webnovel

Wanita Sulit Dipahami

"Ndari kok bengong,'' tegur Om Pram tersenyum.

Miko langsung menyenggol kekasihnya dan sontak tersadar. Ndari meringis, bingung jawaban apa yang harus dilontarkan. Jujur dalam benak hati yang paling dalam tak ingin pulang. Di sisi lain, merasakan nyaman tinggal di sini meskipun hanya semalam.

"Ndari …" panggil Miko lirih sembari menatapnya.

Padangan keduanya saling bertemu. Yang satu melempar tanya dan satunya menunggu jawaban. Pram yang menduga anak itu betah di rumahnya langsung kembali angkat suara.

"Selesaikan dulu makanmu, Nak."

"Iya Om."

Masih dalam kebimbangan, perlahan mengangkat tangan untuk melanjutkan makan. Suap demi suap masuk dalam mulut. Terlihat tenang tetapi batinnya berpikir keras. Bagaimana dan langkah apa yang selanjutnya akan dilakukan?

"Uhuk … uhuk …"

"Minum Sayang," ucap Miko sigap mendekatkan gelas ke arahnya.

Ndari menerima perlahan gelas itu dan meneguk hingga kembali tenang. Pram hanya diam mengamati sembari mengunyah sesuap nasi yang dimasukan mulutnya.

"Eee … kalian enggak jalan-jalan? Mumpung hari minggu lho," ujarnya mencoba mengalihkan topik pembicaraan.

Sebelum menjawab Miko lebih dulu menatap wajah kekasihnya. Seolah-olah meminta persetujuan apakah setuju jika mengikuti usul ayah.

"Iya Yah. Nanti kami jalan-jalan habis makan."

Pram menganggukan kepala. Saat ini ketiganya sudah menyelsaikan makan. Ndari mengangkat piring kotor untuk membersihkannya. Sedangkan kekasihnya bergegas mandi. Pram memilih olahraga di taman depan. Sudah menjadi kebiasaan setiap pagi Pram menyempatkan olahraga. Meskipun hanya 20 menit.

"Apa Ayah masih bersikeras untuk menyuruh Ndari pulang?" Miko menatap wajahnya di depan cermin.

Menatap bayangannya sendiri yang belum mengenakan pakaian. Tak lama kemudian kakinya melangkah menuju lemari. Mengambil kaos abu-abu dan dipandungkan dengan kemeja kotak-kotak.

"Padahal anak itu terlihat begitu bahagia berada di sini," ucap Miko sembari menyemprotkan parfum.

Aroma semerbak wangi seketika menyimbak memenuhi rungan. Diambilnya kunci montor dan keluar. Di sana kekasihnya sudah duduk di sofa ruang tamu. Terlihat begitu cemas sembari meremas jari-jemarinya.

"Kamu udah mandi?"

Ndari langsung bangkit mendengar suara yang tidak asing itu. Mempercepat langkah untuk mendekat, "Mik aku boleh ngomong sesuatu enggak?"

Pria itu hanya menatapnya dalam diam, "Apa?"

"Aku …" Jari-jemarinya mulai saling melintir satu sama lain, "boleh enggak kalo nginep di sini lagi?"

Spotan giginya menigit bibir bawah. Menatap dengan arut cemas dan sangat menunggu jawaban. Sayangnya, lawan bicara memilih diam mengamati.

"Please aku tahu ini enggak sopan … tetapi aku mohon," renggek Ndari memelas.

Miko masih diam, tak bisa mengatakan apa-apa. Tentu hal ini bukan wewenangnya. Lagian kekasihnya ini juga tidak sadar sudah disindir ayah untuk pulang, malah meminta tinggal. Terdengar embusan napas berat yang keluar dari mulutnya.

Sebuah jawaban yang sepertinya mustahil, jika dibolehkan. Hening, mereka hanya saling pandang. Sedangkan Pram kembali masuk setelah menyatakan cukup olahraga pagi. Tentu batinnya bertanya-tanya. Mengapa dua anak remaja itu malah saling diam.

"Hai, kalian kok diam-diaman. Ada apa?" tegur Pram.

"Ehh, Om …" Ndari memberanikan diri untuk mengatakan sendiri. Begitu juga Miko tampaknya memberikan kode agar mengatakan sendiri. Namun, tiba-tiba saja Om Pram kembali melangkah menuju dapur.

Seluruh tubuh seketika melemah melihat pria berbadan besar itu kembali berjalan. Miko malah mengaruk-ngaruk kepala, bingung belum sempat mengatakannya.

"Kita jadi jalan-jalan enggak?"

"Ya udah ayo. Sekalian cari udara segar," sahutnya.

Mereka menaiki sepeda montor melesat pergi tanpa menentukan terlebih dahulu tujuannya.

"Kita mau ke mana?"

"Enggak tahu."

"Kok nggak tahu sih, kamu ini bagaimana!"

"Ya udah ngikut kamu aja. Maunya ke mana?"

"Kalo aku sih ya terserah."

"Jangan terserah," elak Miko.

"Kan kamu yang nyetir. Jadi terserah kamu dong, kamu dibawa ke mana."

"Ihh, apa sih susahnya jawab."

"Lho, kan aku sudah jawab!"

Tangan Ndari sudah mengepal geram. Begitu juga dengan Miko tak tahan dengan emosi yang dipendam.

"Maksudku jawabnya itu yang jelas. Cewek mah kebiasaan kalo ditanya jawabnya terserah.

"Kok kamu malah emosi sih," sindir Ndari menepuk pundak cowok itu.

Entahlah, selalu saja cowok yang disalahkan. Padahal masalahnya sepele lho. Namun, ya memang begitulah wanita sulit untuk mencerna pertanyaan. Emosi malah lebih didahulukan.

"Kenapa diam aja?"

"Lha terus apa maunya kalo enggak diam, bertengkar!"

"Kamu kok nada bicaranya semakin tinggi sih," ungkap Ndari tak terima.

Miko kembali diam. Sebab jika diteruskan pasti dirinya akan kalah. Dadanya saja sudah terasa sesak, "Ke taman saja, ya."

"Terserah."

Ahh, emosi sudah berada di puncak kepala. Miko menghentikan sepeda montor untuk menepi. Melepas helm yang dikenakan berharap mendapatkan angin segara. Sontak Ndari bingung ada apa dengan pacarnya.

"Kenapa kok berhenti. Katanya mau ke taman."

"Bisa enggak sih kalo ditanya itu jawab yang jelas. Iya apa tidak! Gampangkan," bentak Miko.

Ndari diam untuk beberapa saat. Tak lama terdengar sesenggukan. Miko langsung menepuk jidat. Mati kutu dan bingung bagaimana cara membujuk. Dadanya mulai kembang kembis akibat napas yang tak kontrol.

Sedangkan Ndari mencoba menyeka air mata yang tak diminta jatuh. Miko meletakan helm di salah satu spion kendaraan.

"Kenapa nangis?"

Saat tangannya ingin menyeka malah langsung ditepis oleh kekasihnya. Miko mengembuskan napas dam mengaruk kepala.

"Maaf …"

Ya, memang itulah kalimat yang seharusnya keluar semenjak tadi. Namun, malah ditunda-tunda.

"Maaf Sayang," lirihnya yang mencoba menegang tangan kekasihnya.

"Kamu jahat … bentak-bentak aku!" ucapnya yang masih sesenggukan.

"Iya-iya aku salah. Maaf. Sudah ya jangan nagis lagi."

Perlahan mendekatkan tangan dan menghapus sisa-sisa air mata. Sejujurnya saat mata Ndari basah malah kelihatan cantik. Tanpa disadari senyumnya merkah.

"Kenapa senyum-senyum!" bentak Ndari.

Sontak tersadar, "E- anu."

"Apa!"

Wanita memang unik. Padahal beberapa detik yang lalu baru saja menangis. Sekarang sudah bisa membentak. Sanggar memang, hehe.

"Jawab!"

"Cantik."

"Hah?" Ndari terangga.

Kekasihnya memang aneh. Kenapa mengatakan catik tiba-tiba. Jangan-jangan itu untuk merayunya supaya tidak marah. Masih ditatapan pria yang disayang itu dengan sorot mata menyelidik.

"E- masudku. Kamu cantik npas lagi nangis," lontar Miko sesuai fakta.

"Kamu ngejek aku?"

Tangan wanita itu sudah dilipat, berada di atas perut. Seperti preman pasar yang tengah menantang. Miko menyentuh hidung yang tak gatal. Kesalahan fatal, mengapa harus mengatakan hal bodoh tadi.

"Aku itu cuman pengen tahu. Maksudmu cantik kalo pas lagi nangis itu, bagaimana?"

"Kamu …" ucap Miko sejenak mengigit bibir memilih kata, "e, entahlah aku sendiri bingung tapi faktanya kamu cantik kalo lagi nangis."

"Ohh. Jadi, kamu mau buat aku nangis terus?"

"Bukan begitu Sayang. Please tolong dipahami kata-kataku tadi …."

Berbicara dengan wanita memang bahaya. Apalagi ngamukam dan cengeng seperti dirinya. Terus nangis lagi. Tentu saja akan sangat merepotkan untuk menenangkan emosinya. Ditambah posisi keduanya di pinggir jalan. Bisa-bisa orang lain berpikir dirinya telah berbuat macam-macam.

"Tahu ah, terserah kamu aja," pungkas Ndari tak memahami maksud ucapan pacarnya.

Ndari tampak tidak begitu perduli dengan apa yang dipikirkan Miko.

Bab berikutnya