webnovel

KESURUPAN

Setelah berbagai kejadian aneh, apakah mereka dapat melalui malam itu dengan tenang tanpa gangguan apapun?

Lanjut yuk bacanya

⭐👻⭐👻⭐

Happy Reading ❤

Jam baru menunjukan pukul 02.00 dini hari ketika Meta terbangun karena merasa ada yang mengawasinya. Meta membuka mata dan mencoba membiasakan matanya dengan cahaya temaram. Dilihatnya Alana duduk dan menatapnya. Meta langsung mengucek matanya memastikan bahwa itu memang Alana. Siapa lagi kalau bukan Alana, karena Ifa dan Cilla tidur di tempat tidur.

"Al, ngapain sih elo bangun malam-malam gini? Mau minta temenin ke kamar mandi? Atau mau ajak gue tahajud?" tanya Meta masih mengantuk. Dilihatnya Alana diam saja tak menjawab pertanyaannya. "Al, nggak usah bercanda deh. Baru jam 2 nih. Elo kalau mau tahajud sendiri aja deh. Gue lagi malas."

Karena Alana tak menjawab, akhirnya Meta memunggungi Alana dan mulai menutup matanya. Tapi tiba-tiba sebuah pikiran melintas di kepalanya. Buru-buru Meta mengambil ponselnya yang terletak tak jauh dari tempatnya tidur. Dinyalakannya senter dan diarahkan pada wajah Alana. Benar saja apa yang ditakutkan kejadian. Wajah Alana terlihat pucat dan tatapan matanya kosong. Mendadak bulu kuduk Meta berdiri. Tanpa menunggu lebih lama lagi, Meta buru-buru berdiri membangunkan Ifa dan Cilla.

"Pah, Cil.... bangun.. buruan bangun.... aduuh jangan ngebo dong tidurnya... buruan bangun!!" Meta menggoyangkan tubuh Ifa dan Cilla agar keduanya bangun. Untunglah tak lama kemudian keduanya membuka mata.

"Apaan sih Met? Ganggu orang tidur aja lo." omel Cilla yang masih mengantuk. Dengan susah payah dibukanya mata dan dilihatnya wajah Meta yang disinari oleh sinar dari ponselnya. "Huaaaaa!!!! Setaaaaan!!!"

Sontak teriakan Cilla membuat Ifa terbangun begitu juga teh Rina dan bang Eki yang langsung menggedor pintu kamar mereka.

"Neng... neng Cilla... kenapa neng?" terdengar suara teh Rina di depan pintu.

Sementara itu di dalam kamar terjadi kehebohan karena semua saling berteriak kecuali satu orang yang terus terdiam walaupun yang lain heboh. Ifa buru-buru membuka pintu sekaligus menyalakan lampu kamar. Dengan heboh teh Rina dan bang Eki masuk ke dalam kamar. Terlihat wajah-wajah panik.

"Ada apa neng?"

"Kenapa mbak?"

"Nggak tau tuh Cilla dan Meta. Ada apa sih?" tanya Ifa bingung. "Ini masih jam 2 pagi tau. Suara Cilla ngalah-ngalahin suara toa masjid."

"Gue kaget liat si Meta, Pah. Lagian elo sih Met, kenapa muka lo disinarin dari bawah gitu ? Kayak hantu tau." Omel Cilla sambil mengelus dadanya karena masih kaget. "Untung gue nggak sampe lahiran."

"Neng.. i-itu neng Alana kenapa?" tanya teh Rina sambil menunjuk ke Alana yang sejak tadi diam dengan tatapan kosong.

"I-itu yang mau gue kasih tau ke kalian. Tadi lagi enak tidur tiba-tiba gue berasa ada yang ngeliatin. Pas gue buka mata taunya gue liat si Alana lagi ngeliatin kayak gitu. Gue ajak ngomong, dia diam aja. Tau-tau bulu kuduk gue merinding. Makanya gue bangunin kalian. Eh malah gue yang disangka setan sama Cilla."

Perlahan Ifa dan teh Rina mendekati Alana yang kondisinya masih sama seperti tadi. Hati-hati Ifa menepuk pelan bahu Alana. Tak ada reaksi. Namun tiba-tiba Alana menangis sesenggukan. Ifa hendak memeluk Alana namun ditahan sama teh Rina. Ifa menatap teh Rina yang menggelengkan kepalanya. Bahkan teh Rina menarik Ifa menjauh dari Alana.

"Teh, kenapa sih? Kok aku nggak boleh meluk Alana? Lihat tuh, kasihan kan dia nangis sampai kayak gitu." tanya Ifa penasaran. Ada apa sih sebenarnya? Kok tiba-tiba teh Rina ikutan jadi aneh.

"Neng, perasaan teteh nggak enak. Kayaknya ada sesuatu yang aneh sama neng Alana."

"Apanya yang aneh teh? Alana mah biasa nangis. Perasaan dia kan halus banget, nggak kayak Meta dan aku."

"Neng Ifa tadi perhatiin nggak walau menangis kayak begitu, tapi nggak ada air mata yang keluar. Teteh khawatir neng Alana kesurupam."

"HAH?! KESURUPAN?!" Semuanya kaget mendengar ucapan teh Rina. Masa sih di jaman milenial kayak gini masih ada orang kesurupan. Yang ada juga orang sakaw gara-gara addict sama si setan gepeng alias ponsel.

"Neng Ifa nggak percaya. Perhatiin ya." Teh Rina menengok ke arah bang Eki. "Bang, berani ngadepin orang kesurupan nggak?"

"Hmm.. gimana ya? Belum pernah sih, tapi dicoba aja deh."

Teh Rina dan Bang Eki perlahan mendekati Alana yang masih terus menangis sesengguka0n. Teh Rina langsung memencet jempol kaki Alana yang langsung berteriak-teriak histeris. Bang Eki langsung siaga. Berjaga-jaga kalau Alana mengamuk. Untunglah hal itu tak terjadi. Teh Rina langsung melepas jempol kaki Alana yang tadi dipencetnya.

"Assalamu'alaikum," sapa teh Rina lembut. "Saha nu didieu?"

Bukannya menjawab salam, Alana malah menatap teh Rina dengan pandangan aneh yang sulit dijelaskan. Sekali lagi teh Rina memberi salam sebanyak tiga kali. Di salam ketiga barulah Alana menjawab. Tapi.....

"Wa'alaikumussalaam. Naha maneh nanya-nanya?(Ngapain kamu nanya-nanya). Hoyong nyaho wae maneh mah (pengen tau ajah)" sahut Alana, akan tetapi suara yang terdengar berbeda dengan suara Alana yang lembut. Suara yang menjawab terdengar lebih melengking, mirip suara Cilla, tapi bikin bulu kuduk merinding.

"Henteu nanaon neng(Nggak ada apa-apa neng). Keur naon dongkap kadieu?(Mau ngapain datang kesini)?" tanya teh Rina hati-hati. "Hayang papanggih jeung saha neng? (mau ketemu siapa neng?)"

Tiba-tiba Alana memandang Cilla. Pandangannya menusuk. Tangannya terangkat menunjuk Cilla. "Hayang papanggih anak aing (mau ketemu anak saya). Eta aya barudak leutik didieu.(itu ada anak kecil disini). Di jero beuteung (di dalam perut)."

"Huush.. nu eta lain anak maneh (yang itu bukan anak kamu)."

"Mana anak aing?(mana anak saya). Ulah dimatikeun anak aing (jangan dibunuh anak saya)." ucap Alana kemudian menangis lagi.

"Saha namina neng? Maneh enggeus maot? Naha atuh maotna?" (Siapa namanya? Kamu sudah meninggal? Kenapa meninggalnya)

"Abdi Yuni. Abdi enggeus maot. Abdi dipaehan. Abdi hamil.Salaki abdi henteu hoyong boga anak ti abdi ."(Aku Yuni. Aku sudah mati. Aku dibunuh. Aku hamil. Suamiku nggak mau punya anak dariku)

Semua terkejut mendengar jawaban tersebut. Ternyata selama ini Yuni sudah meninggal. Pantas saja nggak ada yang melihat dia lagi.

"Saha nami salakina? Anjeunna maehan maneh?" (Siapa nama suaminya? Dia yang bunuh kamu?)

"Abdi henteu nyaho saha anu maéhan abdi (aku nggak tau siapa yang membunuhku). Abdi ningali jisim abdi dikubur (Aku melihat tubuhku sudah dikubur)." Alana yang saat itu dirasuki Yuni menangis tersedu-sedu membuat yang mendengar ikut merasakan kesedihannya. Bahkan Cilla dan Meta sudah mulai terisak.

"Maneh hoyong balas dendam? (Kamu mau balas dendam?" Alana menggeleng.

"Abdi enggeus maot. éta dendam henteu kapake. Abdi hoyong dikubur caket bumi abdi. Ku cara anu pantes. (Aku sudah mati. Percuma balas dendam. Aku ingin dimakamkan dekat rumahku. Dengan cara yang layak)."

"Manehna dikubur dimana?"

"Handapeun tangkal di tukangeun villa salaki abdi, tuan bule. (Di bawah pohon di belakang vila suami ku, tuan bule). Tulungan abdi.(Tolong aku)."

Selesai berbicara tiba-tiba tubuh Alana menjadi lemas dan terjatuh di kasur. Ifa buru-buru mendekati Alana dan memeluk tubuhnya. Tubuh Alana terasa dingin dan berkeringat. Di saat seperti itu tiba-tiba hujan deras turun menambah dingin suasana.

"Met, tolong ambilin minyak kayu putih buat ngebalur Alana. Cilla, jangan nangis lagi."

"Tapi hantu itu mau ambil anak gue, Pah." Cilla mulai sesenggukan. "Ini kan anak pertama gue sama bang Athar. Kalau diambil hantu itu nanti bang Athar marah sama Cilla."

"Nggak usah ngadi-ngadi deh Cil. Elo dengar kan apa kata si hantu tadi." ucap Meta setelah memberikan minyak kayu putih kepada Ifa.

"Gue nggak ngerti bahasa sunda, Met." sahut Cilla polos sambil menghapus air matanya.

"Intinya dia bukan mau ambil anak lo. Dia minta dimakamkan dengan cara yang layak didekat rumah dia." jawab Meta yang mengerti sedikit bahasa sunda karena calon mertuanya asli Bandung.

"Teh, gimana nih si Alana?" tanya Ifa setelah selesai membalur tubuh Alana dan menyelimutinya. Kali ini Alana tidur bersama teh Rina di kamar sebelah. Khawatir bila dilanjutkan tidur di kasur bawah malah masuk angin. Apalagi kondisinya seperti tadi.

"Besok pagi teteh akan panggil pak ustadz yang biasa nanganin hal kayak begini neng. Semoga apa yang diinginkan oleh Yuni bisa diwujudkan dan dia nggak ganggu kita lagi."

⭐⭐⭐⭐

"Al, bangun Al. Sudah mau jam setengah 6 nih. Elo kan belum shalat."

Dengan berat Alana membuka mata. Entah mengapa tubuhnya terasa sangat lelah. Seperti habis nyangkul di kebon. (Halah kayak pernah aja😄). Pandangannya melihat ke sekeliling kamar. Lho, ini kan bukan kamarnya Cilla. Perasaan tadi malam tidur di kasur bawah sama Meta, kenapa sekarang ada disini? pikirnya bingung.

"Pah, kok gue disini? Bukannya tadi malam kita tidur ramai-ramai di kamar Cilla?"

"Ceritanya nanti aja. Sekarang mendingan elo buruan shalat subuh. Keburu mataharinya muncul lho." perintah Ifa.

"Gue lagi haid, Pah. Baru tadi malam dapatnya, pas gue lagi bebersih buat siap-siap tidur." jawab Alana. " Badan gue kenapa capek banget ya? Perasaan kita kemarin nggak kemana-mana. Cuma ngobrol-ngobrol di sini."

"Elo nggak ingat apa-apa? Sama sekali?" tanya Ifa penasaran. "Yo wis, mendingan sekarang elo bersih-bersih deh. Habis itu kita jalan pagi sekalian cari sarapan. Kata teh Rina di dekat pasar ada warung yang jualan nasi kuning enak. Noh bumil kepengen nasi kuning."

Tak lama mereka berempat sudah menikmati udara pagi sambil berolahraga jalan pagi. Ini pun permintaan bumil. Kata Cilla jalan pagi bagus untuk membantu melatih otot-otot panggul supaya persalinan berjalan lancar. Di belakang mereka bang Eki mengikuti mereka. Hari ini bang Eki bertugas sebagai bodyguard Cilla, atas perintah papinya Cilla yang khawatir anak perempuan satu-satunya kenapa-napa.

"Bang Eki, dulu waktu istrinya hamil sering jalan pagi nggak?" tanya Cilla.

"Sering mbak. Dia mah memang biasa jalan pagi setiap hari buat belanja ke pasar yang kebetulan nggak terlalu jauh dari rumah kami. Memang benar sih kata mbak Cilla. Jalan pagi bagus buat ibu hamil, cuma kenapanya saya juga kurang tau mbak. Kan saya belum pernah hamil."

"Ya kali bang Eki hamil... hahahahaha.. melahirkannya lewat mana bang? Lewat mulut? Ada-ada aja nih bang Eki." Yang lain tertawa mendengar ucapan bang Eki dan Cilla. Seolah mereka sudah melupakan kejadian semalam.

"Pah, gue kenapa deh? Kok tiba-tiba gue pindah kamar. Siapa yang mindahin? Bukan hantu kan? Kira-kira hantunya keberatan gak ya angkat badan gue?" Alana sibuk bermonolog.

"Dih, nih anak ngide banget diangkat sama hantu. Gue sama teh Rina yang mindahin elo. Memangnya elo nggak ingat apa-apa soal tadi malam Al?" tanya Ifa. Alana menggeleng.

"Semalam itu elo kemasukan arwahnya si Yuni."

"Yuni? Yuni siapa?"

"Itu lho, istri kontraknya tuan bule pemilik villa yang baru aja kita lewatin. Tuh yang gede banget, yang warna abu-abu itu." Jelas Ifa sambil menunjuk ke arah vila bergaya mediterania dengan halaman yang luas.

"Lo masih ingat kan cerita teh Rina kemarin? Nah, dini hari tadi elo tuh kemasukan. Tapi ada untungnya juga sig elo kemasukan."

"Kok untung? Pantesan badan gue kok berasa capek banget pas tadi pagi dibangunin sama Ipah." sahut Alana.

"Dia makai body lo sebagai perantara buat kasih tau apa mau dia. Sekaligus membuka misteri hilangnya Yuni selama ini."

"Serem Al dengar elo ngomong tapi bukan suara lo yang keluar. Merinding gue dengarnya. Hiii.... " Meta bergidik mengingat kejadian dini hari tadi.

"Kok bisa sih gue yang kemasukan?"

"Mungkin karena emang pada dasarnya elo penakut dan dari awal kejadian elo yang paling khawatir, ditambah lagi elo menstruasi. Komplit deh, nggak ada tameng yang ngejaga."

"Sebenarnya apa sih yang elo rasain pas kemasukan, Al?"

"Apa ya? Gue nggak ingat apa-apa. Cuma sebelum tidur gue berasa nggak enak body aja. Pikiran gue kok nge-blank gitu."

"Pantesan elo diam aja pas gue ajak bersih-bersih. Sekarang yang penting elo sudah nggak merasakan hal yang aneh kan?" tanya Meta.

"Gimana kalo tuh hantu ngikutin Alana ke rumah? Hiiii... ngeriiii."

"Ciiiil... jangan nakutin gitu dong," rengek Alana mulai ketakutan. "Hari ini bang Zayyan pulang. Gue bakal minta jemput sama dia kalau elo masih nakut-nakutin gue. Gue nggak bakal mau lagi liburan kesini," ancam Alana.

"Hihihi... iya deh iya.. Gue janji nggak bakal nakut-nakutin elo."

⭐⭐⭐⭐

Bab berikutnya