangan beasiswaku Sir." Aku menjatuhkan diri dari ranjang dan memohon di lututnya, memohon belas kasihan hingga angkara murkanya mereda. Tapi bukannya mereda, dia bangkit berdiri dan meninggalkanku begitu saja. Aku terduduk menangis di kamar besar itu, aku bisa mengingat semuanya sekarang, ini adalah kamar pribadinya. Dan aku mengenakan pakaian yang kupakai semalam, semuanya masih melekat di tubuhku.

Apa dia datang dan menyelamatkan gadis bodoh ini dari niat busuk Justin? Oh sial! Pantas saja dia marah, dia adalah dosenku, dan melihat kelakuan mahasiswinya yang mabuk bersama pria tentu membuatnya geram, mungkin dia berpikir aku bisa merusak citra kampus kami.

***

Sarapanku diantar kekamar pria itu dan pelayan bahkan membawakan pakaian ganti untukku kekamar itu dan memintaku membersihkan diri.

"Aku akan pergi dari tempat ini, aku sudah baik-baik saja" Kataku.

"Mr. Huson memintaku untuk memastikan kau sudah memakan sarapanmu dan mandi."

Oh sial.

"Tolong katakana padanya aku baik-baik saja, aku akan pergi sekarang."

"Kumohon, jangan membuatnya marah." Ujar pelayan itu.

"Apa dia marah?" Tanyaku.

"Kurasa begitu, sejak membawamu kemari dalam keadaan mabuk."

"Oh." Aku meremas wajahku penuh penyesalan.

"Dia mendatangkan dokter pribadinya untuk memeriksa keadaanmu, dan bahkan tidak tidur semalaman untuk memastikan kau baik-baik saja."

"Benarkah?" Aku bahkan hampir pingsan mendengar penuturan pelayan itu.

"Ya, kurasa kepala asrama kampusmu baru saja keluar dari ruang kerjanya sekitar dua puluh menit lalu." Imbuhnya.

"APA?!!" Aku bahkan hampir berteriak karena tidak bisa menahan diri dari keterkejutan.

"Jangan berteriak, sekarang cepatlah mandi." Ujarnya. "Karena jika Mr. Hudson marah, semua yang ada di depannya akan terkena imbasnya, termasuk aku."

"Ok, aku akan mandi dan bicara padanya. Ini salahku, tidak seharusnya semua orang ikut menanggung akibatnya."

Pelayan itu keluar dari kamar besar ini dan aku bergegas mandi lalu mengganti pakaianku. Dengan keberanian yang tersisa dan persiapan mental untuk menerima kemungkinan terburuk aku berjalan menuju ruang kerjanya.

"Sir." Aku berdiri di ambang pintu, kulihat dia sedang sibuk dengan pekerjaannya, tapi saat melihatku dia meletakkan kertas di tangannya. Rahangnya mengeras sekilas, terlihat dari tempatku berdiri, dia jelas masih marah.

"Apa yang kau inginkan?" Tanyanya ketus.

"Bolehkah aku masuk?" Tanyaku sopan dan dia tidak menjawab, tapi aku memaksa masuk kemudian menutup pintu dibelakangku.

"Aku ingin meminta maaf, ini salahku."

"Memang ini salahmu." Tegasnya.

"Ya, jadi kumohon biarkan aku pergi dari hadapanmu dan jangan marah pada siapapun karena satu-satunya orang yang bertanggung jawab atas kemarahanmu adalah aku." Kataku cepat.

"Siapa yang mengijinkamu keluar dari rumah ini?"

Aku menelan ludah, kemudian terdiam beberapa saat. "Apa yang harus ku lakukan untuk membuat anda memaafkanku?" Tanyaku ragu.

"Duduk diam di kamar, renungkan kesalahanmu dan jangan melakukan apapun sampai aku datang dan memaafkanmu." katanya

Alisku berkerut. "Hanya itu?"

Dia menatapku dengan wajah serius dan aku mengerti dia tidak ingin aku banyak bicara. Akhirnya aku keluar dari ruang kerjanya. Entah harus berada dimana, tapi kuputuskan untuk ke perpustakaan. Setidaknya aku bisa merenungkan kesalahanku.

***

Tik Tok Tik Tok

Entah sudah berapa lama aku duduk di sini, mungkin sudah seharian, hingga aku merasa bosan. Aku bahkan harus menghubungi Ze bahwa hari ini aku sakit hingga tidak bisa pergi ke kedai untuk melakukan pekerjaanku, untunglah Ze mengerti.

"Tadi malam terjadi kekacauan hebat di club." Ujar Ze saat aku menghubunginya dan mengatakan bahwa aku sakit.

"Apa yang terjadi?" Tanyaku, aku benar-benar tidak mengingat apapun yang terjadi semalam. Ingatanku berhenti ketika aku melihat nama Christoper Hudson di layar ponselku.

"Seorang pria datang dan langsung menghajar Justin hingga hidungnya berdarah, lalu membawamu pergi. Tapi kejadian itu tidak sempat kulihat, aku baru menyadarinya saat beberapa orang menjerit."

"Oh . . ." Apalagi yang bisa kukatakan, aku tidak ingat apapun.

"Kau tahu siapa pria yang membawamu pergi?"

"Oh itu, aku . . ." Aku harus menjawab apa?

"Justin mengatakan dia tidak melihat wajah pria itu dengan jelas."

Syukurlah, gumamku dalam hati.

"Kau dimana sekarang?" Ze bertanya dengan curiga, ini jelas pertanyaan sulit lain yang tak bisa ku jawab.

"Aku di rumah seseorang." Jawabku ambigu.

"Kau punya pacar?" Tanya Ze.

"Ya." Kujawab asal, Ze pasti tidak akan berhenti bertanya.

"Aku meminta dia menjemputku semalam."

"Oh." Tampaknya Ze mulai percaya pada bualanku.

"Ok, apa perlu aku menjemputmu dan membawamu ke dorm?" Tanya Ze.

"Tidak, aku baik-baik saja, hanya perlu sedikit istirahat, dan setelah aku merasa lebih baik aku akan kembali ke dorm."

"Apa kau yakin kau baik-baik saja?" Tanya Ze.

"Ya." Jawabku ringkas.

"Em . . . maksudku, tidak ada yang terjadi padamu semalam?" Dia masih bertanya, dan aku paham apa yang sebenarnya ingin dia tanyakan.

"Aku terbangun dengan pakaian lengkap yang melekat di tubuhku dan semuanya terasa baik-baik saja, jadi kurasa dia tidak memanfaatkan keadaan saat aku mabuk." Jawabku.

"Oh, syukurlah."

Dan benar saja Ze mengkhawatirkan hal yang sama denganku.

"Semoga kau baik-baik saja Bell."

"Thanks Ze."

"See you."

Aku mengakhiri panggilanku dan menyadari seseorang tengah berdiri di hadapanku dengan kedua tangannya tersarung di saku celananya.

"Mr. Hudson, sudah berapa lama anda berdiri di situ?" Aku tidak berani menatap matanya.

"Cukup lama untuk mendengar semua kebohonganmu pada temanmu." Jawabnya.

"Oh, maaf . . . aku hanya tidak ingin dia berpikir macam-macam tentangku."

"Oh ya, lalu bagaimana denganku?" Dia berjalan kea rah sofa dan duduk di hadapanku.

"Aku membuatmu marah lagi." Sesalku.

"Kau mengatakan bahwa kau berada di rumah kekasihmu bukan?"

"Maaf, aku tidak bisa mengatakan yang sebenarnya, jika aku berada di rumah anda."

"Tapi kau punya kesempatan untuk mengatakan bahwa kau di dorm, atau di rumah temanmu, bukan di rumah kekasihmu."

Aku menghela nafas dalam. " Aku tidak tahu harus mengatakan apa dan jika semua yang kukatakan membuatmu marah dan tetap marah padaku maka aku akan di . . ." Aku tidak bisa menyelesaikan kalimatku karena dalam hitungan detik aku merasakan seluruh dunia berhenti, saat bibirnya tiba-tiba mencium bibirku.

Kepalaku berdenyut-denyut seolah aliran darah yang menuju ke batang otakku terlalu deras, jantungku juga berdetak jauh lebih kencang dibandingkan biasanya.

"Aku tidak akan membiarkan tangan pria manapun menyentuhmu seperti ini." Ujarnya setelah melepaskan ciumannya padaku, sementara aku masih shock dan mencoba mencerna semua yang terjadi.

"Now you know I'm jealous. And it's make me feel worst. I mad anyone with no reason. It's because of you!"

Aku menatapnya nanar, mataku bekaca, apakah semua yang kudengar ini benar?

"Is that true?" Tanyaku lirih.

"I'll never let it happened again."

Aku benar-benar tak bisa menahan tangisku, seumur hidupku tidak ada yang pernah menginginkanku seperti ini.

"Can I hug you?" Tanyaku ragu, dan tanpa menjawab dia menyentakkanku hingga aku terjatuh kedalam pelukannya.

***

"Aku mengatakan pada kepala asrama bahwa kau akan tinggal di rumahku, dan aku akan menjadi walimu."

"Apa?"

"Kau sudah dewasa dan aku tidak perlu reaksi bodoh macam itu." Ujarnya.

"Tapi aku tetap ingin tinggal di dorm."

"Aku tidak bisa melepaskanmu begitu saja, karena kau sulit dipercaya."

"Tapi aku tidak bisa tinggal disini Sir, kita tidak punya hubungan apapun, apa yang akan dikatakan orang jika mereka tahu soal ini."

"Sekarang aku walimu, dan aku sudah membuat dokumen itu legal."

Aku tertegun menatapnya.

"Kau sudah cukup dewasa dan kau sudah mendengar semua yang kukatakan."

Aku menelan ludah. "Apa aku harus memanggilmu uncle mulai sekarang?"

"Aku meminta pengurus asrama untuk merahasiakan ini dan kau tidak perlu meresahkan soal bagaimana caramu memanggilku." Dia bangkit dan aku mendongak menatapnya. Tapi kemudian dia membungkuk dan mengecup ujung kepalaku.

Aku terdiam, masih tidak percaya jika aku bahkan terlibat romansa dengan dosenku sendiri? Oh, mahasiswi macam apa aku ini?

Bab berikutnya