"Welcome." Katanya sambil membuka pintu rumah besar itu Rumah ini benar-benar besar dengan gaya modern di semua tempatnya.
Mulutku bahkan ternganga tak tertahan setelah kami masuk ke gerbang rumah itu. Bahkan dari gebang besar rumah itu kami masih menempuh perjalananan beberapa ratus meter dengan pohon-pohon cemara hijau yang tinggi menjulang membuat suasana begitu rimbun. Dan tiba dihalaman rumah tampak seorang pria menunggu untuk memarkirkan mobil.
"Come." Dia mengulurkan tangannya dan aku menatapnya ragu, apa dia menginginkanku menyambut uluran tangannya atau apa? Otakku mendadak sulit berpikir.
"Come on." Dia mengatakannya sekali lagi dan itu baru membuatku yakin untuk meraih uluran tanganku. Kami menyusuri beberapa ruangan, semuanya dibuka dengan sidik jarinya, dan semua terlihat sangat modern.
Kami bahkan bertemu dengan dua orang pelayan berseragam saat masuk menuju ruangan besar lainnya.
"Welcome to my library."
"Wooh . . ." Mataku menyapu seluruh ruangan super besar itu yang dipenuhi dengan buku di seluruh raknya. Aku bahkan kehilangan kendali diriku hingga tanpa ijinnya melangkahkan kakiku menuju rak terdekat dan melihat koleksinya. Semua tampak sudah tersusun dengan sangat rapi, dan itu membuatku tersadar akan satu hal, dia tidak benar-benar butuh bantuanku untuk merapikan perpustakaannya.
"Tapi perpustakaan ini sudah sangat rapi." Aku menoleh ke arahnya dan dia tampak melipat tangannya berdiri menatap ke arahku.
"Ya." Angguknya.
"Lalu, apa yang harus ku kerjakan?" Tanyaku bingung.
Dia tersenyum, berjalan ke rak yang terdekat denganku lalu mengambil satu buku secara acak.
"Buat ringkasan bab dari buku ini." Katanya sambil menyodorkan buku itu padaku.
"Aku akan membayarmu perjam kau bekerja." Ujarnya.
"Bisakah aku bekerja di rumah?" Tanyaku.
"Sayangnya tidak." Jawabnya.
"What?" Aku jelas bingung dibuatnya.
"Bekerja di perpustakaanku, dengan laptop, dan hanya bisa kau lakukan setelah shift mu berakhir di kedai kopi itu."
Alisku bertaut.
"Aku akan memberikan lima puluh dolar perjamnya, kau bisa memakai uang itu untuk memenuhi kebutuhanmu selama kuliah." Ujarnya.
"Ok, duduklah di sofa sebentar." Dia memintaku duduk sementara dia meninggalkanku sendiri di perpustakaan itu. Beberapa menit kemudian seorang pelayan datang dengan minuman dan makanan.
"Mr. Hudson meminta anda makan sementara dia sedang mengerjakan sesuatu." Kata pelayan itu padaku. Aku sungguh bingung dibuatnya. Dan aku memang benar-benar lapar saat ini hingga akhirnya aku meminum juice itu dan juga memasukkan beberapa potong daging kedalam mulutku. Untunglah aku sudah menyelesaikan semuanya dengan rapi saat pria misterius itu datang.
Kali ini dia tampak lebih santai dengan kemeja putih, lengan tergulung hingga ke siku dan celana jeans.
"Kau akan memakai laptop ini untuk membuat ringkasan, dan kau boleh membawanya pulang untuk mengerjakan sebagian tugas kuliahmu."
Aku menelan ludah, dia memfasilitasiku dengan laptop canggih berharga ribuan dollar. Oh . . . apa yang sedang dilakukan pria ini.
"Ini smartphone untukmu, aku ingin tahu update pekerjaan dari orang-orang yang bekerja untukku secara cepat, jadi kau akan butuh alat komunikasi yang punya kemampuan cukup untuk mensupportnya." Dia menyodorkan sebuah ponsel masih dalam kotaknya.
"Aku sudah memasukan nomor teleponku di sana." Imbuhnya sambil menatapku, tapi kurasa aku membeku dibuatnya.
"Anda . . ." Aku bahkan tak sanggup menyelesaikan kalimatku.
"Kau bekerja untukku sekarang. Kau terikat komitment untuk datang kemari setiap sabtu setelah shiftmu berakhir di kedai kopi, kau harus membuat ringkasan bab dari buku yang kuberikan padamu, kau harus memakai fasilitas yang kuberikan untuk menunjang pekerjaanmu dan satu lagi. Kau harus mengangkat teleponku setiap saat aku menghubungimu. Termasuk pesan singkat."
"Apa ini tidak berlebihan?" Tanyaku.
"Aku pebisnis, aku tahu apa yang ku keluarkan dan aku tahu bahwa setiap resources yang kukeluarkan aku akan mendapatkan profit dan benefit yang ku inginkan."
"Kau akan mendapat limapuluh dollar setiap jam, dan berapa jam kau bekerja tergantung kebutuhanku. Semua akan dimasukan dalam account virtual banking yang terinstal di ponselmu, jadi kau bisa memakainya untuk belanja memenuhi kebutuhanmu." Imbuhnya lagi.
"Oh ya, kudengar semua mahasiswa bisa keluar dari dorm saat weekend." Katanya mencairkan suasanya setelah obrolan yang membuat otakku sedikit panas.
"Ya, mereka akan kembali ke rumah orangtuanya."
"Dan kau?" Tanyanya.
"Aku . . ." Aku tertunduk. "Aku akan tetap di dorm."
"Kau tidak bepergian?"
"Aku tidak punya tujuan."
"Menginaplah di sini dan selesaikan tugasmu kalau begitu. Aku akan meminta orang untuk menyiapkan kamarmu saat kau menginap di sini."
"Aku, menginap?" Tanyaku ragu.
"Di rumah ini ada lebih dari sepuluh kamar, jadi jangan khawatir." Ujarnya.
"Is that deal?" Tanyanya sambil mengulurkan tangan. Aku mendongak menatap tangan itu, kemudian ke arah wajahnya. Dan saat aku menatap matanya, aku menemukan diriku seolah baru saja jatuh kedalam lautan yang menenangkan hingga aku tidak lagi bisa menemukan alasan untuk menolak.
"Deal." Aku membalas uluran tanganku.
"Ok, kau bisa mulai bekerja." Dia meninggalkanku sendiri di ruangan itu dengan semua pelalatan baru yang kumiliki.