webnovel

Teman Hidup

Kata Abah, jangan terlalu memusingkan jodoh. Pasti akan datang sendiri pada waktunya. Takdir yang akan menyatukan.

Aksara tau, jodohnya pasti akan ia temukan nanti. Tapi bolehkah ia berharap jodohnya adalah Nathalie Agensia? Membayangkannya saja sudah membuat senyum lebar pemuda tujuh belas tahun itu mengembang.

Aksara tidak berharap kisah asmaranya akan tertuliskan dalam sejarah seperti Romeo dan Juliet, karena ia tau, kisah cinta mereka tidak semulus seperti novel romansa yang selalu di baca oleh Riri dan Anna. Aksara hanya ingin menuliskan kisah cinta sendiri. Hanya ia dan jodohnya kelak nanti. Walaupun tidak menuliskan sejarah, setidaknya Aksara ingin menuliskan kesan yang bagus dan menjadi kenangan kelak di saat usianya sudah lansia. Lalu menceritakan kisah itu pada keturunannya nanti.

Hanya membayangkan, tapi Aksara sukses di buat nyaris terlihat seperti orang gila karenanya.

"Jangan senyum-senyum sendiri. Kaya orang gila," tegur Riri yang kini merebahkan diri di samping Aksara yang duduk termenung, "Malem ini tidur di ruang tengah aja yuk. Kita marathon film. Gue bawa laptop nih,"

Aksara berpikir sebentar, matanya menelusuri kamar di mana dia duduk sekarang, hanya ada dirinya, Arjuna—yang tengah menelepon entah siapa—dan Riri tentu saja. Ruangan itu tidak sebesar kamarnya dan Mas Abim, dan hanya terdapat satu ranjang besar. Tidak akan cukup untuk empat orang, "Oke. Di sini ada kasur lantai nggak sih?"

"Ada sofabed kok tenang aja. Tapi kata Mela dia punya kasur lantai di rumah sebelah,"

"Yaudah di suruh bawa ke sini aja,"

"Oke,"

"Sekalian beli cemilan Ri. Yang banyak,"

"Duit mana dulu. Anterin juga ke minimarket depan. Mana berani gue jalan sendiri ke sana malem malem. Di culik wewe gombel yang ada,"

"Suruh Mas Abim aja anterin sekalian ambil kasur lipatnya. Gue nggak bisa bawa motor,"

"Emang nggak bisa bawa motor tapi mengendarai bisa," cibir Riri, "Heran banget udah legal juga tetep susah di suruh bawa motor,"

"Gue mager Ri. Enakan naik bis bisa duduk sebelahan sama gebetan,"

"Duduk sebelahan doang nggak boncengan. Beda rasanya. Cobain deh, rasanya ah mantab,"

"Kurang ajar,"

Riri tertawa riang, melompat lompat seperti anak kecil untuk keluar dari ruangan.

***

Aksara menjatuhkan diri diatas kasur lantai yang baru saja di letakkan oleh Mas Abim. Anak itu melirik kakaknya, "Mas mau tidur sini apa kamar?"

"Kamar aja. Katanya Juna yang mau tidur sini,"

Si bungsu melotot horor, reflek memeluk tubuhnya sendiri, "Aksa nggak mau di grepe grepe sama A' Ajun ya,"

"Yaudah kalo gitu kamu aja tidur sama Mas di kamar. Seranjang bertiga,"

"Sempit,"

"Sebenarnya apa maumu Sarah Larasati?" sahut Anna kesal, "Yaudah ntar lu tidur di sofa bed bareng gue sama Riri,"

"Heh yang bener aja. Bukan muhrim,"

"Yaudah makanya nggak usah bawel," Anna memutar bola matanya jengah, "Tangannya A' Ajun lo itu iket aja biar nggak grepe grepe,"

"Gue denger ya Na. Jangan macem macem ya lo titisan medusa," Arjuna di ambang pintu ruang tengah menyahut.

"Berisik Lutung Kasarung," Anna mendengus, "Lo punya film apa aja Ri?"

"Banyak sih. Ada yang dari China, Thailand, Jepang, Korea paling banyak,"

"Gue nggak mau ikut kalo kalian marathon drama korea ya," Aksara mewanti-wanti.

Kedua gadis itu berdecak kesal lalu mengangguk.

Anna mencebik, "Ih padahal ada drama True Beauty,"

"Awas aja kalo sampe—" ucapan Aksara berhenti kala pemuda itu menyadari ponselnya berdering nyaring. Tanpa pikir panjang ia mengeluarkan benda itu dari saku jaket. Panggilan telepon dari Nathalie. Kontan senyun lebar tercetak jelas di wajah anak bungsu itu, "Bentar ya saudara saudaraku tersayang. Masa depanku nelpon nih," serunya riang.

"Mentang mentang punya gebetan," cibir Riri.

Aksara melengos tidak peduli, segera menerima sambungan telepon tanpa banyak bicara, "Halo Nath? Gimana kabarnya?"

"Halo Aksa. Ya gini gini aja. Tadi siang habis cuci darah. Sakit,"

Sorot mata cerah Aksara meredup mendengar jawaban Nathalie yang terdengar lemah, "Aku udah sampe Jogja loh," ia dengan cepat mengalihkan pembicaraan.

"Oh ya? Gimana Jogja?" tanya Nathalie terdengar antusias.

"Masih sama kaya terakhir kali. Eh Nath kamu tau nggak bedanya kamu sama Jogja?"

"Ya beda dong. Jogja kan kota sedangkan aku manusia,"

"Salah. Walaupun kalian sama sama istimewa tapi cuma Nathalie yang ada di hati Aksara,"

"Gombal gombal wuuu," Anna bersorak dengan wajahnya yang mengernyit jijik.

Sedangkan di samping gadis itu, Arjuna tersenyum lebar. Memberikan dua jempolnya kepada sang adik.

Tawa Nathalie terdengar merdu di telinga Aksara membuat pemuda itu tersenyum tanpa di perintah, "Apaan sih kamu gombal,"

Aksara terkekeh kecil, "Mau minta oleh-oleh apa dari Jogja? Nanti aku beliin,"

"Em apa ya. Kamu balik dengan selamat aja udah deh,"

"Itu mah harus. Aku masih harus jagain kamu Nath. Selain itu deh,"

"Apa ya. Ah aku penasaran sama rasa bakpia. Di sana ada nggak ya?"

"Jelas ada. Di deket rumah utiku ada kok yang jual. Besok ku bawain buat kamu sekalian buat Tante,"

"Wahh makasih Aksa,"

"Makasihnya nanti kalo udah ku kasih barangnya aja Nath,"

"Iya deh hehehe. Kalo aku sembuh kamu mau nggak ngajakin aku jalan jalan ke Jogja?"

Senyum simpul Aksara terbit, matanya menyorot lembut pada objek di depannya, membayangkan wajah Nathalie ada di sana, "Pasti. Kamu harus berjuang. Nanti aku ajakin kamu keliling Malioboro. Ku beliin apa yang kamu mau,"

Tawa Nathalie kembali mengalun indah, "Janji ya?"

"Janji Nath. Eh asal kamu tau, Jogja itu beda banget sama Bandung. Kamu tau perbedaan terbesarnya?"

"Em letak wilayah?"

"Bukan. Di Bandung itu lengkap soalnya ada kamu. Tapi kalo di Jogja kosong, soalnya duniaku ada di Bandung,"

Riri melirik sinis Aksara yang senyum-senyum sendiri karena gombalan recehnya, "Jijik banget demi tuhan,"

"Ajaran gue tuh," Arjuna menepuk dadanya bangga.

Lagi-lagi Nathalie tertawa, "Kamu bisa aja sih Sa,"

"Nah gitu dong ketawa. Jangan sedih terus. Di saat kamu punya satu alasan buat bersedih, aku bakalan kasih seribu alasan buat bikin kamu ketawa lagi,"

"Makasih Aksa udah bikin aku ketawa lagi. Padahal kita baru deket akhir-akhir ini,"

"Rasa nyaman itu datang juga nggak mengenal seberapa lama kita kenal, atau seberapa lama kita deket. Rasa nyaman itu datang karena kebiasaan,"

"Iya. Aku masih nggak nyangka kamu sebenernya seasik ini. Habisnya kamu di kelas diem mulu sih,"

"Ya aku kan emang males berinteraksi sama orang baru. Dulu aja aku sebenernya males banget ngobrol sama Agam,"

"Wah serius? Ku kira kalian temenan dari smp habisnya deket banget,"

Aksara menggeleng, "Aku nggak pernah punya temen dari kecil. Menurutku keluarga udah cukup buatku. Tapi akhir-akhir ini aku baru sadar ternyata berinteraksi sama orang sekitar itu juga penting. Walaupun susah juga soalnya aku bakalan diem banget kalo ada diantara banyak orang asing,"

"Mungkin emang kepribadianmu kaya gitu Sa. Jangan di paksain. Dan, kalau Agam temen pertamamu boleh aku jadi teman yang selanjutnya?"

"Jadi teman hidup mau?"

"Ih apaan sih kamu mau bisa aja,"

Aksara tertawa, tidak lagi merasa secanggung itu untuk bergurau dengan Nathalie karena ternyata gadis itu mempunyai selera humor yang begitu payah, apapun pasti di tertawakannya. Baguslah, setidaknya Aksara tau bagaimana cara menghibur Nathalie ketika gadis itu mulai terpuruk dan jenuh akan penyakit yang di deritanya.

Bab berikutnya