Dengan Terpaksa Atmaji mengantar Mitha berserta anaknya pulang. Ini semua gara-gara Ndari. Coba saja jika anak itu tak menyusul ke kafe. Mestinya tak mungkin keributan itu terjadi dan yang pasti. Tentu dirinya tak akan malu.
Sepanjang perjalanan menuju rumah Mitha, sedikit pun Atmaji tidak tenang. Sampai akhirnya mereka tiba. Satu per satu turun dari mobil.
"E- maaf ya, Mit. Acaranya jadi kacau. Lian kali nanti kita ulang ya," ucapnya dengan penuh keraguan.
Mitha masih memilih diam. Menatap pria itu dengan tatapan tidak suka.
Bayangakan masa lalu kembali teringat, dulu Atmaji juga pernah mengagalkan acara hanya karena anaknya. Kali ini malah terulang kembali.
"Sinta maafkan Om ya, di hari pertama kita kenalan malah kacau begini."
Putri dari Mitha itu hanya mengembuskan napas. Tak ingin menanggapi pria berkacamata yang mengajaknya berbicara.
"Sinta mau masuk dulu Ma. Bete di sini," pamitnya langsung melangkah pergi.
Tentu Atmaji merasa gagal di mana kesan pertamanya malah hancur berantakan. Tentu gadis itu akan mengecap dirinya sebagai ayah sambung yang tidak baik. Ah, semua ini gara-gara Ndari!
Tangan Atmaji keduanya mengepal hebat. Menahan emosi yang sudah tak tahan untuk segera diluapkan. Mitha mengamati dengan heran.
"Kamu kenapa Mas?"
"Ohhh …" Atmaji tersadar spontan melepaskan kepalan tangan, "aku tak sabar untuk memberi peringatan pada Ndari."
"Lagian Mas Maji yan salah. Terlalu memanjakan anak jadi berani sama orang tua."
Mitha membuang muka, menujukan ekspresi tak suka.
"Wajar Mit, namanya juga anak satu-satunya." Nada bicara Atmaji mulai melunak.
"Hai, Mas! Walapun dia cuman anak satu-satunya enggak harus dimanja. Lihat Ndari anakmu. Kelihatankan enggak punya sopan santun'kan!"
Mendengar kata-kata itu Atamaji diam sejenak. Menatap wanita yang dicintai dengan tatapan bingung. Ada rasa tidak terima ketika anaknya dikatakan demikian.
"Tapi di mana-mana anak tunggal itu wajar kalo dimanja orang tuanya."
"Enggak Mas. Enggak semua anak tunggal benasib sama. O … aku tahu, jadi Mas Maji bela anaknya? Lihat bajuku yang basah karena disiram coffee. Masih mau dibela!" bentak Mitha.
"Sayang bukan begitu maksudku. Kamu salah paham, aku enggak membela orang salah. Maksudku kamu sendiri juga punya anak tunggal …."
"Ohhh jadi, Mas mau bandingkan dengan Sinta. Beda jauh Mas, Sinta itu orangnya nurut. Enggak kayak anakmu, berani sama orang tua!" cetusnya.
Atmaji mengembuskan napas, tak tahu lagi harus menjawab bagaimana. Yang jelas malam ini semua rencananya gagal total.
"Ah, males di sini lama-lama. Mas Maji diam aja," keluh Mitha melangkah meninggalkan.
"Mitha …."
Tak menghiraukan, Mitha memilih meneruskan langkah. Memutar kenop pintu dan masuk. Seketika dirinya terkejut melihat anaknya ada di balik pintu yang dibuka.
"Sinta, ngapain kamu berdiri di sini?"
"Nunggu Mama."
"Ohhh."
"Ihh, Mama nyebelin. Kenapa sih harus berurusan dengan orang seperti itu. Lihat itu baju Mama basah, diperlakukan tidak baik."
Mitha hanya diam sembari menujukan senyum tipis.
"Mama kenapa sih, nyebelin banget malah senyum-senyum!" ucap Ndari kesal.
"Sayang sudah-sudah jangan emosi."
"Sejak kapan Mama suka diremehkan, dihina depan umum bahkan disirap. Sadar enggak sih!" Sinta gereget. Menatap Mama dengan tatapan marah seperti melihat musuh.
Tentunya Mitha sendiri paham bagaimana emosi anaknya, tak suka melihat mama dipermalukan. Ditambah lagi yang mempermalukan adalah remaja seusianya.
"Sabar Sayang. Mama mau jelaskan," ucapnya lembut.
"Mau sabar yang bagaimana!" teriak Sita terdengar sampai luar.
Atmaji yang masih memantung di luar tentu mendengar teriakan itu. Dalam benaknya menduga jika itu teriakan Sinta. Rasa was-was semakin mengelilingi hati. Bagimana jika putri Mitha tak menyetujui jika kedunya menikah.
"Ah, sial. Apa jangan-jangan Sinta tidak sudi memiliki ayah angkat seperti ini!"
Matanya menengadah, menatap langit untuk mengambil napas. Hatinya masih saja dongkol. Ingin bergegas pulang, "Pokoknya Ndari harus meminta maaf pada Mitha. Agar rencana ini kembali berjalan!"
"Sssttt … kamu jangan kenceng-kenceng teriaknya. Dia belum pulang," biski Mitha yang menempelkan salah satu jari ke bibir anaknya.
Mereka sama-sama mengintip dari balik tirai jendela untuk memastikan. Ternyata Atmaji baru saja membuka pintu mobil dan menyalakan mesin, dan pergi. Mitha lega, wajahnya kembali menatap Sinta.
"Kamu mau ngomong apa. Ngomong aja," ucap Mitha mempersilakan.
"Mama yakin mau nikah sama Om itu," diembuskannya napas dalam-dalam, "enggak salah? Anaknya galak lho. Pasti nanti jadi musuh Mama. Bukan hanya Mama tetapi juga musuh Sinta."
Sinta berjalan masih dengan emosi yang dibawa untuk duduk di sofa. Setidaknya dengan duduk kemarahannya dapat sedikit terkurang. Mitha mengikuti dan turut duduk di samping sembari menatap tenang.
"Mama tahu kok maksudmu bagimana. Kamu mau Mama menikah dengan orang yang menerima Mama begitukan?"
"Iya Ma. Yang semua menerima, bukan cuma Om Maji dong, tetapi juga anaknya."
"Terus menerut kamu, apa Mama diterima di keluarga pria itu?"
Sinta menatap wajah mama kesal. Dadanya semakin kembang kempis gara-gara emosi yang tak bisa ditahan.
"Mama itu … aduh, Sinta bingung sama Mama. Pura-pura enggak tahu, atau apa sih! Jelas-jelas Mama ditolak, disingkirkan sama anaknya Om Maji. Masih tanya. Itukan sudah jelas," sahut Sinta kewalahan.
"Iya itu. Mama sudah tahu," jawabnya santai.
"Kalo sudah tahu kenapa tanya, Ma. Kenapa masih diteruskan!"
"Begini lho, Sayang …" Mitha mendekatakn diri mengelus pundak anaknya, "kamu tahukan saat ini hal yang terpenting bagi kita adalah uang. Ayah Ndari, memiliki hal itu. Jadi …."
Mitha sengaja tak melanjutkan ucapannya. Seharusnya Sinta mengerti dan paham. Namun, tampaknya malah terbelalak heran. Diamatinya, remaja itu tampak menelan saliva.
"Mama menfaatkannya?"
Hanya anggukan kepala yang ditunjukan sebagai jawaban.
"Mama kok jahat sih," lirih Sinta menyipitkan kedua mata.
Mitha mengembuskan napas, mencoba merenggangkan jarak dan meluruskan pandangan. Sesaat hening tak ada suara. Sedangkan Sinta tak sabar menunggu jawaban. Pandangannya tak teralihkan, fokus pada sosok di sampingnya.
"Yang harus kamu tahu Sinta … dunia ini kejam."
"Tapi tindakan Mama lebih kejam lagi. Kenapa sih enggak mikir kedepannya un-"
"Stop Sinta! Mama tak perlu ceramahmu. Yang harus kamu tahu, Mama melakukan ini demi membiayai kuliah kamu."
Sinta masih tak percaya dengan alasan Mama. Bibirnya tampak ngenyir dan tersenyum getir.
"Kenapa Mama jadikan Sinta untuk alasan? Bukannya Mama yang sering belanja dan beli barang-barang mahal. Itukan alasan Mama sebenarnya."
"Lihat Sinta. Semenjak pindah, apa kamu lihat Mama membeli barang-barang mahal! Mama selalu memprioritaskan kamu. Kuliah kamu!"
Sinta diam untuk sesaat. Beusaha untuk menangkan diri agar tidak teriak lagi. Mitha beranjak bangkit. Dirinya sampai lupa dengan baju yang belum diganti dan bau coffee.
"Ma …."
"Apa lagi?" tanya Mitha menghentikan langkah.
"Sinta Cuma enggak mau Mama dipermalukan lagi," lirihnya sembar tertunduk.
Mendengar itu, Mitha tersenyum dan membalik badan mendekat. Tangannya mengusap lembut pundak anaknya, "Tenang Mama sudah punya rencana. Kamu ikuti saja ala kata Mama.''