webnovel

Perdebatan Adit dan Nyonya Winda.

Adit keluar dari dalam ruang meeting, dan berjalan kearah ruang kerjanya. Sekretaris Tuan Dimas menghampiri pria tampan tersebut dan memberitahu bahwa Nyonya Winda tadi sempat datang ke kantor. Adit hanya mengangguk dan menyuruh sekertaris ayahnya agar kembali bekerja. Ia melanjutkan langkahnya menuju ruang kerja, karena masih banyak pekerjaan yang harus ia selesaikan. Baru saja duduk di meja kerja, ponsel pria tampan itu berdering. Adit langsung mengangkat panggilan dari sang ibu.

'Temui Mama di butik sekarang, ada yang harus Mama bicara kepadamu..'

"Hm," balas Adit yang malas menjawab panjang ucapan dari sang ibu.

Pria tampan tersebut langsung keluar dari dalam ruang kerjanya. Ia berjalan ke arah basement untuk mengambil mobil-nya yang terparkir di sana. Saat sudah di dekat mobil, Adit langsung masuk ke dalam mobil dan menuju butik Nyonya Winda. Ia membawa mobil dengan kecepatan lambat, karena ia sangat malas bertemu dengan ibunya saat ini. Membutuhkan waktu setengah jam sampai ke butik ibunya, mobil milik Adit berhenti di depan butik tersebut. Ia keluar dari dalam mobil, dan berjalan masuk ke arah butik Nyonya Winda.

Para karyawan yang bekerja di butik itu langsung menyapa Adit. Namun, pria itu hanya diam dan terus berjalan ke arah ruang kerja sang Ibu. Saat tiba di depan pintu ruang Nyonya Winda, pria itu langsung menghela nafas dengan pelan.

Ceklek

Pintu terbuka, terlihat Nyonya Winda tengah duduk di meja kerjanya. Adit masuk ke dalam dan menutup kembali pintu ruang kerja milik sang ibu. Nyonya Winda langsung berdiri dan mendekati anaknya.

Plak!

Satu tamparan berhasil mengenai wajah Adit, sontak membuat pria itu terkejut dan menatap ibunya. "Apa salah Adit, Ma?" tanya Adit yang bingung kenapa tiba-tiba dirinya ditampar.

"Kenapa kamu tidak membalas telepon dari, Mama? Dasar anak durhaka!" tegas Nyonya Winda.

"Adit sibuk, banyak pekerjaan yang harus diselesaikan. Memegang ponsel saja Adit tidak bisa, jadi maaf kalau Adit tidak mengangkat panggilan dari Mama.." jelas Adit.

Nyonya Winda mengepal kedua tangannya untuk meredam emosi. Ia mencengkram pergelangan tangan anak bungsunya tersebut. "Dimana Papa kamu? Kenapa nomornya tidak aktif dari semalam? Apa benar dia sedang keluar kota untuk meeting? Dan ke kota mana Papa mu meeting?" tanya Nyonya Winda.

"Adit gak tau, Papa cuma bilang ke Adit untuk pergi beberapa hari ke luar kota.." jelas Adit yang tidak ingin memberi tahu keberadaan ayahnya.

"Jangan bohong Adit, pasti kamu tahu di mana Papa kamu berada. Beritahu keberadaan Papamu agar Mama bisa menyusulnya ke sana.." lanjut Nyonya Winda.

Adit hanya diam, ia tidak ingin memberitahu keberadaan Papanya sekarang. Ponsel milik Nyonya Winda berdering, Adit menatap ponsel ibunya tersebut. Terlihat di layar ponsel, nama Tuan Tirta di sana. "Pacar Mama telepon tuh, lebih baik Mama urusi saja pacar Mama dari pada Papa. Cukup selama sebulan ini Mama selingkuhi Papa di belakang, Adit harap Mama tidak mengganggu Papa untuk sementara waktu..." jelas Adit yang langsung keluar dari ruang kerja sang ibu.

Nyonya Winda kesal dan langsung mengambil ponsel-nya yang berdering. Ia mengangkat panggilan tersebut, sedangkan Adit sudah berada di dalam mobil untuk menjauh dari butik Nyonya Winda. Pria itu menghidupkan mobil-nya dan pergi dari butik sang ibu. Ia menuju kantor untuk mengerjakan pekerjaannya yang sempat tertunda karena ibunya.

***

Di rumah sakit, Putri tengah berada di ruang cuci darah. Ia baru datang ke rumah sakit, karena dia baru mendapatkan izin dari atasan nya. Hari ini dia hanya bekerja setengah hari saja karena ia harus menjalankan cuci darah. Syukurlah, Damar memberitahu keadaan Putri pada manajer yang mengurus restoran milik Damar tersebut. Damar sudah berada di depan ruang cuci darah, ia akan menunggu Putri selesai melakukan cuci darah. Setelah cukup lama menunggu di depan ruangan cuci darah, akhirnya Putri keluar dalam keadaan lemas dan duduk di kursi roda.

"Udah?" tanya Damar.

"Sudah, dokter. Apa kembaran saya kesini?" tanya Putri.

"Aku disini," teriak Putra yang berlari ke arah Putri.

Pria itu memegang kedua lututnya dan mengatur nafas. Putra baru ingat bahwa kembarannya melakukan cuci darah hari ini. Saat ia akan pergi untuk makan siang, Putra langsung teringat dan berlari masuk kedalam mobil menuju rumah sakit tempat kembarannya melakukan cuci darah. Pria itu mendekati Putri dan berjongkok di hadapan Putri. "Maaf aku terlambat," lanjut Putra.

"Tidak masalah, antar aku pulang.." balas Putri.

Putra menganggukkan kepalanya dan sebelum mendorong kursi roda kembarannya, pria itu berterima kasih pada dua dokter yang ada di dekat mereka. "Makasih ya dokter, tolong sembuhkan kembaran saya.." ucapan terima kasih dari Putra.

"Saya akan berusaha untuk menyembuhkan kembaran kamu, tapi kalau bisa segera lakukan transplantasi ginjal. Tolong kamu bujuk kembaran kamu untuk melakukan donor ginjal ya, karena ginjalnya benar-benar hampir rusak.." jelas Dokter yang menangani keadaan Putri.

"Baik dok, saya akan membujuknya agar melakukan transplantasi ginjal.." jawab Putra.

Dokter tersebut dan Damar langsung kembali ke ruangan mereka masing-masing. Putra mendorong kursi roda kembarannya ke arah mobil yang terparkir di depan rumah sakit. Pria itu membantu Putri untuk masuk ke dalam mobil, dan mengembalikan kursi rodanya ke dalam rumah sakit. Setelah itu ia langsung berlari ke arah mobil dan menghidupkan mobil menuju rumah kontrakan kembarannya. Di perjalanan, Putri hanya diam sambil menatap kearah luar jendela mobil, sedangkan Putra hanya fokus menyetir karena ia tidak ingin terjadi sesuatu pada mereka berdua apalagi pada kembarannya.

Beberapa menit kemudian, akhirnya mereka tiba di depan rumah kontrakan milik Putri. Putra keluar lebih dulu dan membantu kembarannya untuk keluar dari dalam mobil. Ia memapah Putri untuk masuk ke dalam rumah kontrakan sambil membawa kresek obat yang diberikan oleh dokter. Putra membantu kembarannya untuk duduk di sofa terlebih dahulu, kemudian ia berjalan ke arah dapur untuk mengambil segelas air putih. "Minum obat dulu ya," ujar Putra yang mengeluarkan satu persatu obat yang ada di dalam kresek.

"Kamu udah makan 'kan?" tanya Putra.

Putri menganggukkan kepalanya, Putra pun memberikan obat yang sudah ia keluarkan dari kresek kemudian membantu kembarannya untuk meminum obat tersebut. Setelah selesai, Putra meletakkan gelas kosong di atas meja yang ada di depan mereka. "Lebih baik kamu istirahat aja ya, aku temenin kok.." cicit Putra.

"Gak perlu, kamu balik aja ke kantor. Kamu masih banyak pekerjaan 'kan, terima kasih sudah mau mengantarku pulang. Aku bisa kok mengurus diriku sendiri di rumah kontrakan ini. Jadi lebih baik kamu kembali ke kantor, nanti kamu dimarahi oleh bos kamu loh.." jelas Putri.

"Ga--,"

"Tidak ada penolakan Putra, kembalilah ke kantor.." lanjut Putri.

Putra pun pasrah dan menganggukkan kepalanya, ia berpamitan pada kembarannya untuk kembali ke kantor. Putri menganggukkan kepala dan melambaikan tangan pada kembarannya tersebut. "Hati-hati di jalan.." pesan Putri.

.

Pukul 17:00 WIB.

Adit sudah merapikan meja kerjanya dan berjalan keluar dari ruang kerja untuk menjemput sang kekasih. Namun, langkah pria tampan itu terhenti saat Nyonya Winda menahan tangannya. "Ikut Mama!" bentak Nyonya Winda yang menarik kasar tangan anaknya tersebut.

Nyonya Winda masuk ke mobil sang anak, menghidupkan mobil tersebut menuju rumah mereka. Beberapa menit di perjalanan, akhirnya mereka tiba di rumah. Nyonya Winda kembali menarik tangan putranya dan memasukkan Adit ke dalam gudang. Ia menyiksa Adit hingga tubuh Adit banyak dipenuhi memar. "Jawab di mana Papamu sekarang!" teriak Nyonya Winda.

Adit hanya diam dan menerima siksaan dari sang ibu. Dia tidak ingin Nyonya Winda menghampiri ayahnya dan membuat ayahnya sakit hati kembali. Sejahat apapun Tuan Dimas pada Adit, namun Adit sangat menyayangi kedua orang tuanya yang sudah membesarkannya. Tapi untuk saat ini ia tidak ingin berpihak pada Ibunya dulu, karena di sini ibunya lah yang bersalah sudah bermain di belakang Tuan Dimas.

"Jawab!" teriak Nyonya Winda.

Wanita paruh baya itu semakin mencambuk tubuh, Adit. Pria itu masih kekeh untuk bungkam, sehingga saat Nyonya Winda akan menampar wajah putranya. Adit dengan cepat menepis tangan sang ibu sedikit kasar, ia sudah muak dengan semuanya. "Mau pukul Adit? Iya? Gak perlu pukul, Ma! Ambil pisau, bunuh Adit sekalian! Jangan sok merasa yang paling benar di sini! Untuk apa Mama maksa Adit memberitahu keberadaan Papa? Mama mau minta maaf? Basi Ma, udah berapa banyak Mama minta maaf. Tapi Mama lakukan kesalahan itu lagi, udah bagus Papa diem. Sekarang biarin Papa tenangkan dirinya dulu, tunggu saja Papa pulang. Malah Mama semakin mudahkan selingkuh dengan pria tua bernama Tirta itu. Jangan egois, Ma! Pilih salah satu, jangan mau semuanya. Papa dan pria itu manusia biasa, mereka juga punya perasaan. Hati-hati Ma, karma berlaku.." jelas Adit yang menatap tajam ibunya.

Nyonya Winda langsung bungkam dan membanting cambuk ke lantai. Ia keluar dari dalam gudang dan mengurung anaknya di sana. Adit memposisikan dirinya untuk duduk, ia mengambil ponsel untuk menghubungkan sang kekasih. Ia harus memberitahu kekasihnya agar tidak menunggunya. Setelah mengirim pesan itu, Adit memilih untuk melihat memar di kaki, tangan dan punggungnya. "Semoga Putri tidak melihat bekas ini besok.." gumam Adit.

Bi Siti membuka pintu gudang, dan mendekati anak majikannya. Ia terkejut melihat keadaan Adit yang sangat mengenaskan. "Bibi obati ya," ucap Bi Siti yang kasihan pada anak majikannya tersebut.

Adit hanya menganggukkan kepalanya, kemudian Bi Siti pun mengobati memar yang ada di tubuh anak majikannya tersebut. Wanita tua itu benar-benar sangat kasihan pada Adit. "Apa kamu tidak ingin keluar dari rumah ini, seperti kakak kamu?" tanya Bi Siti.

"Adit bisa kok bertahan di sini, tapi disaat Adit lelah. Mungkin Adit akan pergi meninggalkan kedua orangtua Adit, untuk mendapatkan kebahagiaan yang Adit inginkan, Bi.." jelas Adit sambil menahan perih yang ada di punggungnya.

.

To be continued.

Bab berikutnya