webnovel

Dampak kolor merah

"Nggak bisa ngasih waktu bentaran lagi buat napas, apa?"

"Bri, panitianya pada oneng, ya! Padahal di sono lebih teduh, malah kita di panggang kayak gini." Tunjuk Arka di sudut rimbun pepohonan. Ya, pada dasarnya memang Arka saja yang suka mengeluh, matahari pagi sehat untuk tubuh, lagi pula tak terlalu menyengat panas di kulit. Angin yang senantiasa bertiup kencang, terlebih memang kawasan perbukitan yang pada dasarnya memang sejuk. Brian yang baris di posisi belakang Arka hanya mengangguk-angguk malas.

Arka terus saja menggerutu, belum tuntas sarapan yang di tampungnya turun ke lambung, peluit yang di bunyikan dengan ritme kode untuk segera berkumpul di lapangan. Berlari keluar dari tenda, mereka jelas tak ingin mengambil resiko jalan jongkok kalau sampai terlambat menempati barisan.

Mengelus-elus perut ratanya yang beransur luruh, terdengar bunyi gemuruh yang setelahnya hilang tak membekas.

"Bri, belum apa-apa gue udah laper lagi, nih!"

"Salah sendiri, siapa suruh nggak lo habisin makanannya?"

"Mie nya keras banget, nggak suka gue!"

"Kondisi kayak gini, Ar... Kayaknya nggak kurang-kurang gue nasehatin lo, deh!" Sementara Brian yang kekenyangan karena harus menghabiskan sarapan Arka.

Arka mencerung, menghentakkan kakinya, lantas kembali memutar tubuh ke posisi depan. "Ishh..." Desis Arka jengkel, terlebih saat beberapa panitia di hadapannya sudah mengatur rencana merepotkan untuk ratusan murid belum resmi sma itu.

Lebih-lebih Melisa- kakak Arka yang bergantian memberikan memberikan komando. Menjelaskan peraturan, dengan tatapan sinis ke sang adik terlebih dahulu. "Tugas yang sangat mudah, mengisi botol di ujung sana sampai penuh," tunjuk Melisa pada botol mineral tampungan 1,5 liter.

"Ah... Kecil." Semua siswa baru jelas saja menjentikkan jari. Namun berubah lemas saat sebuah kain di bagikan ke masing-masing kelompok.

"Tentunya dengan tantangan," lanjut Melisa dengan gaya sok cantik mengibaskan rambut kusutnya. Hanya merasa bisa mengatur Arka, Melisa sudah merasa menang.

"Cihh!" Arka berdecih. Kalau memungkinkan, bisa saja Arka yang merasa di ledek itu muntlak dan membubuti surai panjang milik Melisa yang rusak menyasak. Nyatanya hanya bisa menggeram dengan mengepalkan jemarinya erat.

"Ribet, kenapa kita nggak di suruh lomba estafet aja sih buat nampung air?"

Deg

Nino tiba-tiba saja menyambut Arka saat remaja itu hendak berbalik arah. Gerak serampangan yang membuat lengan tertakupnya hinggap di dada bidang milik pria incarannya itu.

Netra keduanya bersitatap, menyengat aliran listrik yang membuat sekujur Arka bergetar. Membuatnya lemah tak bertenaga, tumpuan kakinya seperti agar-agar, hampir saja terjatuh.

Dengan wajah terkesiap, Arka lantas memastikan penglihatannya sedekat ini dengan memanggil lirih, "Nino?"

Yang di panggil hanya menarik tipis kedua sudut bibirnya. Bukan gila penghormatan, hanya saja Nino merasa sedikit aneh saat adik kelas tiba-tiba memanggilnya nama tanpa embel-embel lebih sopan. Hanya Arka.

Nino lantas melepaskan usapan telapak tangan Arka yang tau-tau merayap ke dadanya semakin gencar. "Ekhem!"

Baru setelah deheman keras Nino, Arka langsung meloncat jauh. Netranya yang berkedip cepat, nampak terlalu terburu menyisir keadaan di sekitarnya, yang utama Brian. Hampir saja Arka menjerit, "Bri....! Kakak lo barusan gue grepe!"

"Namanya juga permainan. Ini juga untuk melatih kerjasama dan jiwa solidaritas. Nggak bisa bergerak sendiri-sendiri, atau bakalan kalah kalau sampe satu orang dari kalian yang mentingin ego buat jalan lebih dulu." Nino pergi setelah menepuk bahu Arka.

Seperti kode melepas sihir yang membuat Arka terlalu terkesimanya hingga terkesan bodoh. Nino pergi, membuat Arka yang tak sabaran mencurahkan perasaannya di tengah keramaian. Ya, yang jelas tanpa peduli suitan peringatan dari panitia yang memaksanya kembali memutar badan menghadap pembicara di depan.

"Bri....! Lo lihat, kan?" Brian hanya mengangguk lemas, sementara Arka makin menggoyangkan tubuhnya kasar.

"Bri, pegang dada gue! Sumpah deg-degan banget!" Dengan raut yang begitu sumringah sampai merah padam, Arka beralih mengangkat lengan Brian dan meletakkan telapak tangan terbuka milik kawannya itu tepat di dada kirinya. Debarannya sangat kuat.

"Bri, kayaknya dia merhatiin gue, deh! Apa jangan-jangan? Huaa...! Dia mulai tertarik sama gue, ya?"

Pengang. Arka melengking terlalu kencang di pendengaran Brian. Membuatnya memukul-mukul permukaan kupingnya, berharap menemukan dengungan lain yang kembali merangsang sensitif.

Dengan baik-baik mendekat, Brian yang merangkul pundak Arka untuk bicara baik-baik. 

"Gue bukannya niat matahin semangat lo ya, Ar... Tapi seenggaknya, lo harus inget kalo melayang terlalu tinggi, ujung-ujungnya tambah nyesek kalo udah jatuh." Arka mengernyitkan dahi, perlahan menghilangkan semu merah di wajahnya saat Brian diam-diam menunjuk. "Noh!"

"Lo bukan satu-satunya yang di semangatin, tapi jangan tanya kenapa gue selaku adiknya sendiri nggak termasuk. Bang Nino lagi keliling, kayaknya emang nyebar aura positifnya buat ngubah hawa ngebosenin ini."

Brian benar, Nino memang menyusup ke setiap barisan dengan menarik obrolan akrab. Lebih membuat Arka bersungut penuh kecemburuan, kenapa pula Nino menarik kedua sudut bibirnya lebih lebar saat beberapa siswi menggodanya?

"Sialan! Gue nggak mau ikut permainan kalo gini caranya." Arka ngambek. Buru-buru memutus objek pandang yang menyakiti matanya.

"Eiztt! Lo pikir lo siapa, bocah...?" Brian mengikis jarak, kemudian mengacak surai Arka yang memberontak di depannya. "Kalo pun lo ngambek sekali pun, nggak akan buat abang gue kelabakan panik, tau!"

"Baiknya... Lo diem-diem bae lah, sama gue!" Peringat Arka sembari menunjukkan jari tengahnya pada Brian.

"Tapi yang gue omongin bener, Ar... Sebelum ceritanya kejauhan, baiknya lo mundur, kan? Abang gue lurus banget, loh!"

"Adu jotos lagi yok, bri?"

Tak lama setelahnya, giliran regu Arka yang ditandingkan. Semangatnya perlahan kembali membara, melihat Yuda dan Zaki yang berbaris di deretan pemenang. Fahmi, sang ketua berlakon sebagai pengarah yang sebenarnya tak ada gunanya. Malah merecoki posisi jalan memindik kelompok mereka yang menjunjung sebuah wadah kecil berisi air di atas kain terbentang.

"Woy! Tarik kainnya lebih ketat!" Nyatanya Brian yang salah satunya memegang posisi ujung dengan jalan mundur membelakangi lah yang lebih tanggap.

"Ar, jangan terlalu ketat!"

"Katanya suruh ngetatin?"

"Hemmbz... Haha..."

Arka tak menangkap ada kalimat yang lucu dari sahutannya pada Brian.

Mereka masih saja terpingkal, sampai-sampai membuat wadah mereka menggelimpang kanan kiri.

Byurr

Yang akhirnya tumpah di saat kurang sejengkal lagi regu mereka menang. Sialan!

"Yeyy! Nyatanya gampang banget anjir!" Arka yang mendengar kemenangan regu lain seketika saja memicingkan mata. Gara-gara kawan lainnya yang tak serius, membuatnya merasa di permalukan.

"Bangsat! Kita kalah, Bri..."

"Hemm... Nggak apa." Brian dengan entengnya mengangkat kedua bahunya.

"Kok enteng banget ngomongnya?" Sementara Arka yang tak habis pikir, mana Brian yang sefrukuensi dengannya? Mana Brian yang ingin terlihat mencolok sepertinya?

"Ini salah mereka, nggak jelas banget main kompak cekikikan segala. Lagian apa yang lucu, sih? Jangan-jangan ngetawain gue ya, Bri?" Arka yang mulai berprasangka, pasalnya memang ia merasa di jadikan objek lelucon sesaat tadi.

Apa di sudut matanya ada belek? Atau yang lebih ekstrem lagi, tak ada tai kucing di puncak hidungnya, kan?

"Dah lah, lupain aja. Mang mereka pada nggak jelas aja." Sementara di dalam benaknya Brian mendengus, jangan bilang mereka menganggapnya teman tapi mesra bersama Arka? Adegan tumpang tindih dengan drama kolor merah bau pesing, mereka mengira dirinya "adu pedang" bersama Arka? Konyol sekali!

Bab berikutnya