webnovel

Latihan & Jeritan

Penjara Arena

"Haa haaa… ini benar-benar sulit… caraku untuk beristirahat hanya keluar dari arena… apalagi guru ron tidak pernah main-main dalam melakukan serangan… jika aku tidak melakukan yang terbaik… aku pasti sudah mati sejak pertama kali masuk ke dalam arena…"

Rigma mengeluh dengan nafas berat akibat kehabisan stamina ketika berlatih melawan ron. Tubuhnya penuh luka sayatan ringan karena gagal menghindar atau menahan serangan ron sepenuhnya. Rigma beristirahat di dekat pintu masuk arena untuk memulihkan mata dan tenaganya. Setiap 5 menit sekali rigma terus bertarung melawan ron dengan menggunakan pedang yang tertancap di sekitar arena.

'Sejauh ini apa yang kau dapat ketika melihat teknikku…'

'Ini sulit guru… teknikmu adalah refleksi bayangan dirimu sendiri yang bisa menyerang musuh… bahkan bekas tebasannya tetap tertinggal di udara hingga bisa membuat apa pun yang menyentuhnya terbelah…'

'Hahaha… tapi teknik ini tidak sempurna… masih banyak kelemahannya… dan kau sudah tahu akan hal itu bukan…?'

'Hehehe… berkali-kali aku melawan jurus guru… tentu saja aku tahu beberapa kekurangannya… pertama bekas tebasan di udara hanya berlaku ketika bayangannya aktif… kedua pertahanan jarak dekat penggunanya menurun drastis karena harus menjaga kuda-kuda… terakhir… terdapat batasan jarak dalam serangannya…'

*tap tap tap tap…*

Ron yang berdiri di tengah arena bertepuk tangan ketika mendengar penjelasan rigma soal teknik pedang miliknya.

'Hebat sekali… ternyata pilihanku tidak salah… kau dapat mengetahui kelemahannya padahal dirimu terlalu sibuk bertahan…'

'Yah mau gimana lagi… kecepatan bayangan hitam yang menyerupai guru tidak normal… bahkan hampir menyamai kecepatanku…'

'Aku hanya menggunakan 70% dari kecepatan aslinya…'

Wajah rigma langsung pucat ketika mendengar kenyataan soal kecepatan bayangan yang dibuat gurunya. Rigma tidak punya pilihan selain terus berlatih dengan gurunya, sebab cara untuk ke area selanjutnya adalah mengalahkan ron.

"Haaa haaa… 43 pertandingan… tapi aku masih kesulitan melawan bayangan itu…"

'Ngomong-ngomong itu bukan bayangan… namanya phantom… warnanya hitam dan bentuknya seperti bayangan… tapi bukan berarti dia tidak bisa diserang…'

"Haaa…!? Kenapa tidak kasih tahu dari awal…!?"

'Kau tidak bertanya… jadi aku tidak akan memberitahumu…'

"Cih… jadi guru menunggu motivasi dariku untuk bertanya… benar-benar merepotkan…"

'Hahaha… itulah menyenangkannya jadi seorang guru… oh iya aku hampir lupa… waktu yang kita gunakan disini sudah lebih dari 3 hari ya…'

"Iya... memang kenapa…?"

'Itu artinya di luar sana baru 30 menit…'

Rigma tiba-tiba dikejutkan oleh perkataan ron soal waktu yang telah mereka lalui dan waktu yang berlalu di dunia luar. Ia sangat penasaran tentang arti dari perkataan ron soal waktu di dunia luar.

"Guru jangan bilang… ada selisih waktu di tempat ini dengan dunia luar…?

'Benar… pemilik rubik cube ini pernah memberitahuku… soal perbedaan waktu antara di dalam rubik dengan di luar rubik… intinya 10 menit di dunia luar sama dengan 1 hari disini…'

"Entah aku beruntung atau sial… dengan kata lain aku bisa berlatih lebih lama disini tanpa harus mengkhawatirkan waktu di dunia luar…"

'Ya begitulah… tapi kalau kau sudah menguasai teknik pedangku… aku bisa jamin… kau dapat keluar dari sini dengan cepat…'

"Sungguh motivasi yang luar biasa…"

Rigma kembali berdiri dan mengaktifkan [Mata Naga] untuk memulai kembali latihannya. Ia ingin segera menguasai teknik pedang milik ron dan menggunakannya di dunia luar. Ia pun mencabut salah satu pedang yang tertancap di dekatnya untuk melawan gurunya.

'Itu baru semangat…'

Ketika ron memasang kuda-kudanya, rigma mengikutinya memasang kuda-kuda yang sama persis.

'Hooo ini akan menarik rupanya…'

'Kali ini aku tidak akan membuat guru bosan…'

[Tarian Phantom]

Keduanya sama-sama menggunakan skill [Tarian Phantom] dan membuat sosok phantom yang menyerupai sosok mereka.

'Mohon bimbingannya…'

Rigma berkata pada ron sambil menatapnya dengan tatapan mata yang begitu tajam seperti pedang.

Bintang Merah

Harun benar-benar terkejut ketika melihat simbol bintang merah yang ada di tangan kedua orang tuanya.

"Itukan… simbol teroris…?"

Simbol bintang merah bisa diartikan sebagai simbol pasukan revolusioner atau sering disebut teroris oleh pemerintah. Simbol bintang merah bukan hanya sekedar tanda biasa melainkan sihir jiwa yang dapat menutupi keberadaan jiwa pengelana. Penggunaan simbol ini sudah dilarang oleh pemerintah negara indonesia sejak 50 tahun yang lalu. Alasannya sederhana, teknologi jenis apapun tidak akan bisa mendeteksi jiwa pengelana orang yang memiliki simbol bintang merah.

"Jadi selama ini kalian berdua adalah hider…?"

"Benar… ayahmu… Zori Andriansyah dikenal sebagai pimpinan pasukan penakluk retakan dimensi regu merah putih…."

Ibu harun menjelaskan soal identitas rahasia beserta jabatan yang dimiliki sang ayah di dalam pasukan revolusioner.

"Lalu ibu…?"

"Nesa Aliana ibumu… dikenal sebagai ahli strategi dan juga pimpinan cabang pasukan revolusioner area purwakarta…"

Zori bergantian menjelaskan soal identitas dan jabatan yang dimiliki sang ibu dalam pasukan revolusioner.

"Dari jabatan yang disebutkan oleh ayah dan ibu… keduanya bukan jabatan personel biasa… melainkan terdengar seperti anggota eksekutif…"

"Kau benar… sebenarnya ayah dan ibumu sudah bergabung dalam tentara revolusioner sejak mendapatkan jiwa pengelana… hingga akhirnya kami dipromosikan menjadi anggota eksekutif…"

"Kenapa… kenapa kalian melakukan hal berbahaya seperti ini…?"

"Itu karena kami ingin melawan sistem yang mengatur etranger sekarang ini…! Pemerintah melakukan banyak kejahatan dibalik layar menggunakan etranger khusus… mereka disebut Pasukan Awan Racun… pasukan etranger khusus yang dilatih untuk membunuh… ditambah pemerintah juga melakukan percobaan berbahaya dan berhasil membuat mesin pemicu retakan dimensi…!"

Zori menjelaskan betapa berbahayanya pemerintah indonesia sekarang ini, sebab para politikus kejam mengatur segalanya. Harun untuk pertama kalinya melihat sang ayah sangat marah hingga membuat wajahnya terlihat menakutkan. Harun selama ini hanya tahu sosok ayah yang lembut dan tidak pernah marah sekalipun padanya.

"Jadi begitu… sekarang ayah menjelaskan semua ini dan ingin mengajakku bergabung dengan ayah…?"

"Benar… anak ayah memang hebat… pemahaman dan pengetahuanmu sangat luar biasa… bahkan tanpa perlu aku jelaskan lebih jauh kau sudah tahu tujuan kami…"

"Kalau begitu biarkan aku memikirkannya lebih dulu… sebab pasukan revolusioner setahuku bermusuhan dengan pemerintah dan dunia bawah…"

Zori dan nesa terkejut mendengar perkataan harun yang mengetahui hubungan pasukan revolusioner dengan dunia bawah.

"Maksudmu para mafia yang menjuluki diri mereka guild…?"

Nesa mencoba mempertegas soal perkataan harun yang membahas dunia bawah. Ia tidak ingin asal mengambil kesimpulan dimana anaknya menjadi sekutu dunia bawah.

"Iya benar… aku sudah mengetahui banyak hal sejak bersama rigma… tapi… sejahat apapun pasukan revolusioner… aku tetap tidak bisa membenci kalian berdua… jadi paling tidak beri aku waktu untuk memikirkan semua ini…"

"Nak pasukan revolusioner tidaklah kejam atau jahat…!! Kau tidak bisa menya-..."

Ketika nesa ingin membela citra pasukan revolusioner, tiba-tiba tangan suaminya menghalanginya.

"Aku memang tidak tahu kau memiliki hubungan apa dengan dunia bawah… tapi… kalau kau mau… kau juga bisa mengajak rigma bersamamu… anak itu terlihat kuat… dia pasti bisa jadi anggota eksekutif dengan kekuatannya..."

"Maaf ayah… tapi tolong jangan libatkan rigma dalam urusan ini… aku tidak ingin terus jadi beban untuknya…"

"Baiklah… kau bebas memikirkannya selama yang kau mau… tapi… ingat pasukan revolusioner pasti akan menang cepat… atau lambat… jadi pikirkan baik-baik… semua ini demi kebaikanmu…"

"Baik ayah… ibu… terima kasih atas pengertiannya... "

Harun pun pergi meninggalkan kamar orang tuanya dan masuk ke dalam kamarnya. Ia termenung sambil tiduran di atas tempat tidurnya karena semuanya semakin sulit bagi harun. Malam pun berlalu dengan cepat, saat pagi hari harun dan kedua orang tuanya sarapan seperti biasa. Seolah perbincangan mereka soal pasukan revolusioner sebelumnya tidak pernah terjadi.

*ting tong…*

Bel rumah tiba-tiba berbunyi ketika mereka baru saja selesai menyantap sarapan. Harun menghampiri pintu rumahnya dan melihat sosok gadis muda di depan rumahnya.

"Nona dini… Ada apa…?"

"Aku ingin bicara soal rigma…"

"Oh kalau begitu silahkan masuk… kita bicara di dalam…"

Sekilas dini melihat bekas luka pria yang duduk di meja makan dan membuatnya teringat pada pimpinan pasukan merah putih.

'I-itukan… auranya rambutnya dan bentuk fisiknya… tidak salah lagi… hantu kecil…'

Ziro dan nesa pun saling melirik untuk meyakinkan satu sama lain dengan apa yang mereka lihat.

"Ibu bisa buatkan teh untuk temanku…"

"Ini sudah siap…"

Harun cukup terkejut ketika melihat ibunya sudah menyiapkan 2 cangkir teh hangat. Tingkah ibunya juga terlihat agak kaku, berbeda dari biasanya. Harun tidak ambil pusing dan langsung membawa tehnya untuk diberikan pada dini.

"Jadi ada apa dengan rigma…?"

"Ya aku ingin kamu memberitahu pihak kampus… kalau rigma tidak bisa menghadiri kuliah untuk beberapa waktu… dia miliki keperluan mendadak…"

"Jadi begitu… memang urusan apa yang membuatnya begitu sibuk…?"

"Itu bukan sesuatu yang bisa kamu ketahui… kamu cukup memberitahu pihak kampus soal izin rigma…"

"Hooo jadi begini cara anda meminta tolong…? 💢"

Harun mulai tersulut emosi karena tingkah dini yang angkuh dan tidak mau memberitahunya lebih detail tentang rigma.

"Ya… memang begini… sebab aku masih memiliki opsi lain jika kamu tidak mau membantu…"

Dini dengan santai menjawab pertanyaan harun sambil menikmati teh yang ada di depannya.

"Haaa… aku tidak menyangka nona dini adalah wanita yang tidak sopan seperti ini…"

"Huh…? Coba katakan sekali lagi…"

"Aku tidak menyangka nona dini adalah wanita yang tidak sopan…"

"Kalau aku tidak sopan… sejak masuk ke sini aku sudah membunuh pria yang pura-pura membaca berita disana…"

Ziro terkejut mendengar perkataan dini yang nada suaranya sengaja ditinggikan agar terdengar olehnya.

"Apa maksudnya itu nona dini…?"

Harun semakin kesal karena perkataan dini terdengar seperti ancaman serius untuk keluarganya.

"Apa kau tahu pasukan merah putih dari kelompok revolusioner…?"

Harun langsung terdiam ketika mendengar nama pasukan yang dipimpin ayahnya disebutkan oleh dini. Ditambah dini tiba-tiba mengeluarkan energi jiwa miliknya yang membuat harun merasa semakin tertekan.

"Cukup…!"

Tanpa diduga zori ikut mengeluarkan energi jiwa miliknya hingga kedua energi saling berbenturan.

"Nona kalau anda terus melakukannya tekanan terhadap harun… kami tidak akan tinggal diam…!"

"Jadi seperti ini caramu menjawab kebaikanku…?"

Tekanan energi jiwa yang jauh lebih kuat muncul hingga hampir menelan seluruh energi jiwa milik zori. Nesa berjalan menghampiri suaminya dan ikut mengeluarkan energi jiwa miliknya hingga bisa bertahan.

"Kalau kamu tidak berhenti aku akan memanggil polisi…"

"Sepertinya kau tahu… kelompok revolusioner dianggap sebagai ancaman serius bagi pemerintahan saat ini… kalau melapor ke polisi kira-kira apa yang akan terjadi…?"

"I-itu…"

Gertakan nesa dipatahkan dengan mudah oleh dini yang masih duduk santai di sofa sambil memegang cangkir tehnya.

"Aku masih cukup sopan karena menghargai harun sebagai teman tuan rigma… tapi… kalau memang tidak ada jalan lain… aku akan meladeni kalian..."

Dini berbicara sambil menaruh tehnya di atas meja, kemudian ia berdiri karena merasa tidak puas dengan perlakuan zori dan nesa.

"Berhenti…!! aku akan melakukannya…!"

"Hooo… apa kau akan tetap membantuku ketika tahu luka yang dialami ayahmu disebabkan oleh diriku…?"

Wajah harun langsung pucat ketika mendengar perkataan dini, kakinya terasa lemas karena tatapan dini yang begitu dingin. Sosok gadis kecil di depannya terasa seperti monster yang sangat besar bagi harun. Ditambah perkataan dini soal luka yang dialami zori membuat hatinya kembali bimbang.

"A-aku…"

"Sudahlah aku tidak ingin memaksamu… lagi pula siapa yang menyangka... pria menyedihkan ini adalah ayahmu… maaf sudah mengganggu waktu kalian…"

Dini berjalan menuju pintu keluar rumahnya dengan santai setelah berhenti menggunakan energi jiwa.

"Tu-tunggu…!"

Harun yang perasaannya masih bercampur aduk mencoba menghentikan dini agar bisa membantu rigma. Ia juga penasaran soal keberadaan rigma, namun penghinaan dini yang berlebihan membuat harun jadi labil.

"DINIIIII…..!!!"

Dini pun pergi dari rumah harun begitu saja setelah menghancurkan mental seorang gadis yang masih labil.

Bersambung…

Bab berikutnya